Tante Ida, suaminya perwira di satuan **** (edited) dan kami
bertetangga. Kamar tidurku pas di sebelah dapur mereka (kami tinggal di
komplek, di rumah dinas karena ayah saya itu pegawai sipil AD). Jadi hal
yang biasa, bangunan tadinya terpisah di satu kompleks lama-lama
dibangun dan tergabung. Dinding pemisah di depan kamarku itu pakai batu
karawang dan ditutup dengan lembar seng. Di depan dapur Tante Ida itu
mereka buat tempat cuci baju sebenarnya. Tapi si tante suka mandi di
situ. Nah, aku sudah lepaskan ujung seng pemisah, jadi bisa mengintip.
Buah dadanya besar. Pernah sekali kuintip terus, dia tahu dan cuma
bilang, “Ayo kamu ngapain?” katanya. Hari Sabtu aku suka main ke
rumahnya, anaknya masih kecil-kecil. Aku suka ke sana karena banyak
majalah dan koran dari kantor si oom. Dan si oom lagi tugas belajar 1
tahun untuk naik pangkat ke Bandung. Di situ ada ibunya Tante Ida
tinggal di situ juga, dia sudah janda; anaknya Tante Ida 2 orang, waktu
itu umurnya 2 3 tahunan. Ia menikah setamat SMA waktu itu.
Kira-kira jam 09.00 malam aku masih asyik bongkar majalah-majalah tua
dan si tante memanggil dari kamar. “To, tolong dong Tante agak pegel,
pijetin ya!” Biasa kami memang suka saling tolong, kadang ibu saya minta
dikerokin sama Tante Ida atau Tante Ida minta dibuatkan kue, begitu deh
tetangga yang baik. Aku sih tidak curiga walaupun sering aku intip.
Lagi pula anak-anaknya masih pada bangun nonton video di kamarnya. Biasa
film kartun. Aku rada enggan karena masih asyik baca, sebenarnya. Pintu
kamar tidak ditutup, si oma masih di dapur sedang beberes, jadi tidak
ada suasana yang mendukung untuk ngeres-ngeres. Aku masuk ke kamar masih
sambil menenteng majalah, aku pikir sambil mijati (paling punggungnya,
aku pikir) aku mau baca. Soalnya si Oma itu pelit, majalahnya tidak
boleh dibawa pulang.
Waktu di kamar aku lihat Tante Ida pakai daster batik (itu lho yang
murahan di Pasar Senen, 5 ribu ya satunya). “To, ini leher Tante kok
kencang dan badan rasanya pegel linu, mau flu kali ya,” katanya.
Kemudian dia duduk menghadap TV di kamar di ranjang besar (ukurannya
king, kalau tidak salah) dan katanya, “Pakai itu saja To, krim Viva.”
Aku ambil dan duduk di belakangnya, karena dia di tengah aku jadinya
duduk juga ke tengah ranjang dan Tante ada di antara kakiku, majalah aku
buka di samping kanan, aku separuh hati mau pijat karena sedang baca
artikel menarik. Bisa dibayangi ya suasananya, masih ribet, ada
anak-anak, ada ibunya, suara TV kencang. Pokoknya aku sih tidak ada
intensi apa-apa.
Tante Ida membuka daster resleting belakangnya, dan aku tuang lotion
ke telapak dan mulai memijat lehernya, sambil baca majalah. Terasa
lehernya memang hangat lebih dari normal. Aku pijat pelan-pelan dan si
tante mendesah keenakan (aku memang pintar mijat kayaknya). Sudah agak
lama si tante bilang, “Tolong ke punggung bawah dong? dan sletingnya
turuni lagi saja biar gampang.” Aku tarik sleting dan dasternya tersibak
jauh ke kanan dan kiri. Aku agak surprised karena tidak ada tali BH
(mestinya waktu mijat leherku sudah tahu ya karena di atas bahu tidak
ada tali, dasar tidak niat jadi tidak konsen).
Aku tuang lagi lotion dan kusaputkan di punggungnya, “Uhh dingin,”
kata Tante Ida sambil membungkuk ke depan lebih jauh. Aku pijati bahunya
dan dasternya agak merosot dan dari kaca meja hias di sebelah pojok
kanan TV aku melihat bukit susunya mulai tersembul separuh lebih dan
pikiranku tiba-tiba agak mendesir, mulai deh ngeres. Majalah sudah tidak
aku lihat lagi, penis terasa mulai keras dan aku sengaja memijatnya
agak kugoyang-goyang bahunya dengan harapan dasternya merosot lagi. Eh,
karena agak pas, tidak mau turun lagi. Wah bagaimana nih, aku agak maju
duduknya tapi belum merapatkan barisan ke badan Tante Ida. Aku lanjutkan
memijat ke arah lengan atas dan sengaja kudorong dasternya lagi dan
kali ini berhasil, debar jantungku tambah kencang dan mulutku mulai
kering. Dasternya turun lagi dan pinggir pentil buah dadanya sudah
kelihatan. Tapi waktu kudorong lagi malah tidak mau turun, aku kecewa
dan si tante juga diam saja. Ya sudah aku nikmati seadanya di kaca itu.
Lalu aku pijat terus ke arah punggung dan aku ada ide, aku ulur tanganku
memijat dengan keempat jariku mendekati meraba pangkal buah dadanya,
lama aku memijat dan aku berusaha semakin ke depan keempat jariku (bisa
dibayangi tidak). Ya, lumayan aku dapat juga tepi-tepi buah dadanya. Si
tante diam saja sambil nonton TV, aku juga tidak berani melanjutkan
macam-macam (takut ditampar pula).
Aku pijat makin turun ke pinggang dan dasternya susah menghalangi,
jadi aku pijat dari luar (padahal kalau sekarang aku pasti berani
ngomong, “Tante ini dasternya dibuka saja ya..” dasar masih tolol waktu
itu). Dari pinggang aku terus ke pantatnya dan ketika itu penisku sudah
keras kencang. Tiba-tiba si tante bergeser, pegal barangkali duduk diam
terus, dan agak mundur, aku tidak sempat menghindar dan pantatnya kena
penisku. Aku pakai celana pendek training dari kain kaos waktu itu.
Dia
kaget dan di kaca aku lihat dia agak mesem tapi masih diam. Aku juga
terpana dan merasa salah. Tapi ya aku juga tidak geser menghindari, jadi
aku biarkan saja. Terus si tante ambil selimut besar dan menutupi
kakinya dan pahanya. Kemudian dia menyender agak ke belakang dan
bisiknya, “Pijetin paha Tante dong!” Nah aku mau tidak mau karena dari
belakang jadinya mesti merapatkan badan. Aku ulurkan tangan ke depan ke
paha atasnya, agak bingung dan ketika aku lihat di kaca dia senyum,
sambil merem matanya, buah dadanya masih kelihatan sisi atasnya dan
pungungnya terasa hangat di dadaku dan mukaku dekat lehernya yang
jenjang. Aku tak sengaja bernafas di lehernya dan telinganya dan dia
menggelinjang geli. Ya, aku juga jadi berani dan kuulurkan tangan ke
depan memijat paha atas dari bawah selimut. Eh, si daster rupanya sudah
disingkap ke atas dan aku terpegang paha Tante Ida tanpa daster lagi.
Lututku sudah lemas dan nafasku sudah tidak teratur mendesah di
lehernya yang jenjang. Aku pijat pelan-pelan dan tiba-tiba aku merasa
tangan Tante Ida menjamah ke belakang dan menyentuh penisku. Aku seperti
kena lisrik dan sempat agak menjerit, eh si tante bilang, “Ssst.. diam.
Apa sih ini keras bener?” tanyanya sambil nanar menatap aku di kaca.
Dan tangannya meraba makin ke tengah penis dan tiba-tiba dia membuka
kancing celana (kalian tahu kan celana kain kaos itu, kancing
“cepret”-nya cuma dua dan aku memang tidak pakai celana dalam lagi). Dan
Tante Ida menggenggam batang penisku. “To, raba terus pahaku di
atasnya, aku juga masukkan tanganku, astaga! tidak ada celana dalamnya.”
Dan aku teruskan jari-jariku (sudah jadi berani dan otakku sudah kacau
tidak peduli ada anak-anak di lantai bawah di depan kami itu, dan suara
si oma di dapur masih klontang klonteng orang berberes). Lebih kaget
lagi aku tidak menemukan rambut apa-apa di pangkal paha atas Tante Ida
itu. Padahal waktu aku intip tempo hari seingatku lebat sekali tuh.
Kuraba-raba terus dan di kaca kelihatan Tante Ida mukanya seperti
orang bingung keenakan (padahal aku belum masukkan ke lubangnya, masih
bego aku, karena ini pengalaman pertamaku, eh aku waktu itu masih di SMP
kelas 3). Tante Ida agak mengangkangkan pahanya dan aku terus
mengusap-usap dan menangkupkan telapakku di bukit gundul itu, tidak tahu
mesti apa (uih guoblook tenan kalau kata Basuki). Hangatnya bukan main,
sementara tangan si tante masih mengurut-urut lembut batang penisku,
aku duduk agak maju lagi. Auhh, enaknya bukan main deh dipegang sama
wanita itu. Badan Tante Ida harum juga karena lotion dan ada semerbak
jasmine. Kulit Tante Ida itu hitam manis.
Akhirnya dia menyender total
dan tanganya di penis dan buah zakarku, ujung penisku sudah kuyup sama
seminal fluid yang keluar. Aku sudah kepingin benar menangkupkan tangan
di buah dadanya tapi susah karena pasti bisa kelihatan anak-anaknya.
