Pages

Sabtu, 04 April 2015

WALK IN INTERVIEW


Bandung 11 Oktober 2000, 09.15 WIB

Mini jeep yang saya kemudikan meluncur mulus ke pelataran parkir hotel P, sebuah hotel berbintang 5 yang terletak di jalan Asia Afrika. Sebagai anak kost yang sehari-hari harus prihatin, sebenarnya apa urusannya saya harus datang ke hotel semewah ini?

Sebelumnya ijinkanlah saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Ryo, 23 m Bdg (come on chatters, you should know this code). Saya kuliah di sebuah fakultas teknik yang sering disebut sebagai fakultas ekonominya teknik, karena banyaknya mata kuliah ekonomi yang bertebaran dalam kurikulumnya, di sebuah perguruan tinggi yang cukup ternama di kota ini. Tapi syukurlah beberapa waktu yang lalu saya telah lulus dan diwisuda menjadi seorang Insinyur, but for now, I’m only an unemployment.

That’s why I come to this hotel. Kemarin seseorang yang mengaku bernama Ibu Ratna menelepon dan mengundangku hari ini untuk mengikuti sebuah psikotest dari sebuah perusahaan multinasional yang cukup ternama di Indonesia (dan beberapa waktu yang lalu terkena somasi masyarakat akibat acara promosi sebuah produknya yang agak kelewat batas). Setelah memarkirkan mobil di underground, saya melangkah menuju lobby hotel. Selintas saya melihat pengunjung hotel yang sedang menikmati breakfast (atau lebih tepatnya lunch kali yah?) di coffee shop dan berkeliaran di sekitar lobby. Yah.. dibanding mereka yang berpenampilan santai sih, saya lumayan rapi. Ah cuek 
sajalah, yang penting PD.

“Maaf Mbak, kalo ruang rekruitmen dimana yah?” tanya saya kepada seorang resepsionis yang bertugas di front office sambil menyebutkan nama perusahaan tersebut.
 
“Oh.. naik aja lewat tangga itu dan belok ke kanan,” jelasnya sambil menunjukkan tangga yang dimaksud.
 
Setelah mengucapkan terima kasih, saya pun bergegas menuju ruang recruitment. Hmm.. masih sepi nih, maklum jadwalnya jam 10 pagi sedangkan ketika saya melirik jam tangan saya baru menunjukkan pukul 09.22 WIB. Setelah mengisi daftar hadir dan mengambil formulir data diri, saya menghempaskan diri di sebuah sofa empuk di pelataran ruangan tersebut.

Waktu menunjukkan pukul 09.50 WIB ketika seorang wanita mempersilakan para peserta untuk masuk ke ruang tes. Setelah mengambil posisi, saya melihat peserta lainnya. Hmm.. ada beberapa wajah yang saya kenal karena memang teman sekuliah, but now they are my competitor. Di depan ruangan telah berdiri 2 orang wanita yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Mbak Rini dan Mbak Tia. Saya menyebut Mbak karena saya kira mereka tidak terlalu jauh tua dibanding saya, walaupun mereka memperkenalkan diri dengan sebutan Ibu. Keduanya cantik, walaupun dalam perspektif yang berbeda. Mbak Rini berwajah tegas cenderung judes, sangat PD dan terkesan senang mendikte orang lain, sedangkan Mbak Tia terkesan lembut, berhati-hati dan komunikatif. Kalau saya menilainya sebagai wanita yang seharusnya dipacari (Mbak Rini) dan wanita yang seharusnya dinikahi (Mbak Tia). Hahaha.. mungkin agak aneh penilaian saya ini.

Setelah acara basa-basi formal, tepat jam 10 tes dimulai. 1 jam 45 menit yang dibutuhkan Mbak Tia untuk memandu dan mengawasi jalannya psikotest ini, sedangkan Mbak Rini entah menghilang kemana. Tepat jam 11.45 WIB kami diusir ke luar ruangan menikmati coffee break untuk 30 menit kemudian diumumkan orang-orang yang lulus psikotest dan menghadapi interview. Dari 200-an pelamar, hanya 40 yang dipanggil psikotest dan hanya 20 yang dipanggil interview, untuk selanjutnya terserah berapa orang yang akan diterima.

