Bandung 11 Oktober 2000, 09.15 WIB
Mini jeep yang saya kemudikan meluncur mulus ke pelataran parkir
hotel P, sebuah hotel berbintang 5 yang terletak di jalan Asia Afrika.
Sebagai anak kost yang sehari-hari harus prihatin, sebenarnya apa
urusannya saya harus datang ke hotel semewah ini?
Sebelumnya ijinkanlah saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Nama saya Ryo, 23 m Bdg (come on chatters, you should know this code).
Saya kuliah di sebuah fakultas teknik yang sering disebut sebagai
fakultas ekonominya teknik, karena banyaknya mata kuliah ekonomi yang
bertebaran dalam kurikulumnya, di sebuah perguruan tinggi yang cukup
ternama di kota ini. Tapi syukurlah beberapa waktu yang lalu saya telah
lulus dan diwisuda menjadi seorang Insinyur, but for now, I’m only an
unemployment.
That’s why I come to this hotel. Kemarin seseorang yang mengaku
bernama Ibu Ratna menelepon dan mengundangku hari ini untuk mengikuti
sebuah psikotest dari sebuah perusahaan multinasional yang cukup ternama
di Indonesia (dan beberapa waktu yang lalu terkena somasi masyarakat
akibat acara promosi sebuah produknya yang agak kelewat batas). Setelah
memarkirkan mobil di underground, saya melangkah menuju lobby hotel.
Selintas saya melihat pengunjung hotel yang sedang menikmati breakfast
(atau lebih tepatnya lunch kali yah?) di coffee shop dan berkeliaran di
sekitar lobby. Yah.. dibanding mereka yang berpenampilan santai sih,
saya lumayan rapi. Ah cuek
sajalah, yang penting PD.
“Maaf Mbak, kalo ruang rekruitmen dimana yah?” tanya saya kepada
seorang resepsionis yang bertugas di front office sambil menyebutkan
nama perusahaan tersebut.
“Oh.. naik aja lewat tangga itu dan belok ke kanan,” jelasnya sambil menunjukkan tangga yang dimaksud.
Setelah
mengucapkan terima kasih, saya pun bergegas menuju ruang recruitment.
Hmm.. masih sepi nih, maklum jadwalnya jam 10 pagi sedangkan ketika saya
melirik jam tangan saya baru menunjukkan pukul 09.22 WIB. Setelah
mengisi daftar hadir dan mengambil formulir data diri, saya
menghempaskan diri di sebuah sofa empuk di pelataran ruangan tersebut.
Waktu menunjukkan pukul 09.50 WIB ketika seorang wanita mempersilakan
para peserta untuk masuk ke ruang tes. Setelah mengambil posisi, saya
melihat peserta lainnya. Hmm.. ada beberapa wajah yang saya kenal karena
memang teman sekuliah, but now they are my competitor. Di depan ruangan
telah berdiri 2 orang wanita yang kemudian memperkenalkan diri sebagai
Mbak Rini dan Mbak Tia. Saya menyebut Mbak karena saya kira mereka tidak
terlalu jauh tua dibanding saya, walaupun mereka memperkenalkan diri
dengan sebutan Ibu. Keduanya cantik, walaupun dalam perspektif yang
berbeda. Mbak Rini berwajah tegas cenderung judes, sangat PD dan
terkesan senang mendikte orang lain, sedangkan Mbak Tia terkesan lembut,
berhati-hati dan komunikatif. Kalau saya menilainya sebagai wanita yang
seharusnya dipacari (Mbak Rini) dan wanita yang seharusnya dinikahi
(Mbak Tia). Hahaha.. mungkin agak aneh penilaian saya ini.
Setelah acara basa-basi formal, tepat jam 10 tes dimulai. 1 jam 45
menit yang dibutuhkan Mbak Tia untuk memandu dan mengawasi jalannya
psikotest ini, sedangkan Mbak Rini entah menghilang kemana. Tepat jam
11.45 WIB kami diusir ke luar ruangan menikmati coffee break untuk 30
menit kemudian diumumkan orang-orang yang lulus psikotest dan menghadapi
interview. Dari 200-an pelamar, hanya 40 yang dipanggil psikotest dan
hanya 20 yang dipanggil interview, untuk selanjutnya terserah berapa
orang yang akan diterima.
Ternyata nama saya tercantum dalam daftar peserta yang lulus
psikotest, so I have to stay longer to join an interview. Interview will
be done in english, so I have to prepare myself. But it’s only my first
experience, so what the hell..! Saya berusaha cuek dan rileks saja
menghadapinya, masa bodoh teuing lah kata orang sini.
Sekitar jam 14.45 WIB nama saya disebutkan untuk memasuki ruangan
interview. Hhmm.. ternyata yang meng-interview (eh ini bahasa mana yah?)
saya adalah Mbak Tia. Setelah memperkenalkan diri, kami terlibat dalam
obrolan yang serius namun akrab. Berkali-kali dia membujuk saya untuk
mau bergabung pada perusahaan ini pada divisi produksi di pabrik. Saya
sih sebenarnya lebih senang bekerja pada shop floor di pabrik daripada
harus bekerja di kantor manajemen di belakang meja dan di depan
komputer. Tapi permasalahannya adalah bahwa pabrik yang bersangkutan
terletak di sebuah kota di pesisir utara pulau Jawa, sebuah kota yang
menjadi pintu gerbang Jawa Barat terhadap tetangganya di sebelah timur.
Away from home means extra cost for living, am I right? Tidak terasa
kami mengobrol semakin akrab. Mbak Tia ternyata benar-benar smart,
komunikatif dan mampu membawa suasana bersahabat dalam sebuah
perbincangan. Tidak heran ternyata dia adalah alumni fakultas psikologi
tahun 1992 pada sebuah perguruan tinggi di selatan Jakarta yang terkenal
dengan jaket kuningnya.
“That’s all Ryo, thank you for joining this recruitment. We will
contact you in two weeks from now by mail or phone,” kata Mbak Tia
mengakhiri pembicaraan.
“The pleasure is mine,” jawab saya pendek sambil berbalik menuju pintu.
“Ryo, why do you look so confident today? The others don’t look like you,” tiba-tiba Mbak Tia berbicara lagi kepada saya.