Tiba-tiba aku ingin kencing dan agak sakit rasanya, aku bingung dan
akhirnya aku bilang tante bahwa aku ingin kencing. “Ohh.. ya sudah kamu
ke kamar mandi Tante situ!” Aku bangun dan ke kamar mandi dan sambil
menyesel-nyesel takut nanti si tante berubah pikiran. Aku kencing dan..
astaga! itu kepala penis sudah benar-benar basah, kalau tidak karena
kehalang kencing sudah orgasme mungkin tadi itu. Setelah kencing aku
bersihkan si kepala jamur yang sudah merah tua sekali warnanya.
Waktu aku balik, si tante sudah kemulan sama selimut sambil duduk,
aku duduk lagi di pinggir ranjang dan Tante Ida bilang, “Ayo To, pijetin
lagi, kamu duduk lonjorkan kakimu!” Wah aku jadi semangat lagi, penisku
sudah agak layu setengah ereksi. Kancing “cepret” celana pendekku aku
tidak kancing lagi. Begitu duduk aku rapatkan lagi barisan (he he..he
seperti baris berbaris saja). Aku kaget karena ternyata dasternya tidak
ada, pantas Tante Ida kemulan selimut. Dan dia tidak duduk tapi berlutut
bersimpuh agak nungging ke depan. Dia membisikkan, “To, biar Tante
duduk di atas pangkuanmu.” Aku melonjorkan kaki rapat dan si tante
mengangkang lalu duduk berlutut pantatnya persis di atas penisku, aku
benar-benar setengah masih merasa apa ini mimpi basah saja. “Kamu pengen
pegang susu Tante kan, ayo kamu raba.” Dan di dalam selimut itu aku
bebas, tanganku merajalela. Duh enaknya memerah susu kenyal, dan
putingnya terasa kasar di telapak tanganku, seketika mengeras dan si
tante begitu aku meremas gemetar dan bibirnya terlihat di kaca
digigitnya. Aku meremas-remas seperti tukang roti mengaduk adonan roti.
Tangan Tante Ida juga tidak diam, dia menggenggam penisku dan
digosok-gosokkan di bibir vaginanya. Aku merasa luar biasa hangat itu
bukitnya. Dan tanganku kedua-duanya aktif sekali. Jariku memilin
pulir-pulir dan melintir putingnya, besarnya ada sebesar jari kelingking
(anaknya doyan ASI kali ya). Ukuran buah dadanya berapa ya, ada 38C
barangkali.
Tiba-tiba dia duduk di pangkuanku dan, “Bless..” masuk kepala
jamurku, aku terkejut karena tidak menyangka akan begitu, aku pikir cuma
mau dimasturbasi saja. Benar tidak siap mental aku kehilangan perjakaku
dengan keadaan seperti ini, aku selalu membayangkan sebelumnya lain.
Aku bayangkan dengan teman sebaya. Dan luar biasa namanya otot vagina
itu bisa ya seperti nyedot begitu dan seperti dijepit dengan apa ya..
susah jelaskan. Kami beraksi tanpa bicara banyak, dan sambil takut si
ibunya datang atau anak-anak itu kan bisa tiba-tiba lari ke ibunya. Dan
Tante Ida turun pelan-pelan, aku merasa agak sakit waktu turun itu,
kulit kepalaku ikut tertarik terus (aku tidak dikhitan). Dan akhirnya
Tante Ida sudah duduk rapat di atas pangkuanku. Dan ia mulai
berputar-putar hanya pinggangnya saja, dan nanar mataku menikmati itu.
Jadi penisku di dalam terus, Tante Ida tidak maju-mundur, ia cuma
berputar searah jarum jam atau ke depan belakang, aku terus
meremas-remas adonan daging dadanya. Dasar aku masih belum bisa, baru
kira kira 4 – 5 menit aku sudah merasa gelombang orgasmeku mulai meluap
dan aku tidak bisa ngomong cuma remasan di buah dada Tante Ida. Tanpa
sadar aku jadi meremas kencang sekali. Tante Ida tahu dan dipercepatnya
dan perahan ototnya tambah kencang, ia juga rupanya (aku tahu
belakangan) mau mencapai orgasmenya.
Ia duduk di penisku masuk dalam sekali dan terasa bibir vaginanya di
buah zakarku, ia memutar hebat dan aku orgasme terhebat dalam sejarah
hidupku sampai waktu itu. Supaya tidak menjerit aku tekan mulutku di
punggung Tante Ida. Dia juga rupanya sampai dan terengah-engah.
Tiba-tiba si Ita anaknya yang besar melihat ke kami dan katanya, “Mama
kenapa?” Kami seketika membeku diam dan untung si Ika nonton terus
karena pas film kartunnya lagi asyik. Pelan-pelan Tante Ida mencabut
sambil mengencangkan cengkraman ototnya, rupanya supaya spermaku jangan
tumpah kemana-mana. Dan dia bangun sambil membawa selimutnya terus ke
kamar mandi. Aku cepat bersila dan kututup dengan majalah. Wah baru aku
nutupi dan Tante Ida masuk kamar mandi, Bu Etty si oma masuk kamar dan
bilang,
“Eh, anak-anak ayo tidur sudah hampir jam 10.00 malam nih. Eh ada nak Toto juga, mana Ida?”
“Oh.. itu..” gelagapku, “Lagi ke kamar mandi.”
Untung si oma tidak curiga dia kira aku ikut nonton barangkali ya.
“Ayo Oma mau bobo!”
Pas film kartunnya habis dan mereka bilang,
“Selamat malam Kak..”
Begitu mereka pergi aku ikutan masuk kamar mandi, dan si tante masih
jongkok sedang mencuci vaginanya. Aku dekap dari belakang dan si tante
berdiri dan kegelian karena penisku mentul-mentul menyentuh bukit
pantatnya. Aku belum lihat benar bagaimana badan si tante dan aku agak
mundur.
Seketika penisku tegang lagi karena yang kulihat sekarang nyata bukan
dari tempat mengintip. Dan tangan si tante memegang lagi batang penisku
sambil menyiramnya untuk mencuci yang tadi. Aku gemetar karena
pengalaman seperti ini luar biasa untuk anak seumurku. Buah dada Tante
Ida menantang dan tegar, kelihatan pori-porinya meremang karena udara
agak dingin di kamar mandi. Dan itu bukit vaginanya gundul sekali dan
agak merekah merah terbuka bekas tadi. Aku tak tahu mesti apa selain
meraba buah dadanya lagi kali ini dari depan. Tante Ida menarik aku dan
mencium bibirku, aku menurut saja dan badan kami merapat. Tangannya
terus mengurut-urut batang penisku. Dan aku meraba pantatnya yang sintal
kencang. Buah zakarku pun diremas-remasnya pelan-pelan. Kemudian Tante
Ida menaikkan kakinya sebelah ke atas bak dan dimasukkannya lagi
penisku. Lincir sekali dan panas terasa di batangku. Kali ini Tante Ida
bergoyang maju-mundur dan pantatku juga ditekannya mengikuti irama. Aku
ikut saja menggoyangkan sambil memeluk, mengisap putingnya, mencium
bibirnya.
Beberapa saat kami bergoyang sama-sama, tapi pahanya Tante Ida pegal
rupanya dan dicopotnya penisku, kemudian ia berbalik dan nungging
pegangan ke bak mandi. “To dari belakang To,” dan tangannya diulurnya
dari tengah selangkangannya, ditariknya penisku dan pelan-pelan
digosoknya ke bibir vaginanya. Aduh panas banget deh itu bibir, terus
aku desak maju dan “Bless..” kepala jamurku masuk bergesek-gesek lincir
dengan dinding lubangnya. Tante Ida juga bereaksi dan pinggulnya
berputar seperti penari perut itu. Aduh luar biasa deh, aku nanar dan
tidak bisa mikir lagi. Pantatku maju-mundur penisku menggaruk-garuk
lubang. Dari posisi ini aku bisa lihat jelas batang penisku basah kuyup
dan bibir vagina Tante Ida ketarik keluar-masuk. Tanganku mengulur ke
depan meremas buah dadanya yang menggantung besar dan bergoyang
menggeletar, nafas Tante Ida mendengus desah. Akhirnya aku meledak-ledak
lagi dan Tante Ida terbantar dia rupanya sudah duluan orgasme. Setelah
itu kami mandi di pancuran sama-sama dan saling meraba-raba berpelukan
dan aku puas sekali memerah susunya. Buah dadanya juga buat aku bagus
sekali, aku puas sekali meremas-remas itu. Luar biasa wanita ini.
Kemudian kami lanjutkan lagi di ranjang. Dan aku cuma bisa rebah di
bawah dan Tante Ida yang naik di atas. Pantatku diganjal dengan bantal
dan terasa penisku lebih terulur, si tante meremas penisku yang lemas
dan pelan-pelan diciumnya kepala penis dan akhirnya dimasukkan ke mulut
dan aku melenguh-lenguh geli dan agak linu karena sudah dua kali main.
Tak lama penisku tegang lagi dan tante naik menunggangiku sekali lagi
menghadapi aku. Buah dadanya bergayut bebas dan liar, aku meremas-remas
sambil menikmati kenyotan vaginanya yang kencang sekali. Tante Ida ini
benar-benar kuda betina binal sekali. Diputarnya pinggulnya dan terasa
sekali dinding otot daging vaginanya meremas-remas batang penisku.
Pelan-pelan orgasmeku mulai bergelombang akan keluar tiba-tiba,
dicabutnya vaginannya, aku menjerit, “Aduhh Tante terusinn dongg..” Dia
tertawa dan diputarnya badannya dan dipegangnya penisku yang sudah panas
sekali. Sekarang tante membelakangiku, dibimbingnya penisku masuk, ia
turun dan “Bless..” aku bisa melihat bibir vaginanya merekah dibelah
penisku. Dan ia mulai lagi bergoyang seperti penari jaipong, luar biasa
tak tergambarkan, enak.