Ternyata nama saya tercantum dalam daftar peserta yang lulus psikotest, so I have to stay longer to join an interview. Interview will be done in english, so I have to prepare myself. But it’s only my first experience, so what the hell..! Saya berusaha cuek dan rileks saja menghadapinya, masa bodoh teuing lah kata orang sini.

Sekitar jam 14.45 WIB nama saya disebutkan untuk memasuki ruangan interview. Hhmm.. ternyata yang meng-interview (eh ini bahasa mana yah?) saya adalah Mbak Tia. Setelah memperkenalkan diri, kami terlibat dalam obrolan yang serius namun akrab. Berkali-kali dia membujuk saya untuk mau bergabung pada perusahaan ini pada divisi produksi di pabrik. Saya sih sebenarnya lebih senang bekerja pada shop floor di pabrik daripada harus bekerja di kantor manajemen di belakang meja dan di depan komputer. Tapi permasalahannya adalah bahwa pabrik yang bersangkutan terletak di sebuah kota di pesisir utara pulau Jawa, sebuah kota yang menjadi pintu gerbang Jawa Barat terhadap tetangganya di sebelah timur. Away from home means extra cost for living, am I right? Tidak terasa kami mengobrol semakin akrab. Mbak Tia ternyata benar-benar smart, komunikatif dan mampu membawa suasana bersahabat dalam sebuah perbincangan. Tidak heran ternyata dia adalah alumni fakultas psikologi tahun 1992 pada sebuah perguruan tinggi di selatan Jakarta yang terkenal dengan jaket kuningnya.

“That’s all Ryo, thank you for joining this recruitment. We will contact you in two weeks from now by mail or phone,” kata Mbak Tia mengakhiri pembicaraan.
 
“The pleasure is mine,” jawab saya pendek sambil berbalik menuju pintu.
 
“Ryo, why do you look so confident today? The others don’t look like you,” tiba-tiba Mbak Tia berbicara lagi kepada saya.
 
“I just try to be myself, no need to pretend being someone else,” jawab saya sambil bingung, sebenarnya apa yang telah saya lakukan sih sampai dia menilai saya seperti itu?
 
“Cool, I like your style,” sambung Mbak Tia lagi.
 
“I like your style too,” jawab saya (pura-pura) cuek.
 
“Tia, I like to talk with you, maybe some other day we can talk more. May I have your number?” sambung saya lagi.
 
Asli sudah cuek sekali, tidak ada malu-malunya lagi.

Baru beberapa saat mengobrol bareng dia, tapi kenapa rasanya saya sudah kenal lama yah? Mbak Tia cuma tersenyum dan memberikan kartu namanya sambil meminta nomor telepon saya juga. Karena saya masih pengangguran dan tidak punya kartu nama, akhirnya dia hanya dapat mencatatnya di kertas note miliknya saja. Dan saya akhirnya langsung pulang.

Bandung, same day at 18.04 WIB

Saya lagi termenung di kamar kost di depan komputer menyesali kekalahan kesebelasan saya dalam game Championship Manager 4. Sialan.. menyerang habis-habisan kok malah kalah yah, pikir saya sambil menatap statistik permainan. Tiba-tiba.. krriinngg, teleponku berbunyi mengagetkanku karena memang dipasang pada volume penuh. Di LCD terpampang nomor telepon asing (maksudnya belum ada di memori). Langsung saya jawab,
 
“Hallo..”
 
“Hallo.. ini Ryo?” terdengar sebuah suara wanita di seberang telepon.
 
“Iya, ini Ryo,” jawab saya.
 