“I
just try to be myself, no need to pretend being someone else,” jawab
saya sambil bingung, sebenarnya apa yang telah saya lakukan sih sampai
dia menilai saya seperti itu?
“Cool, I like your style,” sambung Mbak Tia lagi.
“I like your style too,” jawab saya (pura-pura) cuek.
“Tia, I like to talk with you, maybe some other day we can talk more. May I have your number?” sambung saya lagi.
Asli sudah cuek sekali, tidak ada malu-malunya lagi.
Baru beberapa saat mengobrol bareng dia, tapi kenapa rasanya saya
sudah kenal lama yah? Mbak Tia cuma tersenyum dan memberikan kartu
namanya sambil meminta nomor telepon saya juga. Karena saya masih
pengangguran dan tidak punya kartu nama, akhirnya dia hanya dapat
mencatatnya di kertas note miliknya saja. Dan saya akhirnya langsung
pulang.
Bandung, same day at 18.04 WIB
Saya lagi termenung di kamar kost di depan komputer menyesali
kekalahan kesebelasan saya dalam game Championship Manager 4. Sialan..
menyerang habis-habisan kok malah kalah yah, pikir saya sambil menatap
statistik permainan. Tiba-tiba.. krriinngg, teleponku berbunyi
mengagetkanku karena memang dipasang pada volume penuh. Di LCD
terpampang nomor telepon asing (maksudnya belum ada di memori). Langsung
saya jawab,
“Hallo..”
“Hallo.. ini Ryo?” terdengar sebuah suara wanita di seberang telepon.
“Iya, ini Ryo,” jawab saya.
Sejenak
saya terganggu koneksi telepon yang kresek-kresek, payah juga nih
jaringan 0816 prabayar wilayah sini. Ternyata itu telepon dari Mbak Tia.
Dia sih ngakunya cuma iseng saja men-check nomor saya.
Setelah ngobrol sebentar, saya bertanya,
“Mbak, banyak kerjaan tidak?”
“Kenapa nanya, mau ngajak jalan-jalan yah?” jawab Mbak Tia disusul suara tertawanya yang ramah.
“Boleh, siapa takut..?” balas saya sambil senyum iseng (untung dia tidak bisa lihat senyum saya).
“tidak
kok udah selesai semua, free as a bird,” katanya lagi sambil mengutip
sebuah judul lagu The
Beatles (atau John Lennon? ah masa bodoh teuing
lah).
Akhirnya kami sepakat untuk jalan-jalan (but no business talks
allowed, kata Mbak Tia). Waktu menunjukkan pukul 19.15 WIB ketika saya
memarkirkan pantat saya di sofa di lobby hotel yang sama. Ah.. masak
dalam sehari ke hotel ini sampai 2 kali, pikirku. Baru beberapa saat
saya duduk, terlihat sosok Mbak Tia berjalan ke arah resepsionis untuk
menitipkan kuncinya dan melihat sekeliling lobby untuk mencariku. Saya
cukup melambaikan tangan untuk memberitahukan posisi saya duduk untuk
kemudian bangkit berdiri dan berlahan menghampirinya. Kemeja putih
berbunga-bunga kecil berwarna ungu terlihat serasi dengan pilihan celana
panjangnya yang juga berwarna ungu. Wah.. aliran matching-isme nih,
pikirku.
“Hi Mbak, look so nice,” kata saya sambil sedikit memuji penampilannya yang memang out of mind itu.
“Thanks, you too,” jawabnya lagi sambil tersenyum.
Tapi kali ini kesan senyumnya jauh dari resmi, seperti senyum kepada seorang teman lama.
Kami langsung berangkat. Karena Mbak Tia meminta untuk tidak makan
berat, akhirnya saya membawanya ke LV kafe, sebuah resto dengan
pemandangan kota yang bagus sekali di bilangan Dago Pakar. Kalau sudah
malam, kelihatan indahnya warna-warni lampu kota Bandung dari situ. Many
times I’ve been there, but still never get bored. Temaramnya cahaya
lampu resto, jilatan lidah api dari lilin di meja dan kerlap-kerlipnya
lampu kota Bandung di bawah sana tidak mampu menutupi kecantikan yang
terpancar dari seorang Tia, wanita yang baru saya kenal dalam beberapa
jam saja.
Kalau dilihat dari face-nya sih tidak cantik-cantik banget,
tapi gayanya yang ramah, wawasannya yang luas dan obrolannya yang
menguasai banyak hal, membuat penampilannya begitu chic dan smart.
Daripada dengan wanita cakep dan seksi serta mampu mengeksploitasi
penampilannya semaksimal mungkin, tapi kalau diajak ngomong tidak pernah
nyambung dan otaknya isinya cuma kosmetik dengan toko baju atau factory
outlet saja sih jauh sekali, bagusan Tia kemana-mana.
Pokoknya
smart-lah, saya jadi teringat Ira Koesno, seorang presenter TV favorit
saya, yang walaupun tidak terlalu cantik tapi mampu memikat karena
gayanya yang smart itu.
Mbak Tia (dan pada kesempatan ini dia minta saya cukup memanggilnya
dengan hanya menyebut namanya saja, tanpa embel-embel Mbak di depannya)
memesan lasagna, biar tidak terlalu kenyang katanya. Ternyata city view
Bandung masih kalah dengan view yang ada di depan saya sekarang. Asyik
sekali melihat Tia menikmati sedikit demi sedikit makanannya. Ada suatu
momen yang bagus sekali saat tiba-tiba dia mendongak, mengibaskan rambut
sebahunya dan menatap saya sambil berkata, “Lho kok malah tidak makan?”
Hhmm.. asli sumpah bagus banget angle-nya. Saya pernah ikut kegiatan
fotografi saat di bangku sekolah dulu, jadi mungkin inilah yang disebut
dengan angle terbaik. Ada beberapa saat (mungkin sepersekian detik)
dimana seseorang dapat terlihat sangat tampan atau sangat cantik dan
saya baru menikmatinya beberapa detik yang lalu.
“Heh.. kok malah bengong?” Tia membuyarkan lamunan saya seketika.