Tak lama aku meledak, dan si tante mengandaskan penisku semua masuk
dan ia masih membuat gerakan memutar dengan pinggulnya dan kakinya
lurus, ditekannya habis dan tante pun meledak-ledak melenguh keras,
“To.. enak sekali To..” Benar-benar wanita luar biasa. Dia bilang dia
suka sekali hubungan kelamin. Tapi suaminya sering tugas ke luar kota
dan seperti sekarang ini setahun penuh belajar di **** (edited). Malam
itu jam 24.00 lebih baru aku dilepas sama Tante Ida. Aku masih
berkali-kali lagi sama dia selama suaminya sekolah itu. Dan ketika aku
kemudian sama Ita anaknya, Adeline keponakan Tante Ida juga aku sempat
enjoy sama-sama waktu Tante Ida ke luar kota sama suaminya.
Aku masih berkali-kali lagi sama dia selama suaminya sekolah itu. Dan
ketika aku besar kemudian Ita anaknya juga pernah ngelmu sama aku
(gantian setelah aku ngelmu sama seniornya). Adeline keponakan Tante Ida
juga aku sempat enjoy. Ada lagi Mbak Icih pembantu di rumahnya yang
molek juga. Pengalaman-pengalaman di situ sangat berkesan dan mendidik
aku tentang hal sex.
Besoknya tengah hari, aku ke rumahnya lagi karena pagi-pagi tadi aku
terbangun sudah tegang sekali terbawa ke impian segala pengalaman
pertama itu. Aku mengharapkan bisa main lagi karena biasanya
anak-anaknya suka dibawa jalan-jalan sama ibunya Tante Ida kalau hari
Minggu. Rupanya sudah pada pergi karena sepi sekali, wah asyik aku pikir
dan nafasku terasa sudah terengah-engah membayangkan apa yang akan aku
alami. Kok sepi sekali, tidak kedengaran suara, ah mungkin si tante
tidur, aku pikir. Aku pelan-pelan ke kamarnya, tidak ada. Kemana ya? Di
kamar mandi aku lihat juga tidak ada. Aku ke paviliun kamar Bu Etty
ibunya Tante Ida mungkin lagi beres-beres di situ, pikirku. Tanpa
mengetuk aku masuk dan dari balik pintu aku lihat ada bayangannya sedang
membungkuk membelakangi di dekat ranjang, segera aku masuk dan kupeluk
dari belakang sambil meremas-remas buah dadanya. “Aiihh..” jeritnya.
Astaga! rupanya Bu Etty, bukan Tante Ida sedang setengah telanjang baru
mandi.
Aku ternganga dan tidak bisa bicara dan Bu Etty lemas karena kaget
terduduk di ranjangnya. “Duhh nak Toto kenapa ngagetin Ibu..” dan dia
terduduk di ranjangnya, handuk yang sekedar menutup tubuhnya tidak cukup
panjang sehingga bagian atas handuk turun ke perutnya buah dadanya
menggandul lepas bebas. Aku tambah menganga melihat itu dan penisku di
dalam celana pendekku tidak tahu diri, dia masih tegak saja seperti
tiang bendera tujuh belasan. Kami terdiam dan Bu Etty tak berusaha
menutup buah dadanya yang masih sintal. Memang ibu dan anak ini
dikaruniai tubuh yang amat seksi. Bu Etty umurnya kurasa sudah berumur
tapi badannya amat terpelihara, ya seperti itu loh ibu-ibu yang rajin
minum jamu-jamuan. Buah dadanya sama seperti Tante Ida biar agak sedikit
turun, dan dia lebih tinggi dari Tante Ida, jadi anggun sekali.
“Mau ngapain nyari Tante Ida?” tanyanya tanpa sungkan.
Aku tergagap-gagap.
Aku tergagap-gagap.
“Eh.. oh itu mm nyari majalah..”
“Lho kok meluk-meluk dan meremes-remes tetek orang,” sergahnya.
Aku tambah pucat dan tidak sadar atau terpikir bahwa Bu Etty kok tidak
berusaha menutupi payudaranya itu yang kontal-kantil di depanku.
“Itu anu.. anu.. aku.. sa.. sa.. saya tidak sengaja..” gagapku.
“Mana bisa tidak sengaja orang kamu sudah ngeremes-remes, sakit tahu..” bentaknya lagi, “Sini kamu!” sergahnya.
“Tanganmu lancang sekali ya, coba sini mana tanganmu! aku mesti laporin sama ayah kamu.”
Aku sudah tambah hijau biru pucat pasi dan keringat dinginku deras mengalir di punggungku. Penisku yang tadi sudah tegang jadi mengkerut kecil sekecil-kecilnya lembek di dalam celanaku seperti kura-kura kena gertak kepalanya, masuk deh ke dalam batoknya. Malah ingin ngompol rasanya.
Aku sudah tambah hijau biru pucat pasi dan keringat dinginku deras mengalir di punggungku. Penisku yang tadi sudah tegang jadi mengkerut kecil sekecil-kecilnya lembek di dalam celanaku seperti kura-kura kena gertak kepalanya, masuk deh ke dalam batoknya. Malah ingin ngompol rasanya.
Kuulurkan tangan yang gemetar dingin dan dipegang oleh Bu Etty.
“Ya sudah,” katanya.
“Ini ayo remas-remas lagi, kan kamu pengen,” sambil menaruh kedua telapak tanganku di atas buah dadanya.
Aku tambah takut dan bingung, tidak percaya, dan kutarik tanganku
kembali begitu menyentuh buah dadanya seperti kena panci panas. Bu Etty
malah jadi tertawa kecil. “Nak To, jangan cemas tidak ngegigit kok buah
dadaku,” derainya sambil tersenyum sekarang. “Aku kemarin malem lihat
kok kamu jam berapa pulang dari sini, dan ya aku ngerti kok si Ida itu
sama saja memang nafsunya besar sekali. Seperti aku juga,” ujarnya. “Ibu
juga seminggu mesti sedikitnya 4 kali main,” katanya tanpa malu-malu.
Aku hanya bisa mengangguk-angguk tidak tahu mesti menjawab apa. Tahu
dong kalian kalau habis begitu kan perut masih mual enek,
terkaget-kaget, duh untung aku tidak ngompol di depan dia deh. Mana dia
ngomongnya blak-blakan begitu seperti bukan orang Indonesia saja. Aku
merasa pening sakit kepala.
“Duh nak Toto kaget ya,” sambil berdiri ia menarik aku dan dipeluknya
kepalaku ke buah dadanya. Baru aku agak tenang, dan tiba-tiba terasa
tangan Bu Etty turun ke pinggangku dan “Sret..” sekali tarik celana
kaosku sudah ditariknya separuh turun. “Hi.. hi.. hi.. lihat nak,
mengkerut kecil tuh si buyung. Kasian deh kamu, sini Ibu hiburin dia,”
sambil ditariknya kepala penisku yang tidur, ia membungkuk dan seketika
handuknya terlepas total jatuh di kakinya dan bebaslah tubuhnya yang
jangkung itu dari segala hambatan. Beda dengan Tante Ida, Bu Etty
kulitnya kuning, turunan Sunda sih. Tante Ida mungkin dapat kulitnya
hitam begitu dari bapaknya yang turunan Ambon barangkali.
Ia berjongkok di depanku, ditaruhnya penisku di tapak tangannya dan
disaputkan ciumannya di penisku sepanjang batangnya, disaputkan dengan
halus batangnya, disaputkan dengan halus, ketika si “Joni” dikasih angin
begitu langsung mulai memanjang deh. Tangannya meremas-remas lembut
sekali di buah zakarku dan aku juga masih shock karena belum pernah tahu
ada soal cium mencium alat vital. Dengan jelas kemarin sama Tante Ida
cuma dia kenyot sebentar saja, duh bodoh benar deh kalau ingat itu.
Didorongnya aku ke tempat tidurnya dan mulutnya sekarang mulai merekah
dan lidahnya terasa kasap keluar menjilat-jilat batang penisku. Tak
terkira nikmatnya dan aku cuma bisa mengeluh lenguh, “Aahh.. ahh..”
Kubaringkan badan di tempat tidur Bu Etty dan si ibu pelan-pelan sambil
terus menghisap kepala penisku. Bu Etty kemudian berputar dan akhirnya
vaginanya di atas mulutku. Terbelalak aku melihat rimba lebat dan mulai
merekah lubangnya yang merah seperti kerang mentah itu. Aku cuma mencium
bau nafsu yang keluar dari situ dan kelihatan mulai basah lubangnya.
Tiba-tiba Bu Etty menurunkan pinggangnya dan seketika vaginanya hanya
tinggal 1 cm dari mulutku. Aku angkat kepalaku dan mencium sedikit bibir
vaginanya. “Ahh..” lenguh Bu Etty. “Terus terus To..” wah langsung
kusergap dan kukenyot kencang-kencang dan lidahku beputar-putar
menjilat-jilat lubang dan tepian bibir vaginanya. Tidak mengerti sih
mesti diapain.
Dan Bu Etty melepas penisku dan ia duduk di atas bibirku sambil
menggosokkan berputar di atas mulutku, wah aku hampir tidak bisa
bernafas. Paha atasnya terasa mengepit kepalaku dan terasa cairan dari
lubangnya tambah banyak. “Ayo To, lidahnya jilatkan ke atas ke bawah
sepanjang bibir vagina Ibu,” jelasnya. Wah tambah deh ilmuku. Kelak
ilmuku ini ternyata digemari sekali oleh wanita-wanita yang pernah
kutiduri, ya ini dapatnya waktu sama Bu Etty ini. Eh, ngomong-ngomong
hati-hati ya kalau oral karena salah satu sumber penyebaran AIDS juga
dari cara ini (hayo mau kamu kondomin gimana tuh).