Sejenak saya terganggu koneksi telepon yang kresek-kresek, payah juga nih jaringan 0816 prabayar wilayah sini. Ternyata itu telepon dari Mbak Tia. Dia sih ngakunya cuma iseng saja men-check nomor saya.

Setelah ngobrol sebentar, saya bertanya,
 
“Mbak, banyak kerjaan tidak?”
 
“Kenapa nanya, mau ngajak jalan-jalan yah?” jawab Mbak Tia disusul suara tertawanya yang ramah.
 
“Boleh, siapa takut..?” balas saya sambil senyum iseng (untung dia tidak bisa lihat senyum saya).
 
“tidak kok udah selesai semua, free as a bird,” katanya lagi sambil mengutip sebuah judul lagu The 
Beatles (atau John Lennon? ah masa bodoh teuing lah).

Akhirnya kami sepakat untuk jalan-jalan (but no business talks allowed, kata Mbak Tia). Waktu menunjukkan pukul 19.15 WIB ketika saya memarkirkan pantat saya di sofa di lobby hotel yang sama. Ah.. masak dalam sehari ke hotel ini sampai 2 kali, pikirku. Baru beberapa saat saya duduk, terlihat sosok Mbak Tia berjalan ke arah resepsionis untuk menitipkan kuncinya dan melihat sekeliling lobby untuk mencariku. Saya cukup melambaikan tangan untuk memberitahukan posisi saya duduk untuk kemudian bangkit berdiri dan berlahan menghampirinya. Kemeja putih berbunga-bunga kecil berwarna ungu terlihat serasi dengan pilihan celana panjangnya yang juga berwarna ungu. Wah.. aliran matching-isme nih, pikirku.
 
“Hi Mbak, look so nice,” kata saya sambil sedikit memuji penampilannya yang memang out of mind itu.
 
“Thanks, you too,” jawabnya lagi sambil tersenyum.
 
Tapi kali ini kesan senyumnya jauh dari resmi, seperti senyum kepada seorang teman lama.

Kami langsung berangkat. Karena Mbak Tia meminta untuk tidak makan berat, akhirnya saya membawanya ke LV kafe, sebuah resto dengan pemandangan kota yang bagus sekali di bilangan Dago Pakar. Kalau sudah malam, kelihatan indahnya warna-warni lampu kota Bandung dari situ. Many times I’ve been there, but still never get bored. Temaramnya cahaya lampu resto, jilatan lidah api dari lilin di meja dan kerlap-kerlipnya lampu kota Bandung di bawah sana tidak mampu menutupi kecantikan yang terpancar dari seorang Tia, wanita yang baru saya kenal dalam beberapa jam saja. 
Kalau dilihat dari face-nya sih tidak cantik-cantik banget, tapi gayanya yang ramah, wawasannya yang luas dan obrolannya yang menguasai banyak hal, membuat penampilannya begitu chic dan smart. Daripada dengan wanita cakep dan seksi serta mampu mengeksploitasi penampilannya semaksimal mungkin, tapi kalau diajak ngomong tidak pernah nyambung dan otaknya isinya cuma kosmetik dengan toko baju atau factory outlet saja sih jauh sekali, bagusan Tia kemana-mana. 
Pokoknya smart-lah, saya jadi teringat Ira Koesno, seorang presenter TV favorit saya, yang walaupun tidak terlalu cantik tapi mampu memikat karena gayanya yang smart itu.

Mbak Tia (dan pada kesempatan ini dia minta saya cukup memanggilnya dengan hanya menyebut namanya saja, tanpa embel-embel Mbak di depannya) memesan lasagna, biar tidak terlalu kenyang katanya. Ternyata city view Bandung masih kalah dengan view yang ada di depan saya sekarang. Asyik sekali melihat Tia menikmati sedikit demi sedikit makanannya. Ada suatu momen yang bagus sekali saat tiba-tiba dia mendongak, mengibaskan rambut sebahunya dan menatap saya sambil berkata, “Lho kok malah tidak makan?” Hhmm.. asli sumpah bagus banget angle-nya. Saya pernah ikut kegiatan fotografi saat di bangku sekolah dulu, jadi mungkin inilah yang disebut dengan angle terbaik. Ada beberapa saat (mungkin sepersekian detik) dimana seseorang dapat terlihat sangat tampan atau sangat cantik dan saya baru menikmatinya beberapa detik yang lalu.