“Ah tidak kok, cuma lagi inget-inget aja tadi taruh kunci kost dimana?” jawab saya sambil mencoba berbohong.
Kalau dia sampai tahu saya mengagumi pemandangan tentang dia, wah bisa jadi tidak enak suasananya.
Kalau dia sampai tahu saya mengagumi pemandangan tentang dia, wah bisa jadi tidak enak suasananya.
“Ooohh..” sahutnya pendek, entah tahu saya berbohong atau tidak.
Terus
terang saya selalu rada takut menghadapi alumni-alumni fakultas
psikologi, takut-takut pikiran saya bisa dibaca mereka, hahahaha.
Lalu kami terlibat perbincangan yang hangat sambil menikmati makanan.
Ada beberapa sisi baru yang saya kenal dari seorang Tia malam itu.
Desember nanti usianya 26, termasuk muda untuk seorang angkatan 1992.
Anak kedua dari 3 bersaudara, kakak perempuannya sudah menikah dan
tinggal di Jakarta, sedangkan adik laki-lakinya sedang kuliah di sebuah
PTS yang ternama di bilangan Grogol, Jakarta dan terkenal saat-saat
perjuangan reformasi mahasiswa media 1998 lalu. Dia pernah hampir saja
menikah pada awal tahun ini, namun sesuatu terjadi (Tia mengistilahkan
dengan something happened in the way to heaven, mirip sama judul lagunya
Led Zeppelin 20-an tahun yang lalu), kekasihnya ternyata menikahi
wanita lain yang telanjur dihamilinya. Tia menyebutkan itulah resikonya
pacaran jarak jauh, ternyata seseorang mampu menggantikan tempatnya di
hati kekasihnya yang bekerja di kota tersebut. Ah.. manusia, cerita
tentang kehidupan mereka memang sangat beragam.
“That’s why Ryo, ’till now I still can’t trust men,” Tia berkata
dengan tatapan kosong ke arah kerlap-kerlip lampu kota Bandung. Dia
bilang pria itu seperti kucing, sudah disayang-sayang tetap saja
nyolong, hahahaha.. lucu juga istilahnya. Saya cuma bisa membela kaum
saya sebisanya. Biar bagaimana pun sepertinya tidak semua cowok itu
seperti kucing deh, beberapa diantaranya malah lebih mirip serigala,
hahahahaha. Makin lama kami ngobrol, makin banyak sisi-sisi lain yang
saya kenal dari seorang Tia. Bahkan sampai sekarang dia masih belum
mengerti apa sebenarnya yang ada di otak kekasihnya dahulu saat
meninggalkannya, padahal we had a perfect life, katanya. Saya kira anak
psikologi tahu semua jawaban tentang problem pikiran dan perasaan
manusia, ternyata tidak juga tuh. Dia bilang sih tidak semua dokter bisa
menyembuhkan sakitnya sendiri dan tidak semua pilot bisa terbang. Untuk
yang terakhir ini dia bisa bikin saya ngakak banget.
“So Ryo, why are you still alone ’till now?” tiba-tiba Tia mengubah topik pembicaraan.
Lho kok.. malah ngomongin saya sekarang?
Lho kok.. malah ngomongin saya sekarang?
“Ah tidak ada yang mau sama saya, hehehe..” jawab saya sekenanya sambil becanda.
“Bohong banget, mau tinggi-in mutu yah?” todong Tia.
“Hahaha ketahuan deh saya,” jawab saya lagi sambil cengar-cengir.
“Boleh Tia ngomong tentang penilaian Tia ke kamu?” katanya tiba-tiba.
“Sok, silakan, mangga..”
Dan
mulailah Tia mengutarakan penilaiannya tentang saya. Yang bikin saya
kaget ternyata dia bisa tahu pikiran-pikiran saya yang cuma ada di hati,
bahkan tidak ada di otak sekalipun. Dia bilang kalau dibalik penampilan
saya yang selalu tertawa dan becanda melulu, pernah ada sesuatu yang
sangat melukai saya di masa lalu, dan itu sangat mungkin berkaitan
dengan wanita, mengingat hingga sekarang saya masih sendiri. Ah.. saya
jadi teringat masa lalu saya yang berhasil ditebak dengan jitu oleh Tia
(katanya semudah membaca buku yang terbuka, sialan..!). Dimana sekarang
beradanya si “love of my life” itu, beberapa wanita memang sempat
menggantikannya, tapi tidak ada yang benar-benar dapat menggantikannya,
hehehe.. kok jadi sentimentil begini, ini kan cerita, hahahaha.
Untuk beberapa saat saya terdiam, tidak tahu sebenarnya apa yang saya
pikirkan. Apakah pikiran saya lagi ada di masa lalu atau tengah
mengagumi sesosok wanita yang duduk tepat di hadapanku. Akhirnya saya
hanya melemparkan pandangan menatap gemerlapnya kota Bandung di bawah
sana.
“.. and baby I.., I’ve tried to forget you but the light on your eyes
still.. shine.. you shine like an angel spirit that won’t let me go..”
Lagu Angel yang dinyanyikan Jon Secada makin menghanyutkan saya dalam lamunan. Sampai akhirnya..
“Bagus yah Ryo, pemandangannya..” tegur Tia membuyarkan pikiran kosongku.
“Yup, saya selalu suka city wiew seperti ini,” jawab saya sekenanya, biar tidak dikira melamun.
Malam semakin larut ketika kami memutuskan untuk kembali ke hotel.
Kami semakin dekat satu sama lain, saling curhat selama perjalanan di
mobil. Bercanda, tertawa-an bareng. Why do I feel that everything seems
so right when we’re together? Ah mungkin saya aja yang terlalu terbawa
suasana. Waktu menunjukkan sekitar pukul 11 malam ketika kami kembali
menginjakkan kaki di lobby hotel.
“Ryo, mau nemenin ngobrol sebentar tidak?” tanya Tia tiba-tiba.
“Boleh aja, emang belum ngantuk?” tanyaku balik.
“Tidak, lagipula kalau di tempat yang asing Tia jadi susah tidur,” katanya memberi reasoning.