Tiba-tiba kurasa tekanan pinggangnya tambah kencang kandas memepetkan
vaginanya ke bibirku dan ia menjerit-jerit kecil, “Ahh.. ahh.. enakk..
hebat kamu To.. Ibu enakk sekalii..” rupanya ia orgasme dengan hebat
sekali. “Hah.. hah.. hahh.. uhh..” ia terengah-engah dan bibir vaginanya
menempel dan ia terbadai terduduk. Vaginanya masih menempel di mulutku
dengan rapatnya. Kutelan cairan-cairan yang mengalir menetes dari dalam
liangya. Dan kudorong sedikit pantatnya itu sambil lidahku menjilat di
sekitar sisi luar bibir vaginanya terus ke arah pantatnya, aku
jilat-jilat pelan. Terasa kasarnya lidahku membuat ia bergelinjang geli.
“Ahh.. ahh.. Toto kamu kok.. pin.. ter.. sekalii..” Dan penisku sudah
tegang keras bukan main yang tadi tersia-sia, disergapnya lagi dan
dimasukkannya lagi ke dalam mulutnya dan disedotnya dengan kuat.
Lidahnya melilit-lilit di sekitar kepala penis mengikuti lekak lekuk dan
nikmatnya tak terbayangkan, sulit kuceritakan di sini. Aku mengejangkan
kakiku dan pantatku sampai terangkat-angkat dari kasur sehingga penisku
tambah panjang terisap-isap Bu Etty. Bu Etty mengambil bantal dan
disedakkannya di bawah pantatku sehingga terasa sekali penisku seperti
terdorong ke atas tambah panjang.
Bu Etty terus mengenyot dan kepalanya ikut maju-mundur sambil kedua
tangannya meraba-raba zakarku. Sekali-kali dirabanya sekitar antara
pantatku dan zakar. Kukunya yang panjang menggaruk-garuk halus dan
gelinya bukan main, menambah nafsuku. Sampai merinding semua kulitku.
Aku terengah-engah sudah tak sadar bagaimana tingkah kelakuanku. Bu Etty
masih tetap nungging di atas kepalaku dan pemandangan vaginanya
menambah nikmat. Kutarik lagi pantatnya dan kulumat-lumat dengan mulutku
lagi. “Auhh aihh..” terdengar suara Bu Etty terhalang penisku dan
seketika kulitnya meremang merinding karena geli dan nafsu.
Aku tiba-tiba merasa spermaku mulai bergelombang mau keluar, kulepas
ciuman di vagina Bu Etty dan aku berderau parau, “Ahh.. Buu.. terus..
terus..” Tapi tiba-tiba Bu Etty melepaskan mulutnya dan dicekiknya
batang penisku sampai sakit sekali dengan kukunya, “Aauu.. aduhh
aduhh..” jeritku kesakitan. Aku terkejut sekali dan kecewa karena
gelombang nikmatnya jadi hilang lenyap, terasa aku frustasi dan mau
meledak marah rasanya. Bu Etty sambil bangkit duduk di sisiku sambil
tertawa dan katanya, “Sudah ya nak Toto.. pakai bajunya gih..” Mulutku
selebar Goa Gajah ternganga bingung. Sadis amat ini orang, kok begini Bu
Etty, pikirku. Maksudnya apa?
Mataku merah dan rasanya berkunang-kunang, pusing rasanya kepalaku
dan aku tidak tahu mesti ngapain. Nafsuku masih menggebu-gebu, nafasku
terasa menderu. Akhirnya aku gelap mata dan kutubruk Bu Etty sampai
terjatuh di atas ranjang dan kubuka pahanya dengan paksa. Terasa ia
mencoba menutup pahanya melawan dan kucegah dengan kedua pahaku.
Tangannya kutekan ke kiri dan kanan di atas keranjang dan ia
meronta-ronta. Kutabrakkan penisku ke lubangnya, waduh susahnya, karena
ia menggelinjang-gelinjang. Mulutku mengecup dan mengisap putingnya.
Aduh gimana nih aku sudah nafsu sekali tapi penisku tidak masuk-masuk.
Tiba-tiba kucoba gigit sedikit putingnya dan “Kres..” kucengkeramkan
gigiku. “Auu..” jeritnya dan pinggangnya terdiam, langsung aku
manfaatkan dan kepala penisku kudesakkan masuk ke lubangnya yang basah.
Dan aku genjot kandas batang penisku sedalam-dalamnya biar Bu Etty tidak
berontak-berontak lagi, takut lepas.
Ia masih mencoba meronta-ronta dan nikmatnya hentakan ronta-rontaan
itu ke vaginanya di batangku. Kupaku dengan penisku dan aku tindih
dengan badan juga, buah dadanya yang sintal lepas tertekan dadaku dan
tanganku masih mencengkeram kedua tangan Bu Etty. Setelah dia agak diam,
aku goyang hanya berputar-putar tanpa mencabut batangku lagi
kencang-kencang, habis takut dia berontak lagi. Terasa buah zakarku
gondal gandul bergesek-gesek menghantam menekan sisi bibir vaginanya
yang tebal dan bulunya menggesek-gesek buah zakarku, geli sekali dan
meledak-ledak spermaku dalam 2 menit di situ. Aku lupa diri, luar biasa
nikmatnya karena tadi tidak jadi keluar waktu di “karaoke” sama Bu Etty
dan badan kami kejang-kejang. Tiba-tiba Bu Etty membalik dan ia sudah di
atas dan ia menggoyang-goyang pinggulnya dengan putaran kuat. Mataku
terbeliak-beliak nikmat. Buah dadanya bergoyang-goyang liar dan
kutangkap dengan kedua tanganku dan kuperah. Bu Etty juga mendesah-desah
keras, akhirnya orgasme lagi, akhirnya terhempas ia ke atas tubuhku
yang penuh keringat.
“Nak Toto enak ya,” katanya sambil tersenyum.
“Tadi kusengaja itu karena dengan gitu nikmatnya lebih tinggi lagi.”
“Duh Ibu pintar sekali sih, belajar dimana sih?
“Lho kan Ibu turunan orang Sunda juga nak Toto, kalau itu memang bakat alam soal ginian, makanya pada pinter kalau jaipong.”
“Oh itu tadi gerak jaipong ya Bu..”
“Iya dong..” katanya sambil mencubit pelan di buah zakarku yang sudah mengkerut keriput.
Penisku masih setengah berdiri dan kepalanya merah tua basah (with an
apology to our Sundanese reader or is it a compliment? No offence meant
ladies buddy, that was my best experience ever.. viva Sundanese). Kami
lalu mandi bebersih bersama-sama saling menyabuni. Kemudian ya jadinya
main juga sekali di kamar mandi sambil berdiri. Aku bereksperimen
diajarkan sama si ibu, memasukkan penisku dari belakang. Bu Etty
membungkuk dan goyang jaipongnya hanya di kepala penisku tanpa
memasukkan seluruh batang. Beda kemarin sama Tante Ida, kami pakai gaya
klasik maju-mundur penisku biar sambil Tante Ida nungging juga.
Kemudian aku diajarkan menjilati klitorisnya tanpa menyentuh bibir
vaginanya, kakinya yang satu ditumpangkannya di tepi bak mandi sehingga
terkuak bebas vaginanya di depan mukaku. Kulilitkan ujung lidahku di
kepala klitorisnya dan ia menggelinjang, buah dadanya terpontal pantil
menahan geli. Tanganku segera meraba ke atas dan berusaha kuperas-peras
kedua buah dada itu. Tapi karena aku di bawah hanya dapat sedikit.
Akhirnya Bu Etty agak membungkuk dan buah dadanya bergantung bebas.
Gemas sekali aku dan kami bermain-main di dalam kamar mandi sampai
hampir 1 jam.
Rupanya hari itu Tante Ida sekalian mau belanja, jadi ia pergi sama
anak-anaknya, makanya Bu Etty yang di rumah. Sambil istirahat kami
membuat minuman hangat dari termos di kamarnya dan duduk di ranjang di
kamar Bu Etty. Kami tetap telanjang bulat.
“Bu, jadi tahu ya tadi malam aku main sama Tante Ida.”
“Iya dong nak, kan Ibu sudah pengalaman dan lumrah kok seperti Ibu bilang tadi kami memang wanita yang nafsunya kuat sekali.”
“Lalu, kata ibu tadi seminggu sedikitnya 4 kali, sama siapa biasanya
Bu?” tanyaku sambil membaringkan badan memegang memilin-milin puting
susunya.
“Oh.. Ibu sama teman-teman bertiga, ada semacam klub kecil,” katanya
sambil tertawa renyah sambil ekspresi mukanya menahan geli dari pilinan
jariku.
“Biasa kami nyari anak SMA, mahasiswa atau anak-anak muda dan kami bawa ke villa teman Ibu atau ke hotel juga.”
“Ibu makanya awet muda ya, itu kami selalu nyari perjaka-perjaka untuk diperawanin,” cekikiknya manja.
Tangannya juga iseng meraba-raba pantatku dan dari bawah pahaku ke belakang dijamahnya lagi buah zakarku.
“Ibu paling demen sama anak seumur kamu deh, nafsunya besar dan cepet
sekali pulihnya, bentar-bentar sudah ngaceng lagi..” ujarnya.