“Heh.. kok malah bengong?” Tia membuyarkan lamunan saya seketika.
 
“Ah tidak kok, cuma lagi inget-inget aja tadi taruh kunci kost dimana?” jawab saya sambil mencoba berbohong.
Kalau dia sampai tahu saya mengagumi pemandangan tentang dia, wah bisa jadi tidak enak suasananya.
 
“Ooohh..” sahutnya pendek, entah tahu saya berbohong atau tidak.
 
Terus terang saya selalu rada takut menghadapi alumni-alumni fakultas psikologi, takut-takut pikiran saya bisa dibaca mereka, hahahaha.

Lalu kami terlibat perbincangan yang hangat sambil menikmati makanan. Ada beberapa sisi baru yang saya kenal dari seorang Tia malam itu. Desember nanti usianya 26, termasuk muda untuk seorang angkatan 1992. Anak kedua dari 3 bersaudara, kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal di Jakarta, sedangkan adik laki-lakinya sedang kuliah di sebuah PTS yang ternama di bilangan Grogol, Jakarta dan terkenal saat-saat perjuangan reformasi mahasiswa media 1998 lalu. Dia pernah hampir saja menikah pada awal tahun ini, namun sesuatu terjadi (Tia mengistilahkan dengan something happened in the way to heaven, mirip sama judul lagunya Led Zeppelin 20-an tahun yang lalu), kekasihnya ternyata menikahi wanita lain yang telanjur dihamilinya. Tia menyebutkan itulah resikonya pacaran jarak jauh, ternyata seseorang mampu menggantikan tempatnya di hati kekasihnya yang bekerja di kota tersebut. Ah.. manusia, cerita tentang kehidupan mereka memang sangat beragam.

“That’s why Ryo, ’till now I still can’t trust men,” Tia berkata dengan tatapan kosong ke arah kerlap-kerlip lampu kota Bandung. Dia bilang pria itu seperti kucing, sudah disayang-sayang tetap saja nyolong, hahahaha.. lucu juga istilahnya. Saya cuma bisa membela kaum saya sebisanya. Biar bagaimana pun sepertinya tidak semua cowok itu seperti kucing deh, beberapa diantaranya malah lebih mirip serigala, hahahahaha. Makin lama kami ngobrol, makin banyak sisi-sisi lain yang saya kenal dari seorang Tia. Bahkan sampai sekarang dia masih belum mengerti apa sebenarnya yang ada di otak kekasihnya dahulu saat meninggalkannya, padahal we had a perfect life, katanya. Saya kira anak psikologi tahu semua jawaban tentang problem pikiran dan perasaan manusia, ternyata tidak juga tuh. Dia bilang sih tidak semua dokter bisa menyembuhkan sakitnya sendiri dan tidak semua pilot bisa terbang. Untuk yang terakhir ini dia bisa bikin saya ngakak banget.

“So Ryo, why are you still alone ’till now?” tiba-tiba Tia mengubah topik pembicaraan.
Lho kok.. malah ngomongin saya sekarang?
 
“Ah tidak ada yang mau sama saya, hehehe..” jawab saya sekenanya sambil becanda.
 
“Bohong banget, mau tinggi-in mutu yah?” todong Tia.
 
“Hahaha ketahuan deh saya,” jawab saya lagi sambil cengar-cengir.
 
“Boleh Tia ngomong tentang penilaian Tia ke kamu?” katanya tiba-tiba.
 
“Sok, silakan, mangga..”
 