Akhirnya saya ikut melangkahkan kaki ke kamar Tia yang terletak di
lantai 4. Sebuah kamar standar dengan 2 single bed, TV, kulkas dan
peralatan standar layaknya sebuah kamar hotel berbintang. Good enough,
daripada kamar kostku, hehehehe.
“Lha kamu sendiri di sini?” tanya saya begitu melihat tidak seorang pun di kamarnya.
“Sebenernya kamar ini untuk berdua, dengan Rini, itu lho yang tadi pagi ikut tes juga,” jelasnya.
“Tapi dia langsung pulang Jakarta pake kereta terakhir tadi sore, katanya besok mau ada acara apa gitu di keluarganya.”
Kami
memasak air dengan menggunakan ketel elektrik yang disediakan hotel
untuk kemudian masing-masing menikmati secangkir coffemix panas. Kursi
sengaja kami balikkan menghadap ke jendela, untuk memandang Jalan
Tamblong yang telah temaram dan senyap. Sesekali terlihat mobil melintas
dengan kecepatan di atas rata-rata, mungkin karena sudah malam.
Begitupun suasana di kamar ini, hanya suara MTV Asia dari TV yang
dihidupkan yang menemani perbincangan kami, menggantikan cahaya lampu
yang memang kami padamkan. Entah mengapa, saya merasa begitu dekat
dengan Tia, padahal baru beberapa jam kami berkenalan. Ah sekali lagi,
mungkin saya terlalu terbawa suasana.
Namun kali ini ternyata Tia yang duduk di sebelah saya bukanlah
seperti Tia yang saya kenal dalam jam-jam terdahulu. Dalam curhatnya, ia
terlihat sangat rapuh. Entah memang nasib saya untuk selalu menjadi
tempat curhat orang lain. Dari dulu semasa di bangku sekolah hingga kini
setelah menamatkan pendidikan tinggi, saya selalu dijadikan tempat
curhat orang-orang dalam lingkaran terdekat saya. Dan kini saya harus
menghadapi Tia yang sesekali sesunggukkan, meremas-remas sapu tangannya
dan menghapus air matanya yang mulai jatuh satu persatu. Love.. look
what you have done to her, bastard..!
Saya bangkit dari duduk dan berjalan perlahan menghampirinya. Saya
hanya bisa termangu berdiri di sampingnya dan melihat ke luar untuk
menunggunya menyelesaikan kisah-kisah yang menyesakkannya selama
berbulan-bulan. Saya mencoba menenangkannya sebisa saya dengan
menganalisis kehidupannya dari berbagai perspektif. Saya hanya bisa
mengatakan bahwa ia masih beruntung karena ditunjukkan ketidaksetiaan
kekasihnya pada saat mereka belum menikah, karena akan lebih sangat
menyakitkan jika semua itu dihadapi justru ketika mereka telah menikah.
Setelah beberapa waktu kami membahasnya, Tia terlihat sudah agak tenang.
“Thanks Ryo, kamu mau jadi tempat sampah Tia,” katanya sambil sedikit tersenyum.
“That
what friends are for,” jawab saya singkat sambil menepuk-nepuk
kepalanya seperti kepada seorang anak kecil, padahal dia 3 tahun lebih
tua daripada saya, hehehe.. pamali tau..!
Saya duduk lesehan di
karpet bersandarkan pada tepi ranjang sambil meluruskan kaki. Hhmm..
enak juga duduk posisi seperti ini. Tidak berapa lama kemudian Tia
menyusul turun dari kursi dan bergabung duduk dengan posisi lesehan di
sampingku.
“Kayaknya enak banget lihat gaya kamu,” katanya sebelum dia menyusulku duduk di karpet.
“Ryo, kamu itu aneh yah?” tiba-tiba suara Tia menyentakku.
“Aneh
selanjutnya bagaimana maksud loe?” tanya saya asal sambil menirukan
sebuah dialog sinetron Si Doel beberapa waktu yang lalu.
“Hihihihi..” terdengar Tia cekikikan mendengarnya.
“Ya aneh aja, Tia baru kenal kamu hari ini, tapi rasanya Tia udah kenal sama kamu lama banget,” katanya lagi.
“Sampai Tia mau curhat sama kamu, padahal Tia paling jarang curhat, apalagi sama orang yang baru kenal.”
“Sama, aku juga gitu kok Ya, jangan-jangan kami pernah ketemu di kehidupan sebelumnya yah?” jawab saya sambil nyengir.
“Ada-ada aja kamu..” katanya sambil tiba-tiba merebahkan kepalanya di bahu kananku.
Jujur saja saya cukup terkejut menerima perlakuannya, tapi santai saja, lagipula apalah yang mungkin terjadi dari sebuah bahu untuk menyandarkan kepala sejenak?
Jujur saja saya cukup terkejut menerima perlakuannya, tapi santai saja, lagipula apalah yang mungkin terjadi dari sebuah bahu untuk menyandarkan kepala sejenak?
Cukup lama kami masing-masing terdiam dalam posisi ini sambil
memandang sebagian horizon langit yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang
dari jendela kamarnya. Sayup-sayup terdengar dari TV rintihan Sinnead
O’Connor yang tengah menyanyikan lagu legendarisnya:
..I can eat my dinner in the fancy restaurant but nothing, I said
nothing can take away this blue cos nothing compares, nothing compares
to you..
Perlahan saya usap rambutnya dan memberanikan diri untuk mengecup
keningnya. Tia mendongakkan kepalanya untuk memandangku. Beberapa saat
kami saling berpandangan, ah oase kedamaian dari pancaran matanya inikah
yang selama ini saya cari? Mungkinkah saya menemukannya hanya dalam
beberapa jam saja setelah sekian lama saya mencarinya entah kemana?
How
can I be so sure about that? dan sekian banyak pertanyaan lainnya
berkecamuk dalam pikiranku melewati detik demi detik kami berpandangan.
Yang saya tahu beberapa saat kemudian wajah kami semakin mendekat dan
sekilas saya melihat Tia menutup matanya dan pada akhirnya saya kecup
lembut bibirnya.
Kami berciuman seakan-akan kami sepasang kekasih yang telah lama
tidak berjumpa. Menumpahkan segala kerinduan dalam kehangatan sebuah
ciuman. Perlahan saya raih pinggang Tia dan mendudukkannya dalam
pangkuan. Kini kami semakin dekat karena Tia saya rengkuh dalam pangkuan
saya. Saya usap lembut rambutnya, sedangkan dia memegang lembut pipiku.