Sambil terus meremas-remas buah zakarku dan batang penisku yang sudah
mulai berdiri lagi. Didorongnya badanku sehingga aku rebah dan Bu Etty
naik ke atas mengangkangkan pahanya dan ia berjongkok di atas penisku
yang separuh tegang. “Diam ya nak To..” Pelan-pelan dipegangnya daging
sosisku dan disaputkannya kepala penisku di tepi-tepi bibir vaginanya
yang ada rambutnya. Aduh, nikmat sekali dan pelan diarahkannya ke lubang
nikmat itu dan “Bless..” mulai masuk lagi, nikmat luar biasa walau
penisku terasa agak perih digeber dua hari ini. Belum tegang penuh tapi
vagina Bu
Etty seperti bisa menarik masuk dan tekanan pinggulnya
sedemikian rupa.
“Aku suka sekali di atas,” kata Bu Etty, “Karena bisa ngontrol
gerakan dan garukan batang penis ke klitorisku,” katanya. “Sekarang
diam, nak Toto rasakan merem deh.. merem..” Aku merem dan senut-senut
terasa sekali dinding lubangnya berdenyut-denyut kencang. Bu Etty tidak
ngapa-ngapain, hanya merem juga waktu kuintip. Aku merem lagi dan
kuulurkan tanganku ke buah dadanya yang montok sekali itu. Duh.. seperti
memegang melon. “Remes To.. remes!” keluhnya manja sekali dan penuh
nafsu. Suaranya berdesah-desah, “Ahh.. ahh.. enakk.. putingnya To..
putingnya ibu atuh.. uhh..” Pinggulnya mulai berputar pelan-pelan sekali
gaya penari jaipong dan kadang sambil jongkok ia menaik-turunkan
pinggulnya. Hebatnya sedotan dari dalam vaginanya itu lho. Aku rasa
kalau vacuum cleaner-nya rusak bisa tuh dipakai menyedot debu.
Buat aku ya enaknya buah dadanya tersaji di depan mataku dan tinggal
ulurkan tangan saja. Aku meremas-remas buah melon yang kenyal itu.
“Bu, aku diajak ke tempat teman-teman Ibu dong..” ujarku tiba-tiba.
“Ha ha.. ha.. entar kamu apa kuat ngelayani kami-kami To?”
“Coba deh Bu..” bisikku sambil terus meremas buah dadanya.
“Gini deh, lain kali aku ajak kamu tapi aku tidak bilangin mereka kamu
sudah pernah main ya.. biar lebih seru.. Kemarin sama nak Ida gimana
enak?”
“Enak juga Bu, tapi kayaknya Ibu Etty lebih jago ya..” pujiku sambil
mataku terbelalak-belalak karena genjotan pinggul Bu Etty tambah seru
saja.
Keringatnya menetes-netes ke dadaku dan bau harum badannya tambah
kuat karena hawa panas badannya. Harum sekali si ibu ini, pikirku sambil
menikmati hentakan pinggulnya yang tambah cepat. Dan tiba-tiba Bu Etty
kandas dan vaginanya merapat lagi dengan buah zakarku. Sekarang ia
berputar-putar tanpa naik-turun. Terasa ujung penisku di dalam itu
seperti diperas dengan kuat sekali dan.. “Srot.. srot..” aku meledak
ledak tak terkendali lagi. Letih betul rasanya dan kami tertidur setelah
itu.
Sorenya menjelang magrib aku terbangun dan Bu Etty masih telanjang
bulat. Aku pelan-pelan bangun mau beranjak pulang mencari celanaku,
tiba-tiba aku melihat ada orang di pintu mengintip dan ia tidak melihat
aku di dekat kamar mandi. Rupanya Adelin keponakan Tante Ida yang kuliah
di kota ini berkunjung. Aku kaget dan tidak tahu mesti apa. Wah kalau
ketahuan tidak enak. Adelin cantik sekali anaknya dan seperti tantenya
Ida dan Bu Etty, tubuhnya juga seksi sekali. Ah, untung dia melihat Bu
Etty tidur dan dia pergi lagi. Sekarang bagaimana aku keluar nih. Pintu
paviliun Bu Etty tidak pernah dibuka dan ada lemari di depannya. Ya
sudah aku pakai baju kaos dan celanaku dulu deh. Pelan-pelan aku buka
pintu kamar dan kuintip, wah si Adeline lagi sama Mbak Icih di dapur,
aku mengendap-endap ke kamar tamu dan pura-pura duduk baca majalah.
“Lho ada kamu To,” ujar Adeline waktu masuk lagi dari dapur.
“Kamu ngapain? Aku nggak lihat kamu masuknya.”
“Aku mau baca majalah nih..” sahutku sekenanya.
“Ok, aku mau pergi dulu ya,” katanya sambil keluar.
“Tante Ida belum pulang ya?”
Adelin berputar dan ala mak pinggulnya seksi banget deh dan aku karena
sudah ngeres melulu 2 hari ini langsung merasa desiran di penisku.
Adeline pergi dan aku sendirian di ruang tamu menjelang petang dan aku
jadi naik ke otak lagi.
Aku bangkit dan ngintip ke kamar Bu Etty. Wah masih tidur nyenyak
habis di servis enak sih. Tiba-tiba ia bergulir miring membelakangi
pintu dan aku, selimutnya tersingkap, wah pantatnya terlihat dan dari
belakang bulu-bulu serta kemaluannya jadi kelihatan sudah deh si “Ujang”
langsung bangun dan aku jadi bingung. Mestinya Tante Ida sebentar lagi
pulang dan kalau aku main lagi takut ketahuan deh. Bu Etty bergeser lagi
dan telungkup, kakinya terbuka dan aku bisa lihat jelas vaginanya.
Lututku lemas dan nafasku menderu. Aku tidak kuat lagi, biarin
ketahuan-ketahuan deh. Aku masuk dan kukunci pintu perlahan. Kubuka
celana pendekku dan aku dekati pelan-pelan dari belakang. Kuendus-endus
dulu sekitar vaginanya, wah ternyata masih basah, dan karena Bu Etty
mengangkang sambil terlungkup aku bisa lihat jelas dalam cahaya senja
yang masuk pas di garis pantatnya yang sintal dan besar itu. Aku
berlutut dan pelan-pelan kudekatkan penisku. Pelan kuletakkan di mulut
bibir vaginanya dan aku diam. Hmm, tidak bereaksi, kudorong pelan sekali
mendesak bibir tebal itu. Masuk sedikit lagi, duh enaknya karena terasa
hangat. Aku diam lagi menikmati dan kugerakkan sedikit halus sekali.
Tiba-tiba Bu Etty bergerak lagi menggeser pantatnya dan “Bles..” malah
masuk lagi, sekarang kepala penisku.. eh masih tidak bangun juga. Dengan
halus sekali aku dorong lagi sedikit sekali, terasa berdenyut-denyut
dinding vaginanya dan seperti
“nggremet-grement”.
Duhh.. enak banget. Aku maju lagi. Tanganku bertelekan di ranjang
tanpa kena tubuh Bu Etty, sudah rada pegel sih, tapi nafsuku sudah
menderu-deru dan aku sudah tidak peduli apa-apa lagi habis enak sekali.
Maju lagi sudah 3/4 batang masuk dan terasa ada aliran cairan ikut dari
dalam. Tiba-tiba pintu terbuka dan Mbak Icih masuk dengan setumpuk
pakaian baru disetrika. Dia tidak tahu rupanya karena kamarnya gelap
bahwa ada orang di dalam. Aku panik dan sudah tidak bisa narik diri
lagi. Mbak Icih menyalakan lampu dan dia terpana melihat kami. Dia lihat
Bu Etty tidur, ya aku hanya bisa pucat dan diam karena kalau dicabut
pasti bangun Bu Etty. Akhirnya aku hanya bisa meletakkan jariku di bibir
bilang supaya Mbak Icih diam. Penisku langsung lemas dan Mbak Icih
langsung keluar, untung dia tidak menjerit. Aku jadi hilang nafsu dan
kutarik pelan-pelan batang yang sudah lembek itu dan aku cepetan pakai
celana lagi.
Keluar dari kamar kulihat Mbak Icih terdiam di dekat dapur. Aku mau
mendekat ke sana, tiba-tiba pintu depan terbuka dan Tante Ida pulang.
Dalam hati aku bersyukur juga, kan tidak enak kalau pas lagi “ngegenjot”
tadi. Rupanya waktu kukunci tidak benar masuknya karena pintunya belum
tutup betul. Dasar kalau sudah nafsu begitu sudah tidak jalan otak dan
rasa.
Aku panik dan Tante Ida melihat aku, hampir saja tidak terdengar.
“To cari majalah lagi?” tanyanya.
“Apa, apa.. Tante? Oh ya..”
“Kamu kenapa To, mana Ibu?” katanya sambil masuk ke dalam dan pantatnya disenggolkannya ke pantatku.
“Oh itu Ibu Etty tidur sore..” ujarku.
Aku masih bingung bagaimana dengan Mbak Icih. Tante Ida langsung ke
dapur dan kudengar ia meminta Mbak Icih memanaskan makanan-makanan yang
dibawanya. Hmm aman sedikit, kupikir dia sibuk.
“To, mau makan di sini?” tanya Tante Ida.
“Tidak deh.. aku disuruh jaga rumah kok Tante (he he..he jaga rumah
malah setengah hari di rumah tetangga). Ayah dan ibu semua pada pergi ke
Bogor pulangnya besok pagi-pagi.”
“Wah kamu sendiri ya,” kata Tante Ida sambil mengedipkan mata.
“I.. iya.. ya.. (wah tadi aku kunci rumah tidak ya)” jawabku sekenanya.
“Ya sudah, kamu mau pulang?”