Dan mulailah Tia mengutarakan penilaiannya tentang saya. Yang bikin saya kaget ternyata dia bisa tahu pikiran-pikiran saya yang cuma ada di hati, bahkan tidak ada di otak sekalipun. Dia bilang kalau dibalik penampilan saya yang selalu tertawa dan becanda melulu, pernah ada sesuatu yang sangat melukai saya di masa lalu, dan itu sangat mungkin berkaitan dengan wanita, mengingat hingga sekarang saya masih sendiri. Ah.. saya jadi teringat masa lalu saya yang berhasil ditebak dengan jitu oleh Tia (katanya semudah membaca buku yang terbuka, sialan..!). Dimana sekarang beradanya si “love of my life” itu, beberapa wanita memang sempat menggantikannya, tapi tidak ada yang benar-benar dapat menggantikannya, hehehe.. kok jadi sentimentil begini, ini kan cerita, hahahaha.

Untuk beberapa saat saya terdiam, tidak tahu sebenarnya apa yang saya pikirkan. Apakah pikiran saya lagi ada di masa lalu atau tengah mengagumi sesosok wanita yang duduk tepat di hadapanku. Akhirnya saya hanya melemparkan pandangan menatap gemerlapnya kota Bandung di bawah sana.
“.. and baby I.., I’ve tried to forget you but the light on your eyes still.. shine.. you shine like an angel spirit that won’t let me go..”

Lagu Angel yang dinyanyikan Jon Secada makin menghanyutkan saya dalam lamunan. Sampai akhirnya..
 
“Bagus yah Ryo, pemandangannya..” tegur Tia membuyarkan pikiran kosongku.
 
“Yup, saya selalu suka city wiew seperti ini,” jawab saya sekenanya, biar tidak dikira melamun.

Malam semakin larut ketika kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Kami semakin dekat satu sama lain, saling curhat selama perjalanan di mobil. Bercanda, tertawa-an bareng. Why do I feel that everything seems so right when we’re together? Ah mungkin saya aja yang terlalu terbawa suasana. Waktu menunjukkan sekitar pukul 11 malam ketika kami kembali menginjakkan kaki di lobby hotel.
 
“Ryo, mau nemenin ngobrol sebentar tidak?” tanya Tia tiba-tiba.
 
“Boleh aja, emang belum ngantuk?” tanyaku balik.
 
“Tidak, lagipula kalau di tempat yang asing Tia jadi susah tidur,” katanya memberi reasoning.

Akhirnya saya ikut melangkahkan kaki ke kamar Tia yang terletak di lantai 4. Sebuah kamar standar dengan 2 single bed, TV, kulkas dan peralatan standar layaknya sebuah kamar hotel berbintang. Good enough, daripada kamar kostku, hehehehe.
 
“Lha kamu sendiri di sini?” tanya saya begitu melihat tidak seorang pun di kamarnya.
 
“Sebenernya kamar ini untuk berdua, dengan Rini, itu lho yang tadi pagi ikut tes juga,” jelasnya.
 
“Tapi dia langsung pulang Jakarta pake kereta terakhir tadi sore, katanya besok mau ada acara apa gitu di keluarganya.”
 
Kami memasak air dengan menggunakan ketel elektrik yang disediakan hotel untuk kemudian masing-masing menikmati secangkir coffemix panas. Kursi sengaja kami balikkan menghadap ke jendela, untuk memandang Jalan Tamblong yang telah temaram dan senyap. Sesekali terlihat mobil melintas dengan kecepatan di atas rata-rata, mungkin karena sudah malam. Begitupun suasana di kamar ini, hanya suara MTV Asia dari TV yang dihidupkan yang menemani perbincangan kami, menggantikan cahaya lampu yang memang kami padamkan. Entah mengapa, saya merasa begitu dekat dengan Tia, padahal baru beberapa jam kami berkenalan. Ah sekali lagi, mungkin saya terlalu terbawa suasana.