Ciuman bibirnya semakin dalam, seakan tidak pernah dia lepaskan. Cukup
lama kami berciuman, sesekali terdengar tarikan nafas Tia yang terdengar
begitu lembut. Akhirnya saya memberanikan diri untuk mulai menurunkan
bibir ke arah lehernya. “Ugh..” hanya terdengar lenguhan lembut seorang
Tia ketika ia mulai merasakan hangatnya bibir saya menjelajahi lehernya.
Tidak ada perlawanan dari aksi yang saya lakukan. Tia justru makin
mendongakkan kepalanya, semakin memamerkan lehernya yang putih dan
jenjang. Kedua tanggannya meremas seprai tempat tidur sebagai tumpuan.
Saya pun semakin terhanyut terbawa suasana. Saya perlakukan Tia selembut
mungkin, menjelajahi milimeter demi milimeter lehernya, mengusap
rambutnya dan makin menekankan punggungnya ke arah tubuhku. “Ryo..
oohh..” lenguh Tia saat dia menyadari terlepasnya satu per satu kancing
kemejanya.
Ya.. saya memang melepaskannya untuk melanjutkan cumbuan saya
kepadanya.
Jilatan-jilatan lembut mulai menjalari dada Tia, seiring meningkatnya
hasrat manusiawi dalam diri kami. Dengan sekali gerakan, saya dapat
menggendongnya. Kami lanjutkan percumbuan dalam posisi berdiri dengan
Tia dalam gendongan. Tangannya mulai meremasi rambutku. Perlahan-lahan
kemejanya terjatuh terhempas ke karpet, menyisakan bagian atas tubuh Tia
yang tinggal berbalutkan sehelai bra putih. Beberapa saat kami bercumbu
dalam posisi ini, sampai akhirnya saya merebahkannya di ranjang.
Terdengar suara Donita, presenter MTV Asia, terakhir kali sebelum saya
meraih tombol off TV yang terletak di buffet samping ranjang. Kali ini
suasana benar-benar senyap, hanya tarikan nafas kami berdua yang masih
sibuk bercumbu. Tia mencoba untuk melepaskan satu per satu kancing
kemejaku hingga akhirnya ia berhasil melepaskannya, hampir bersamaan
saat saya berhasil melepaskan bra-nya. Kami meneruskan pergumulan, namun
sebuah perasaan aneh menyusup ke dalam hatiku. She’s different,
pikirku. Jujur saja, saya sudah beberapa kali mengalami sexual
intercouse, pun dengan orang-orang yang baru saja saya kenal. Namun kali
ini terasa berbeda. Ada perasaan lain yang mengiringi nafsu yang
bergejolak, sebegitu dahsyatnya sehingga nafsu itu sendiri menjadi tidak
berarti lagi keberadaannya. Sayang, yah mungkin inilah yang disebut
dengan perasaan sayang itu, sesuatu yang sudah lama tidak saya rasakan
keberadaannya. Ini membuatku ingin memperlakukannya seindah dan selembut
mungkin. Tia bukan hanya seseorang yang mengisi sebuah babak
pelampiasan nafsu manusiawi dalam hidupku. Dia berbeda, she deserves the
best!
Terdengar lagi lenguhan Tia saat saya mulai mengulum buah dadanya.
Kali ini terdengar lebih keras dari sebelumnya. Mungkin hasrat itu telah
memenuhi kepalanya. Jilatan-jilatan diselingi gigitan-gigitan kecil
mendarat di sekitar putingnya, berkali-kali membuatnya berjingkat
terkejut. Saya meneruskan cumbuan saya ke arah perutnya, hingga pada
akhirnya berhasil membebaskan celana panjangnya ke karpet. Sekarang
terpampang pemandangan yang tidak mungkin saya lupakan, seorang Tia yang
baru saya kenal hari ini, rebah dengan hanya berbalutkan celana dalam.
Untuk pertama kalinya saya memandang seorang wanita dalam kondisi
seperti ini tidak dengan nafsu yang menguasai. Begitu terasa bagaimana
saya memang menyayangi dan menginginkannya. Matanya yang memandang
lembut ke arahku, menghadirkan begitu banyak kedamaian, sesuatu yang
terus saya cari selama ini dari diri seorang wanita.
Kini saya mengulum pusarnya, seiring lenguhan-lenguhan kecil yang
terdengar dari bibirnya. Perlahan saya mulai menurunkan kain terakhir
yang menempel pada tubuh Tia. Terdengar sedikit nada terkejut Tia saat
saya mulai menurunkan centi demi centi celana dalamnya menyusuri kedua
kakinya hingga terlepas entah kemana. Seiring itupun, saya mulai
menurunkan jilatan ke arah selangkangannya. “Ryo.. mau ngapain..
uugghh..” pertanyaan yang coba diajukan Tia tidak dapat diselesaikannya
begitu dirasakannya sebuah jilatan mendarat di organ kewanitaannya.
Permainan lidahku pada liang kewanitaannya memang saya usahakan selembut
mungkin, hingga terkadang hanya sedikit saja ujung lidahku
menyentuhnya. Namun hal ini malah justru memicu reaksi Tia semakin
terbakar. “Ohh.. Ryoo..” lenguhnya panjang diiringi nafasnya yang
semakin tidak beraturan.
Hisapan dan jilatan silih berganti saya lakukan dengan penuh
kelembutan padanya, hingga pada akhirnya terdengar Tia seperti mendekati
puncaknya. “Aaahh..” jeritnya panjang sambil menghentakkan tubuhnya ke
atas saat puncak itu datang melandanya, menggulungnya dalam suatu
sensasi keindahan yang sangat melenakan dan menghempaskannya ke dalam
jurang kenikmatan yang begitu dalam.