“Iya iya..”
Aku masih bingung, sudah tidak tahu mesti apa tentang Mbak Icih.
“Nanti Tante ke sana deh lihat kamu,” katanya lagi sambil tersenyum berarti.
Aku lantaran bingung hanya bilang iya tanpa ekspresi.
“Kamu baik-baik saja To?” tanyanya lagi.
“Iya Tante.. pulang dulu ya.. itu majalah saya sudah rapikan lagi.”
Dan aku pulang sambil berdebar-debar apa yang akan terjadi nanti.
Pulang aku mandi, berusaha menenangkan diri. Dalam hati aku menyesel
kenapa mengikuti nafsu saja, jadi kacau semua akhirnya, pikirku. Tapi ya
sudah kupikir semua sudah terjadi, bagaimana nanti deh. Aku belum makan
tapi sudah tidak kepinginan. Selesai mandi aku bereskan buku untuk
besok, berusaha mengalihkan pikiran.
“Tok tok tok..” ada yang mengetuk pintu samping. Kemudian aku ke
situ, Tante Ida pikirku. Waktu itu aku tidak jadi senang mikir
sebenarnya karena aku sendirian bisa main lagi sama Tante Ida di
rumahku. Kubuka pintu, ternyata Mbak Icih membawa nampan dan katanya,
“Mas To, ini dari Tante Ida, beliau ada tamu luar kota mesti ditemenin
ke stasiun jemput saudara, katanya gitu dan ini disuruh makan dan Mbak
disuruh nemenin Mas To sampai selesai makan. Bu Etty dan anak-anak juga
ikut semua.” Aku bengong dan kupandang Mbak Icih biasa-biasa saja. Aku
ambil nampan dan kukatakan,
“Tidak usah ditemenin deh Mbak, aku bisa.”
“Ah jangan Mas To entar saya dimarahin, lagian di rumah tidak ada orang, saya rada takut sendirian.”
“Lho sudah dikunci belum rumahnya,” tanyaku.
“Sudah Mas.”
“Iya sudah masuk deh Mbak!”
Aku makan dan Mbak Icih duduk di dingklik nonton TV, biasa sinetron
“blo’on” Indonesia. Tiba-tiba Mbak Icih cekikan pelan, aku lihat di TV
pas ada iklan, Srimulat rupanya. Aku masih mikir soal ketangkap tadi.
Akhirnya aku ngomong to the point.
“Mbak Icih jangan cerita siapa-siapa ya soal tadi di kamar Bu Etty.”
“Oh itu tidak apa-apa kok Mas To, di rumah situ mah bebas saja. Hanya saya ya kaget saja karena
tadi saya kira tidak ada orang.”
“Maksud Mbak gimana, bingung aku.”
“Oh gini loh Mas To. Kalau laki perempuan kan lumrah suka gituan.”
Aku jadi tambah bengong saja, ini orang ngomong apa sih.
Aku jadi tambah bengong saja, ini orang ngomong apa sih.
“Mbak Icih kan sudah pernah kawin..” lanjutnya sambil senyum-senyum.
Dan di dingklik itu ia duduk sambil cerita sedikit sembarangan, sehingga
sarungnya tersingkap di tengah. Aku menangkap pemandangan itu kelihatan
betisnya, eh.. ini orang mulus juga. Biasanya orang dari desa suka
kurang terawat, aku sekarang jadi melihat secara sadar, wah ini orang
boleh juga.
Aku tidak jelas umurnya berapa, tapi orangnya rapi dan feminin. Buah
dadanya kulihat naik-turun di balik kaos lusuh pemberian majikannya,
barangkali kira-kira separuh Bu Etty dan Tante Ida deh. Si “Ujang” di
balik celanaku terasa mulai bergerak-gerak lagi. Waktu itu sudah jam
07.00-an rasanya. Selesai makan aku sikat gigi di kamar mandi dan
kudengar Mbak Icih beres-beres dan cuci piring. Keluar dari situ,
kulihat Mbak Icih masih nyuci dan kupandang dari belakang. Mak..
pantatnya molek di balik ketatnya sarungnya itu tampak jelas. Aku
berdiri di sampingnya dan kami saling memandang dan seperti ada kontak
hati saja. Suasananya terasa seperti ada listriknya antara kami, dan aku
ulurkan tanganku meraba pantatnya dan naik ke pinggangnya. Kupeluk dari
belakang dan kumasukkan tanganku ke depan di bawah kaosnya, terasa
BH-nya yang kasar menutup buah dadanya. Aku remas-remas dari luar
BH-nya, dan terasa pantat Mbak Icih mundur merapat ke penisku
bergeser-geser. Kucium kuduknya dan ia menggelinjang.
“Entar dulu Mas To, piringnya pecah entar,” ujarnya perlahan.
“Taruh saja dulu,” jawabku.
Aku tarik BH-nya ke atas dan mulai kuraba dengan telapak tanganku,
kedua puting susunya yang segera saja mengeras sensitif sekali. Mbak
Icih lemas dan bersandar ke aku dan ke tempat cuci piring. Penisku sudah
tegang keras dan menusuk dari dalam celanaku ke pantatnya. Kuturunkan
tanganku dan kulepaskan sarungnya dan jatuhlah sarungnya ke kakinya
tinggal celana dalamnya dari kain bekas terigu itu. Tangan kananku masuk
dan telapak tanganku menangkup di atas vaginanya, tangan kiriku masih
meremas-remas buah dadanya. Celana dalamnya longgar dan kudorong ke
bawah sampai ke lututnya dan kutarik dengan jari kakiku sampai turun ke
pergelangan kakinya. Tangan Mbak Icih juga diulur ke belakang dan
mencengkeram batang yang membara sambil ia mendesah kegelian. Kulihat
lengan atasnya merinding-rinding, keenakan rupanya dia. Aku turunkan
celanaku dan kemudian kuangkat pahanya sebelah dan kubisikkan, “Mbak
taruh di atas pinggir bak itu..”
Jadi sekarang vaginanya pas terbuka di depan penisku yang sudah mengacung ke atas.
“Ini cara apa Mas To,” keluhnya, “Masukin dong Mas masukin!” Aku hanya
maju-mundur mengarukkan penisku di sekitar pantatnya dan lubang
vaginanya. Tanganku masih aktif meremas-remas terus buah dadanya. Mbak
Icih berusaha menggapai batangku tapi aku menghindar dan Mbak Icih
tambah kencang desahnya karena jariku sekarang memilin-milin bibir
vaginanya dari depan sambil berusaha mencari klitoris yang tadi diajari
Bu Etty. “Mass.. Mass.. Ayo dong.. masukin..!” keluhnya. Aku tarik
BH-nya ke atas dan mulai kuraba dengan telapak tanganku kedua puting
susunya yang segera saja mengeras sensitif sekali. Mbak Icih lemas dan
bersandar ke aku dan ke tempat cuci piring. Penisku sudah tegang dengan
keras dan menusuk dari dalam celanaku ke pantatnya. Kuturunkan tanganku
dan kulepaskan sarungnya dan jatuhlah sarungnya ke kakinya tinggal
celana dalamnya dari kain bekas terigu itu. Tangan kananku masuk dan
telapak tanganku menangkup di atas vaginanya tangan kiriku masih
meremas-remas buah dadanya. Celana dalamnya longgar dan kudorong ke
bawah sampai ke lututnya dan kutarik dengan jari kakiku sampai turun ke
pergelangan kakinya. Tangan Mbak Icih juga diulur ke belakang dan
mencengkeram batang yang membara sambil ia mendesah kegelian, kulihat
lengan atasnya merinding-rinding, keenakan rupanya dia. Aku turunkan
celana dalamku dan kemudian kuangkat pahanya sebelah dan kubisikkan,
“Mbak taruh di atas pinggir bak itu.” Jadi sekarang vaginanya pas
terbuka di depan penisku yang sudah ngacung ke atas.
“Ini cara apa Mas To,” keluhnya, “Masukin dong Mas, masukin!” Aku
hanya maju-mundur menggarukkan penisku di sekitar pantatnya dan
nyundul-nyundul lubang vaginanya. Tanganku masih aktif meremas-remas
terus buah dadanya. Mbak Icih berusaha menggapai batangku tapi aku
menghindar dan Mbak Icih tambah kencang desahnya karena jariku sekarang
memilin-milin bibir vaginanya di depan sambil berusaha mencari klitoris
yang tadi diajari Bu Etty. “Mass.. Mass.. Ayo dong.. masukin..” Keluhnya
mendesah-desah basah suaranya, menambah seru dan panas. Aku lepas
t-shirt-ku dan kaos Mbak Icih, BH hitamnya yang sudah tersingkap
kurengut dan telanjang bulatlah kami.
Aku terus sengaja hanya menciumi dan menggigiti telinganya, dan tiap
kali merinding bulu tengkuknya, kelihatan pori-pori lengannya meremang
dan ia menggelinjang geli. Penisku tergosok-gosok celah di antara bukit
pantatnya tiap ia menggelinjang. Kupeluk terus dari belakang dan pahanya
masih tetap di atas bak yang sebelah. Penis kugaruk-garukkan ke tepian
lubangnya dan banjir cairan kental dari lubangnya tambah banyak,
berkilap-kilap mengalir di sepanjang paha yang satu. Ia mencoba lagi
menggapai penisku tapi aku mundur dan tetap kupelintir klitorisnya dan
kugosok-gosok lembar dalam bibir vaginanya dengan ujung kuku. Mbak Icih
tambah panik dan keluhannya seperti orang yang sudah mau menangis
kepingin sekali. “Ahh Mas To, ayo dong masukinn Mass.. Mbak tidak kuat
lagii..” kepalanya digoyang-goyangnya ke kanan ke kiri (katanya, orang
ekstasi juga gitu ya).