Namun kali ini ternyata Tia yang duduk di sebelah saya bukanlah seperti Tia yang saya kenal dalam jam-jam terdahulu. Dalam curhatnya, ia terlihat sangat rapuh. Entah memang nasib saya untuk selalu menjadi tempat curhat orang lain. Dari dulu semasa di bangku sekolah hingga kini setelah menamatkan pendidikan tinggi, saya selalu dijadikan tempat curhat orang-orang dalam lingkaran terdekat saya. Dan kini saya harus menghadapi Tia yang sesekali sesunggukkan, meremas-remas sapu tangannya dan menghapus air matanya yang mulai jatuh satu persatu. Love.. look what you have done to her, bastard..!

Saya bangkit dari duduk dan berjalan perlahan menghampirinya. Saya hanya bisa termangu berdiri di sampingnya dan melihat ke luar untuk menunggunya menyelesaikan kisah-kisah yang menyesakkannya selama berbulan-bulan. Saya mencoba menenangkannya sebisa saya dengan menganalisis kehidupannya dari berbagai perspektif. Saya hanya bisa mengatakan bahwa ia masih beruntung karena ditunjukkan ketidaksetiaan kekasihnya pada saat mereka belum menikah, karena akan lebih sangat menyakitkan jika semua itu dihadapi justru ketika mereka telah menikah.
Setelah beberapa waktu kami membahasnya, Tia terlihat sudah agak tenang.
 
“Thanks Ryo, kamu mau jadi tempat sampah Tia,” katanya sambil sedikit tersenyum.
 
“That what friends are for,” jawab saya singkat sambil menepuk-nepuk kepalanya seperti kepada seorang anak kecil, padahal dia 3 tahun lebih tua daripada saya, hehehe.. pamali tau..!
 
Saya duduk lesehan di karpet bersandarkan pada tepi ranjang sambil meluruskan kaki. Hhmm.. enak juga duduk posisi seperti ini. Tidak berapa lama kemudian Tia menyusul turun dari kursi dan bergabung duduk dengan posisi lesehan di sampingku.
 
“Kayaknya enak banget lihat gaya kamu,” katanya sebelum dia menyusulku duduk di karpet.
 
“Ryo, kamu itu aneh yah?” tiba-tiba suara Tia menyentakku.
 
“Aneh selanjutnya bagaimana maksud loe?” tanya saya asal sambil menirukan sebuah dialog sinetron Si Doel beberapa waktu yang lalu.
 
“Hihihihi..” terdengar Tia cekikikan mendengarnya.
 
“Ya aneh aja, Tia baru kenal kamu hari ini, tapi rasanya Tia udah kenal sama kamu lama banget,” katanya lagi.
 
“Sampai Tia mau curhat sama kamu, padahal Tia paling jarang curhat, apalagi sama orang yang baru kenal.”
 
“Sama, aku juga gitu kok Ya, jangan-jangan kami pernah ketemu di kehidupan sebelumnya yah?” jawab saya sambil nyengir.
 
“Ada-ada aja kamu..” katanya sambil tiba-tiba merebahkan kepalanya di bahu kananku.
Jujur saja saya cukup terkejut menerima perlakuannya, tapi santai saja, lagipula apalah yang mungkin terjadi dari sebuah bahu untuk menyandarkan kepala sejenak?

Cukup lama kami masing-masing terdiam dalam posisi ini sambil memandang sebagian horizon langit yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang dari jendela kamarnya. Sayup-sayup terdengar dari TV rintihan Sinnead O’Connor yang tengah menyanyikan lagu legendarisnya:

..I can eat my dinner in the fancy restaurant but nothing, I said nothing can take away this blue cos nothing compares, nothing compares to you..

Perlahan saya usap rambutnya dan memberanikan diri untuk mengecup keningnya. Tia mendongakkan kepalanya untuk memandangku. Beberapa saat kami saling berpandangan, ah oase kedamaian dari pancaran matanya inikah yang selama ini saya cari? Mungkinkah saya menemukannya hanya dalam beberapa jam saja setelah sekian lama saya mencarinya entah kemana? 
How can I be so sure about that? dan sekian banyak pertanyaan lainnya berkecamuk dalam pikiranku melewati detik demi detik kami berpandangan. Yang saya tahu beberapa saat kemudian wajah kami semakin mendekat dan sekilas saya melihat Tia menutup matanya dan pada akhirnya saya kecup lembut bibirnya.