Kini saya memandang wajahnya. Matanya yang terpejam sambil menggigiti
bibirnya sendiri dan tangannya yang mencengkram seprai di tepian
ranjang dengan kencang serta nafasnya yang tidak beraturan cukup untuk
mengekspresikan betapa tingginya Tia terbuai dalam gelombang orgasme
yang baru saja dilaluinya. Saya biarkan Tia meregang dirinya dalam detik
demi detik puncak kenikmatan yang baru saja didapatnya untuk
menyibukkan diri mencari sebuah benda yang “lubricated with nonoxynol 9,
for greater protection” (If you were a great 17tahun2 fan, you should
know this thing) yang selalu disisipkan di dompetku (my friend said that
only bastards always bring this thing around. Yeah.. maybe I’m the one
of them).
Tia baru membuka matanya ketika dirasakannya sebuah benda menempel
lembut pada bibir organ kewanitaannya. Dibukanya matanya memandang
lembut ke arah wajahku yang tepat berada di depan wajahnya. “Tia, may
I..?” bisikku sambil mengecup keningnya. Tia hanya mengedipkan kedua
matanya sekali sambil tetap memandangku. That’s enough for me to know
the answer of this question. Perlahan-lahan saya tekan kejantananku
menerobos liang kewanitaannya. So gentle and smooth. Terdengar nafas Tia
tertahan di tenggorokannya, menikmati sensasi mili demi mili penetrasi
yang dilakukanku terhadapnya, hingga akhirnya keseluruhannya terbenam
utuh. Kami terdiam dan saling berpandangan sejenak, menikmati bersatunya
raga (dan hati) kami berdua. Saya kecup bibirnya lembut sebelum mulai
melenakannya dalam sebuah percintaan yang sangat indah. Saya masih ingat
persis, bagaimana kedua tangan kami saling bergenggaman erat di sisi
tepi ranjang saat kami terus bergumul menyatukan hasrat dan raga kami.
Betapa lembut buah dadanya menekan dadaku, dan betapa hangat melingkupi
kejantananku yang terus memompanya, membawa kami semakin tinggi terbuai
kenikmatan duniawi.
Entah berapa lama keadaan ini berlangsung, ketika pada saatnya
terdengar Tia mulai mendekati orgasme keduanya. Tangannya merangkul
pundakku, mendekap tubuhku erat seakan ingin mengajakku ikut dalam
gelombang orgasmenya. Nafasnya makin memburu, terdengar jelas di telinga
kananku. Saya pun meningkatkan kecepatan penetrasi untuk membantunya
mendapatkan puncak kedua kalinya. “Eeegghh.. Ryoo.. aahh..” jerit Tia
tertahan mencoba menyebut namaku saat gelombang orgasme keduanya
benar-benar datang menggulungnya, menelannya kembali ke dalam jurang
kenikmatan yang sangat dalam.
Saya menghentikan pergumulan kami sejenak, memberinya kesempatan
untuk kembali mengatur nafasnya seusai melewati puncaknya yang kedua.
Saya hanya memberikan senyuman dan kecupan lembut di keningnya saat pada
akhirnya Tia mulai membuka matanya.
“You’re so lovely tonight”, bisikku padanya.
“Ryoo..
eh..!” teriaknya sedikit terkejut saat tiba-tiba saya menarik kedua
tangannya untuk kemudian mendudukkannya dalam pangkuanku.
Punggungku
bersandar di kepala ranjang, dan wajah kami saling memandang. Kami
kembali berciuman. Perlahan kuangkat tubuhnya, untuk kembali menekankan
kejantananku pada liang kewanitaannya. Walaupun kami tengah berciuman,
masih sempat kudengar erangan lirihnya saat Tia merasakan bagaimana
kejantananku perlahan menikam tubuhnya.
Kali ini kubiarkan Tia memegang kendali. Kubiarkan bagaimana dengan
bebasnya Tia memompa diriku. Pundakku dijadikan tumpuan olehnya untuk
terus menaik-turunkan tubuhnya di atasku. Saya hanya membantunya dengan
meremas buah pinggulnya dan sedikit menaikkan posisi selangkanganku,
hingga batangku terasa makin dalam menghujamnya. Ahh.. sungguh suatu
pemandangan yang tidak akan terlupakan bagaimana melihat dirinya terus
menyatukan raga kami ke dalam suatu persetubuhan yang sangat intim.
Matanya yang terpejam, rambut sebahunya yang sudah mulai dibasahi
keringat terurai bebas, bibirnya yang digigitnya sendiri dan tubuhnya
yang berguncang-guncang. Ughh.. It’s really a loveable thing to see.
Pemandangan yang sangat melenakan ditambah dengan kehangatan yang
makin erat menghimpit kejantananku, menit demi menit mulai membuaiku ke
dalam sensasi kenikmatan sebuah persetubuhan. Terasa sesuatu mendesak,
menghimpitku untuk keluar dari dalam tubuhku. Oh My God, saya ras saya
akan sampai puncaknya, pikir saya. “Ryoo.. I’m almost there..” bisik Tia
lirih sambil mempercepat gerakan tubuhnya memompaku. “Yes.. babe, me
too..” jawabku sambil mengecup erat bibirnya. Selanjutnya terasa
bagaimana gelombang menuju puncaknya seakan berpacu dengan gelombang
menuju puncakku. Goncangan tubuhnya makin terasa mendesak cairan
kejantananku untuk keluar, sementara tikaman batangku semakin
menghadirkan sensasi kenikmatan suatu orgasme yang hanya tinggal
sejengkal dari raihannya. “Aaahh.. Ryoo..” jeritnya lirih memanggil
namaku saat ternyata gelombang orgasme lebih dahulu menyapanya.
Saya masih sempat meneruskan tikaman kejantananku beberapa kali lagi hingga pada akhirnya..
“Tiaa.., aku keluaarr..!” teriakku sambil mendekap erat tubuhnya.
Terasa
bagaimana derasnya cairanku menyembur keluar. Untung saya menggunakan
kondom, masih sempat diriku berpikir di sela-sela gulungan ombak
ejakulasi yang menenggelamkanku dalam suatu sensasi kenikmatan yang
sangat dahsyat. Dalam beberapa saat ke depan kami hanya mampu
berpelukkan erat, untuk kemudian bersisian rebah di ranjang.
“Thanks honey, you’re so great..” bisikku sambil mengecup lembut bibirnya.
“Ahh.. Ryo..” lirih suaranya terdengar, seakan ingin mengatakan hal yang sama kepadaku.