P.S: Aku memang lagi iseng ingin eksperimen setelah dicakar, dicekik
kepala penisku sama Bu Etty pertama kali, pas aku mau muncrat itu..
memang loh bener lebih enak, gayanya kalau tidak langsung digebrusin
muncrat, dan kalau high dengan narkoba gitu ya. Amit-amit, aku tidak
pernah mencoba sekali juga (habis menurutku goblok tuh yang main narkoba
dan obat batuk hitam, apa urusannya, ya aku yang ngetik).
“Iya..” Mbak Icih membisikkanku dekat sekali telinganya dan mengembus
ke lubang, kugigit juga sedikit anak telinganya. Kumasukkan sedikit
dari bawah penisku ke mulut lubang vaginanya dan kupegang batang panisku
dan kuputar-putar di gerbang itu tanpa aku dorong masuk. Mbak Icih
berusaha memasukkan lebih dalam tapi kutarik kalau dia agak turun.
“Mass.. jangan disiksa dong.. tusukkin tusukkinn..” jeritnya agak keras.
Aku kaget juga, gila ini Mbak. Nafsunya sudah tidak terkendali lagi. Ya
sudah aku masukkan setengah dan kugoyang pinggulku dan ia juga segera
naik-turun. Tangan kiriku meremas-remas buah dadanya dan sambil
memulir-mulir puting susunya yang sudah keras seperti kerikil. Erangan
Mbak Icih menambah erotisnya, dan busyet.. empotan vaginanya bukan main,
beda sekali dengan Bu Etty atau Tante Ida, agak kering tapi tetap enak
sekali. Kepala penisku terasa digenggam beludru dengan mapan sekali.
Berkunang-kunang rasanya mataku, kugigit lagi sedikit pundaknya sambil
kuciumi terus kuduknya. Tangan Mbak Icih menjulur ke belakang dan
meremas-remas bukit pantatku, sementara tanganku satu lagi juga tidak
menganggur memoles-moles, kupetik-petik biji klitorisnya yang tambah
nongol keluar. Gila ada sebesar kacang Garuda yang belum dikupas. Terasa
keluar dari lubang sisi atas vaginanya, keras-keras empuk. Mbak Icih
tambah menggerung-gerung, “Ahh.. ahh.. Mas Mass..” dan tiba-tiba ia
turunkan kakinya dari bak dan menarik pantatku dan masuklah amblas
sedalam-dalamnya penisku. Pantatnya menempel rapat sekali. Terasa lincir
karena keringat kami yang sambil berdiri mengalir. Bau badan Mbak Icih
itu seperti bunga melati, sama dengan orang Cendana suka melati dia
ini). Bersih, biar dia orang dari kampung tapi sepertinya mengerti
kebersihan badan.
Kupeluk buah dadanya dalam tangkupan telapak tanganku dan ia
membungkuk berpegangan ke bak dan pantatnya, pinggulnya berputar-putar,
rasanya penisku diulek-ulek dan tiap kali ia berputar tambah cepat dan
gelombang-gelombang sinyal kenikmatan mulai terbentuk seperti tsunami
bergelora, “Aahk..” ia menjerit cukup kencang sampai aku sempat sekilas
kaget berpikir, wah kalau kedengaran tetangga bisa gawat, tapi langsung
hilang karena orgasmeku sudah menjelang. “Plok.. plek.. plekk..” bunyi
tubuh kami beradu bercampur keringat dan cairan bau di sekitar situ
sudah mesum sekali bau sex, edan. Meletuplah Mbak Icih dan
erangan-erangannya terus menerus. Tiba-tiba cengkeraman vaginanya begitu
kuat sampai aku menjerit karena agak sakit dan dikendorkannya sedikit.
Aku pun tidak kuat lagi menahan, “Mbak Icihh..” kukandaskan dalam-dalam
batang penisku dan zakarku rapat-rapat dengan bibir vaginanya, dan
akhrinya kami saking lemasnya jatuh terduduk di depan bak cuci piring
itu. Terengah-engah dan berpelukan telanjang bulat. Spermaku bertebaran
di lantai dapur. “Mbak Mbak.. enak sekalii.. Mbak Icih hebat bangett..”
Mukanya agak merengut dan aku sengaja tidak memberi tadi tubuhnya. “Mas
To, aduh saya sudah beneran mau gila tadi rasanya.. untung masih inget
kalau tidak saya sudah teriak kencang-kencang,” katanya sekarang sambil
tertawa mengingat keadaan tadi.
“Tapi enak kan ya Mbak, capek tidak Mbak?”
“Nggak Mas To..” sergahnya dengan cepat.
“Sudah, entar tidur di sini saja deh Mbak Icih,” bujukku dengan penuh rencana.
“Entar saya kasih tahu Bu Etty atau Tante Ida kalau mereka pulang, aku bilang takut sendirian di sini.”
“Hi hi hi, mana mereka percaya Mas To.. mereka juga tahu lah..paling
entar Bu Etty bilang biar dia yang temenin.. hi hi hi.. ” cekikan Mbak
Icih menggodaku.
“Atau Mbak dan Bu Etty yang tidur di sini Mas To..”
Eh ini orang jahil pisan.
Eh ini orang jahil pisan.
“Tapi pasti dikasih deh..” ujarnya lagi.
“Saya mandi dulu ya Mas To. Apa mau sama-sama mandi,” godanya lagi.
“Sudah deh Mas To, istirahat dulu kan sudah 2 hari ini capek,” lho kok
dia tahu saja ya, padahal kemarin kan dia tidak lihat. Aku belum tahu
dan tidak curiga lebih lanjut sampai beberapa waktu akhirnya aku
mengerti, itu cerita lain lagi yang seru juga.
Aku manggut saja, memang remuk rasanya badanku terasa juga, dan
dengan gontai aku masuk ke kamar dan aku juga mandi. Penisku kelihatan
merah tua sekali kepalanya dan sekitar kulit di kepala penis kelihatan
agak seperti lecet tapi aku tidak merasa sakit malah “baal”, kebanyakan
kali ya. Hmm, kemarin pagi aku masih perjaka, luar biasa nasibku dalam 2
hari aku main dengan 3 cewek hebat-hebat. Sambil mandi aku melamun
kenapa tidak dari dulu ya, tapi ya sudah memang jalannya gitu
barangkali, batinku.
Setelah mandi aku baring-baring tetap telanjang, tidak ada siap
siapa. Maksudnya menunggu Mbak Icih mandi dan Ibu Etty cs balik, kan aku
mesti menelepon mereka. Eh, baru 3 menit aku ketiduran, bangun-bangun
aku kaget sekali karena sudah tengah malam. Aku bangun dan kulihat Mbak
Icih masih nonton TV, hanya pakai sarung dikembenin t-shirtnya entah
kemana. Bahunya kuning bersih dan pinggang dan pinggulnya seksi sekali
dilihat dari belakang.
“Mbak sudah makan?”
“Sudah Mas To, dan tadi Bu Etty ke sini, saya sudah kasih tahu juga, Mas To takut sendiri.”
“Apa kata Bu Etty?” tanyaku ingin tahu.
“Kata Ibu ya sudah temenin saja. Dan mereka katanya mau tidur juga capek.”
“Mas To mau makan lagi apa? Mbak gorengin nasi mau, mesti makan telor Mas, buat nambah
tenaga,” katanya sambil senyum nakal.
Aku rasanya lesu dan lemas badanku.
“Tidak usah Mbak Icih, aku mau tidur lagi.. tapi Mbak Icih tidurnya ditempat saya ya.. kan ranjangnya besar sekali.”
“Ah malu Mas To..”
“Duh Mbak, apanya lagi yang malu, kan tidak ada siapa-siapa.”
“Iya deh Mas To, entar Mbak mau nonton dulu ini sinetron ya..”
Sialan sinetron jelek dia mau nonton, mana ada sih sinetron kita yang bagus, bukan sekalian bikin film biru munafik deh.
Sialan sinetron jelek dia mau nonton, mana ada sih sinetron kita yang bagus, bukan sekalian bikin film biru munafik deh.
Besoknya pagi-pagi telepon membangunkan aku, “Kringg..”
“Ya hallo,” sambutku.
“Oh Toto ini Tante Ida, kamu lagi sibuk tidak? Bisa ke rumah Tante sekarang?”
Kontan saja mendengar suaranya si buyung mulai menggeliat. Dasar ngeres dan sudah ngerti.
Kontan saja mendengar suaranya si buyung mulai menggeliat. Dasar ngeres dan sudah ngerti.
“Tentu Tante, aku ke sana sekarang ya,” jawabku dengan gembira ria.
Setiba di rumahnya, Tante Ida sudah cantik berpakaian rapi mau pergi. Aku agak kecewa dan ia melihat itu.
“To, aku perlu pergi ke kantor Oom mau ngambil gaji. Dan sebentar lagi
Ibu Etty pulang arisan dan dia lupa bawa kunci. Mbak Icih lagi nganter
anak-anak ke pesta temen sekolah Ita. Kamu tidak keberatan kan jagain
sebentar, paling seperempat jam lagi pulang kok Bu Etty,” ujarnya sambil
memeluk pundakku.
Susunya nyengsol-nyengsol menyentuh lenganku. Uhh, sudah ingin remas saja deh, dan si buyung sudah separuh naik. Sialan hanya mau diminta menunggu rumah, batinku. Tadinya aku ingin tidur siang. Capai, habis krida hari ini.
Susunya nyengsol-nyengsol menyentuh lenganku. Uhh, sudah ingin remas saja deh, dan si buyung sudah separuh naik. Sialan hanya mau diminta menunggu rumah, batinku. Tadinya aku ingin tidur siang. Capai, habis krida hari ini.
Ya deh Tante Ida, tapi entar aku minta oleh-oleh ya,” kataku sambil
meraba pantatnya dan seketika Tante Ida menggelinjang geli dan ia
memeluk erat.
“Iya..” desahnya basah di daun telingaku.
“Aduh gelinyaa..”
Si “Ujang” langsung naik. Kumasukkan tanganku dari bawah blusnya dan kuremas-remas bagian bawah buah dadanya. Biar minta bonus sedikit, dan penisku kutempelkan di paha atas si tante biar dia tahu aku sudah siap. Tante Ida melenguh dan, “To, aku mesti pergi, entar telat, kasirnya tutup nih,” dan ditariknya tanganku lembut dan dengan terengah-engah ikut nafsu juga. “To, Tante usahakan pulang secepatnya deh, kamu sabar ya,” lenguhnya berusaha melepaskan remasanku.
Si “Ujang” langsung naik. Kumasukkan tanganku dari bawah blusnya dan kuremas-remas bagian bawah buah dadanya. Biar minta bonus sedikit, dan penisku kutempelkan di paha atas si tante biar dia tahu aku sudah siap. Tante Ida melenguh dan, “To, aku mesti pergi, entar telat, kasirnya tutup nih,” dan ditariknya tanganku lembut dan dengan terengah-engah ikut nafsu juga. “To, Tante usahakan pulang secepatnya deh, kamu sabar ya,” lenguhnya berusaha melepaskan remasanku.
Tapi sambil kepingin diteruskan juga sepertinya. Akhirnya lepas juga
sambil terengah-engah dan parasnya merona merah Tante Ida keluar,
jalannya agak terhuyung-huyung. Aku jamin celana dalamnya sudah basah
lembab tuh. Tinggal aku sendirian. Ya sudah aku ambil majalah lagi dan
aku baring-baring baca di kursi malas di kamar tamu. “Ahh..” aku
meronta-ronta dan kok keras amat si buyung dan terasa disedot-sedot
orang. Wah rupanya aku ketiduran dan mimpi, kupikir. Waktu kubuka mata
aku terkejut melihat wajah tak kukenal, dan astaga aku sudah telanjang
bulat. Tanganku terikat ke atas di kursi malas dan penisku sedang
dilumat-lumat. Aku tak tahu siapa satu lagi wanita, aku hanya melihat
kepalanya dan punggungnya telanjang. Kakiku, kakiku, walah terikat juga
ke kiri dan kanan kursi malas. Aku masih setengah mengantuk dan bingung,
sakit kepalaku rasanya terbangun tiba-tiba. Akhirnya aku sadar betul
dan ketika kupalingkan muka ke kanan ada Bu Etty dan dan dia sudah
bulat-bulat juga telanjang. “Bu.. saya diapakan ini,” kataku sambil
nyengir keenakan. “Diam saja dah kamu,” kata Bu Etty tersenyum Ia
bertolak pinggang dan duh buah dadanya menantang betul. Tapi tanganku
tidak bisa mencapainya. Ini siapa Bu semuanya, saya mau diapakan sih?”
Buah zakarku terasa geli sekali digaruk-garuk kuku wanita yang menyedoti
penisku.
Aku menggelinjang geli, dan Bu Etty meraba puting susuku. “Ahh..
enakk..” dan tersiksa betul rasanya tanganku tidak bisa aktif, sudah
ingin betul meremas susu Bu Etty yang gundal gandul di dekat bahuku.
“Ini temen-temen Ibu, To. Bu Endah dan Bu Inggit. Kita tadi ngeliat kamu
ketiduran dan ya seperti Ibu bilang ini temen-temen ibu itu lho,”
katanya sambil menggeserkan buah dadanya di dadaku. Putingnya ditekannya
ke putingku. Enak, empuk, hangat, dan seketika aku tambah bingung, lha
tapi kenapa saya diikat. “Ya, kata Bu Etty kan kemarin itu kamu ngikat
Mbak Icih. Ha ha.. ha.. nah kami tadi iseng pengen ngerjain kamu nih
To.”
Hisapan Bu Endah terasa tambah menghebat, lidahnya berputar-putar di
sekitar kepala penisku dan aku sudah tidak kuat lagi mau meledak. Dan
kuangkat pantatku agar masuk lebih dalam. “Ehh..” Bu Endah malah berdiri
dan melepaskan mulutnya. Wah tergantung aku. Dengan terengah-engah aku
bilang, “Bu tolong dong Bu sedot lagii.. sudah mau muncrat nihh.. Buu..”
Bu Endah, Bu Etty dan Bu Ingit tertawa ramai-ramai, dan aku belum
sempat memperhatikan seksama buah dada mereka kontal kantil
terguncang-guncang karena mereka tertawa melihat aku yang seperti cacing
kepanasan. Mataku masih sepet dan berkunang-kunang dari ketiduran tadi.
Bu Ingit kemudian mendekat dan mengangkang. Pantatnya mengarah ke
mukaku dan ia mulai turun sambil memegang batang penisku,
digosok-gosoknya ke mulut liang vaginanya dan aku mendesah lagi, karena
enak sekali dan aku sudah siap meledakkan orgasmeku. Bu Endah
menggosokkan buah dadanya ke mulutku yang langsung kontan saja aku
sergap, dan putingnya kuhisap dan lidahku berputar-putar di kacang keras
itu.
Bu Endah merem melek dan kulit buah dadanya yang bening kelihatan
garis-garis hijau biru halus dan meremang pori-porinya. Bu Ingit masih
hanya memasukkan separuh kepala penisku dan senut-senut kempotan bibir
mulut vaginanya hangat dan enak sekali. Aku rasanya mau gila karena
kenapa dia tidak memasukkan semuanya, aku berusaha menaikkan pantatku
tapi Bu Ingit selalu menjaga jaraknya. Kurang ajar, dalam hatiku dan aku
rasanya mau menjerit tapi mulutku disumpal buah dada kenyal. Kuku tajam
jari Bu Etty terasa mulai menggaruk di sekitar duburku dan buah
zakarku, menambah kebinalan di dalam otakku yang sudah tak bisa berpikir
lagi. Aku hanya terengah-engah dalam siksaan ketiga ibu-ibu sexy sintal
ini. Bisa dibayangkan, tidak semua mereka telanjang bulat (aku juga)
dan aku tidak bisa semauku. Keningku terlihat kencang mengejang dan
urat-urat dahiku keluar semua. Aku menggeram, “Ahh.. Ayo Buu.. aku
pengen, tolong dong.. masukkin Bu..” Bu Endah menarik buah dadanya dan
ia berlutut dan diturunkannya vaginanya ke mulutku, aku tak berdaya dan
bau harum aku rasakan keluar dan hawa panas hangat dari vaginanya yang
lembab.
Aku ulurkan keluar lidahku dan kujilat-jilat, Bu Endah melenguh,
“Uuhh sedapnya,” dan pantatnya maju-mundur menggeruskan vaginanya di
atas mulutku. Terus di gerus-geruskan bibir vaginanya ke mulutku dan
terasa cairan-cairan dari dalam vaginanya meleleh masukk. Lidahku aktif
menjilati lubangnya dan klitorisnya yang sebesar kacang ijo. Bu Etty sih
sebesar kacang merah nongol. Bu Ingit sementara hanya berputar di atas
kepala penisku. Telapak tangannya bertopang di atas pahaku dan sambil
meraba-raba dengan halus. Gilaa.. pahaku digarisnya dengan kukunya yang
panjang,
“Alamakk.. gelii Bu..”
Bu Etty menungging dan merangkak ke dekat pantatku dan mulutnya mulai
menjilat-jilat daerah yang digaruk-garuknya tadi, sekarang dijilatnya
dengan lidahnya yang hangat, dan buah zakarku dikulum-kulum seperti lagi
makan cupacup dan dijilatnya pelan-pelan seperti orang makan biji
salak. Akhirnya aku tidak kuat lagi dan pantatku kunaikkan, kakiku
mengejang. Bu Inggit terkejut dan cepat ia membenamkan penisku
dalam-dalam dan diputir-putirnya pantatnya sampai kandas dan seketika
letupan orgasmeku membanjir deras di dalam vagina Bu Inggit dan Bu
Inggit sendiri menggarukkan klitorisnya di batangku dengan cepat dan
pantatnya yang sintal berputar-putar, sebentar kemudian ia pun menahan
jeritannya, “Ahh..” kemudian diangkatnya naik-turun, aku melihat bibir
vaginanya keluar-masuk merekah belah oleh batang penisku yang basah
mengkilap. Bulu kemaluannya basah kuyup dan bersatu. “Uukhh.. Ahh..”
Bu Inggit kemudian bangkit dan “Plop,” bunyi waktu penisku masih
setengah tegang lepas dari genggaman erat vaginanya. Spermaku meleleh
sepanjang pahanya yang putih. Bu Etty masih di bawah situ mengecup buah
zakarku dan tertetes-tetes di pipinya beberapa gumpalan spermaku. Kami
terengah-engah semua dan aku merasa nikmat yang luar biassa. Sepanjang
beberapa jam itu aku gantian ditunggangi oleh Bu Endah kemudian terakhir
Bu Etty, karena dia nyonya rumah jadi terakhir. Aku sendiri di servis
demikian merasa sesuatu pengalaman yang lain dari yang lain. Belum
pernah aku dimanjakan oleh 3 wanita sekaligus begitu. Malam itu aku
ketiduran di antara ketiganya dalam keadaan telanjang bulat.
TAMAT
1 komentar:
Mantap
Posting Komentar