Bandung, 12 Oktober 2000, 01.42 WIB
Terlihat bagaimana lengangnya perempatan jalan Tamblong yang memotong
Jalan Asia Afrika di bawah sana. Hanya traffic light yang mengerjapkan
cahaya kuningnya yang menandakan adanya kehidupan di sana. Sesekali
melintas mobil angkutan kota yang beroperasi selama 24 jam menuju
terminal Kebon Kelapa. Kami hanya duduk menatapnya tanpa banyak
berkata-kata. Kugenggam erat Tia dalam pangkuanku, menatap kesunyian
tanpa sehelai benangpun yang melekat di tubuh kami. Terkadang kudengus
lembut telinga Tia, yang selalu saja diiringi desahan manjanya. Ah..
betapa romantisnya, memandang cahaya lampu lewat tengah malam tanpa
selembar busana pun yang melekat.
Tak terasa sudah lebih dari setengah jam kami berdua tertegun
memandang jalanan sejak gelombang orgasme tersebut menelan kami berdua
dan menenggelamkan hingga ke dasarnya.
“Ryo, Tia pengen mandi rasanya,” tiba-tiba suara Tia mengejutkanku.
“Ya udah sana mandi,” jawabku.
“Eh pintunya jangan dikunci yah, siapa tau ntar saya mau nyusul,” godaku lagi.
“Huuh..
maunya,” sahut Tia manja sambil menjentikkan telunjuknya di hidungku
dan kemudian berlalu menghilang di balik pintu kamar mandi.
Selanjutnya saya hanya terdiam, melanjutkan lamunanku sendiri.
Mengingat betapa beberapa menit yang lalu saya telah melalui sebuah
permainan cinta yang sangat indah. Kali ini sungguh berbeda rasanya,
lembut dan melenakan. Sungguh jauh lebih indah dibandingkan dengan
pengalaman-pengalaman terdahulu, dengan beberapa wanita yang sempat
hadir dalam malam-malamku. Entah mengapa tiba-tiba timbul keinginanku
untuk selalu berdekatan dengan Tia. Hanya beberapa menit ia tinggalkan
(dan itupun hanya untuk mandi), rasa kehilangan itu sudah hadir dalam
benakku.
Tanpa kusadar telah kulangkahkan kakiku ke arah kamar mandi untuk
menyusul Tia. Krek.. terdengar pelan suara handle pintu kamar mandi yang
kuputar. Hmm.. ternyata memang Tia tidak menguncinya, wah bandel juga
nih anak, pikirku. Perlahan kubuka pintu untuk kemudian mendapatkan
suatu pemandangan yang sangat memukau. Terlihat samar-samar dari
belakang bagaimana Tia tengah menikmati pancuran air dari shower yang
membilas lembut tubuhnya. Kaca penutup shower menghalangi pandanganku
karena telah tertutup uap dari air hangat yang Tia gunakan. Entah
mengapa pemandangan yang tersamar ini membangkitkan kembali gairahku.
Terasa bagaimana kejantananku mulai menunjukkan reaksinya.
Perlahan kubuka pintu kaca shower untuk kemudian mendekap tubuh Tia
dari belakang. “Hei..!” seru Tia terkejut sesaat menyadari ada orang
lain yang berada dalam kotak showernya. “It’s me honey..” kataku
menenangkan sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke arah leher
belakangnya. “Ughh.. Ryo..” lenguh Tia pendek. Terus kudaratkan ciuman
bertubi-tubi ke tubuhnya. Kadang di leher belakangnya, kadang di
punggungnya, terkadang pula kulumat bibirnya. Kami berciuman di tengah
derasnya pancuran shower yang membasahi tubuh kami. Ingin sekali rasanya
kutikamkan kembali kejantananku dari belakang ke dalam liang
kewanitaannya, menikmati sensasi bercinta di sebuah shower yang deras
menghujani tubuh kami dengan butiran-butiran air.
Setelah kurasa percumbuan kami cukup untuk kembali membuatnya
bergairah, perlahan kutuntun batangku ke dalam liang kemaluannya.
Sejenak terasa lembut dan hangat tatkala kejantananku menempel pada
bibir liang kewanitaannya, sebelum kuhentakkannya menerobos hingga ke
pangkal batangku. “Arrgghh..” jerit Tia tertahan ketika ia mulai
merasakan dirinya sesak dipenuhi oleh desakan kejantananku. Saya mulai
memompanya perlahan, keluar dan masuk. Tia membuka kedua kakinya lebar
sambil kedua tangannya bertumpu pada kedua keran panas-dingin pada
shower. Kami kembali bercinta, bergumul dalam desakan arus birahi yang
memenuhi kepala dan tubuh kami. Kami bersetubuh di bawah siraman
kehangatan shower yang terus menghujani tubuh kami tiada henti.
Terdengar sayup-sayup deru nafas Tia diantara derasnya suara air yang
tumpah keluar dari shower. Kulingkarkan tangan kananku di leher Tia
ketika kudaratkan tangan kiriku untuk mempermainkan puting kanannya,
sambil tentunya terus memompanya dari belakang.
Terus kutikamkan batangku ke dalam liang kemaluannya tiada henti.
Menit demi menit berlalu, mengiringi persetubuhan kami yang sangat
indah. Terasa bagaimana semakin ketatnya lubang kewanitaan Tia kian
menghimpit kejantananku. Tiba-tiba kedua tangan Tia menjangkau tangkai
shower yang terpaku pada dinding bagian atas kepalanya, mendongakkan
kepalanya seraya melenguhkan erangan yang begitu menggairahkan perasaan,
“Ryoo.. ahh..” Ternyata Tia kembali meraih orgasmenya yang menariknya
kembali ke dalam kenikmatan yang bergulung-gulung mendera batinnya.
Kudekap erat tubuhnya, menjaganya dari kelimbungan yang mungkin dapat
saja menghempaskannya ke lantai marmer yang kami injak. Beberapa saat
tetap kudekap erat tubuhnya, sampai pada saat akhirnya Tia mulai dapat
menggerakkan dirinya sendiri. Kami sejenak bertatapan, perlahan kucium
lembut bibirnya. “You’re wonderful, Babe,” pujiku saat dia mulai membuka
matanya dan memandang ke arahku.
Tia membalikkan tubuhnya dan memelukku erat. Kucium kembali bibir Tia
sambil kuangkat tubuhnya meninggalkan kotak shower tempat kami memadu
nafsu. Kurebahkan tubuhnya di lantai marmer kamar mandi dengan perlahan.
Kembali kuletakkan kejantananku di bibir kewanitaannya seraya perlahan
mendorongnya masuk ke dalam. Sejenak kulihat Tia mengigit bibirnya
sendiri, seakan tengah menikmati sensasi penetrasi batangku ke dalam
liang kemaluannya. Kembali kupompakan kejantananku ke dalam tubuh Tia,
membiarkan tungkainya bersandar di pundakku untuk kemudian membuat kami
terbang meraih kenikmatan duniawi dengan lembut dan perlahan. Terus
kusetubuhi tubuh Tia yang tergolek di lantai, mencoba mengimbangi
gerakan pinggulnya yang makin menjepit batangku. “Tia, Ryo mau keluar..”
bisikku lirih saat mulai kurasakan sesuatu mendesak keluar dari batang
kejantananku, setelah beberapa waktu berlalu. “Yes Ryo, semprotkan ke
dadaku,” sahut Tia sambil mengecup perlahan bibirku sejenak.
Terus kupompakan batang kejantananku untuk mencapai puncak
ejakulasiku yang kedua dalam hari ini. Saya mencoba untuk menahannya
selama mungkin, namun usahaku tidaklah banyak membawa hasil karena tidak
berapa lama kemudian kupastikan bahwa benteng pertahananku tidak akan
bertahan lama lagi. Sempat kuhujamkan beberapa kali lagi kemaluanku
dalam liang kewanitaannya sebelum berteriak keras seraya menarik keluar
batangku dan memuntahkan isinya, membajiri seluruh permukaan dada Tia.
“Ahh.. Aku keluaarr..” teriakku parau.
“Yes..
ehhmm..” erang Tia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, karena
dirasakannya cairan kejantananku ternyata juga mendarat di wajah dan
rambutnya.
Cukup lama kuregang diriku dalam orgasme yang sangat
dahsyat, dimana Tia ikut membantunya dengan mengurut-urut batang
kemaluanku, menghabisi cairan yang mungkin masih tersisa di dalamnya.
Kucium bibirnya dalam sambil mengucapkan terima kasih atas klimaks yang
baru saja saya dapatkan, sebelum akhirnya merebahkan diriku di
sampingnya.
Bandung, 12 Oktober 2000, 04.48 WIB
Saya tersadar dari tidur dengan mendadak. Di sampingku tergolek tubuh
Tia yang tidur memunggungiku sambil kupeluk dari belakang. Sejenak
kucoba mengingat-ingat apa yang baru saja saya alami. Samar-samar saya
mulai mengingat bagaimana sekitar satu setengah jam yang lalu kulalui
sebuah klimaks yang dahsyat dalam dekapan Tia di lantai kamar mandi. Yah
kuingat bagaimana kemudian kami saling membersihkan diri,
mengeringkannya untuk kemudian menikmati tidur dalam posisi saling
berpelukan.
Terasa dinginnya udara AC kamar menjalari tubuhku yang tidak ditutupi
selembar kain pun saat kusingkapkan selimut untuk kemudian mencari
pakaianku yang berserakan di lantai kamar yang ditutupi karpet bernuansa
maroon. Kukecup lembut kening Tia saat telah lengkap saya berpakaian.
Terdengar lirih suara Tia saat dia mulai tersadar sedikit demi sedikit
dari tidurnya. Kukecup bibirnya saat dia benar-benar telah membuka
matanya, memandangku dengan suatu tatapan yang sangat sulit ditebak
artinya. Tatapan sayangkah itu?
Jam mobilku menunjukkan pukul 05.21 WIB ketika dengan santai
kukendarai mini jeep-ku membelah jalan Asia Afrika yang masih lengang
sambil mendengarkan musik yang mulai dimainkan radio-radio swasta yang
mulai mengudara. Saya memang harus segera pergi dari sisi Tia,
setidaknya untuk hari ini, karena dia akan kembali ke Jakarta dengan
rombongannya setelah breakfast nanti. Pasti suatu pemandangan yang tidak
lucu jika teman-teman yang menyusul ke kamarnya, menemukan kami sedang
tidur berpelukkan tanpa busana sama sekali.
But no business talks allowed, masih terngiang di telingaku perkataan
Tia saat kuajak dirinya melewatkan malamnya menikmati suasana Bandung
semalam. Yah.. semoga memang begitu keadaan selanjutnya. Terus terang
saya paling tidak mau mencampurkan urusan pekerjaan dengan pribadi. Jika
saya ditolak untuk pekerjaan, biarkanlah itu karena memang saya tidak
cukup qualified untuk diterima, bukan karena saya telah berani kurang
ajar kepada salah seorang pengujinya (itu pun kalau dia anggap bahwa
saya kurang ajar, hehehehe..). Di lain pihak jika saya diterima bekerja,
biarlah itu karena memang skill dan capability saya memang dibutuhkan
oleh perusahaan, bukan karena saya berhasil menjalin suatu hubungan
khusus dengan seorang Tia. Meminjam istilah Mbak Sari, mendaki corporate
lewat ranjang, hahahaha.
Dalam hati saya masih sedikit terbersit harapan untuk tetap
melanjutkan hubungan ini. Masih terasa bagaimana Tia mengecup lembut
bibirku saat dia melepasku di pintu kamarnya. As I said before,
everything seems so right when we’re together. Is she the Miss. Right
for me after I’ve been looking for all over places? Why do I feel that
she’s the one, eventhough I have known her only by day. Biarlah waktu
yang menjawabnya, karena orang bijak berkata hanya waktulah yang dapat
secara pasti menentukan apa yang akan kami jalani di masa depan, sepasti
sinar matahari yang selalu menyapa penduduk bumi setiap pagi.
Seperti saat ini, dimana sinar matahari yang pertama jatuh menemani perjalananku menembus lengangnya jalanan kota ini.
Tamat