Kami berciuman seakan-akan kami sepasang kekasih yang telah lama tidak berjumpa. Menumpahkan segala kerinduan dalam kehangatan sebuah ciuman. Perlahan saya raih pinggang Tia dan mendudukkannya dalam pangkuan. Kini kami semakin dekat karena Tia saya rengkuh dalam pangkuan saya. Saya usap lembut rambutnya, sedangkan dia memegang lembut pipiku. Ciuman bibirnya semakin dalam, seakan tidak pernah dia lepaskan. Cukup lama kami berciuman, sesekali terdengar tarikan nafas Tia yang terdengar begitu lembut. Akhirnya saya memberanikan diri untuk mulai menurunkan bibir ke arah lehernya. “Ugh..” hanya terdengar lenguhan lembut seorang Tia ketika ia mulai merasakan hangatnya bibir saya menjelajahi lehernya. Tidak ada perlawanan dari aksi yang saya lakukan. Tia justru makin mendongakkan kepalanya, semakin memamerkan lehernya yang putih dan jenjang. Kedua tanggannya meremas seprai tempat tidur sebagai tumpuan. Saya pun semakin terhanyut terbawa suasana. Saya perlakukan Tia selembut mungkin, menjelajahi milimeter demi milimeter lehernya, mengusap rambutnya dan makin menekankan punggungnya ke arah tubuhku. “Ryo.. oohh..” lenguh Tia saat dia menyadari terlepasnya satu per satu kancing kemejanya. 
 Ya.. saya memang melepaskannya untuk melanjutkan cumbuan saya kepadanya.

Jilatan-jilatan lembut mulai menjalari dada Tia, seiring meningkatnya hasrat manusiawi dalam diri kami. Dengan sekali gerakan, saya dapat menggendongnya. Kami lanjutkan percumbuan dalam posisi berdiri dengan Tia dalam gendongan. Tangannya mulai meremasi rambutku. Perlahan-lahan kemejanya terjatuh terhempas ke karpet, menyisakan bagian atas tubuh Tia yang tinggal berbalutkan sehelai bra putih. Beberapa saat kami bercumbu dalam posisi ini, sampai akhirnya saya merebahkannya di ranjang. Terdengar suara Donita, presenter MTV Asia, terakhir kali sebelum saya meraih tombol off TV yang terletak di buffet samping ranjang. Kali ini suasana benar-benar senyap, hanya tarikan nafas kami berdua yang masih sibuk bercumbu. Tia mencoba untuk melepaskan satu per satu kancing kemejaku hingga akhirnya ia berhasil melepaskannya, hampir bersamaan saat saya berhasil melepaskan bra-nya. Kami meneruskan pergumulan, namun sebuah perasaan aneh menyusup ke dalam hatiku. She’s different, pikirku. Jujur saja, saya sudah beberapa kali mengalami sexual intercouse, pun dengan orang-orang yang baru saja saya kenal. Namun kali ini terasa berbeda. Ada perasaan lain yang mengiringi nafsu yang bergejolak, sebegitu dahsyatnya sehingga nafsu itu sendiri menjadi tidak berarti lagi keberadaannya. Sayang, yah mungkin inilah yang disebut dengan perasaan sayang itu, sesuatu yang sudah lama tidak saya rasakan keberadaannya. Ini membuatku ingin memperlakukannya seindah dan selembut mungkin. Tia bukan hanya seseorang yang mengisi sebuah babak pelampiasan nafsu manusiawi dalam hidupku. Dia berbeda, she deserves the best!

Terdengar lagi lenguhan Tia saat saya mulai mengulum buah dadanya. Kali ini terdengar lebih keras dari sebelumnya. Mungkin hasrat itu telah memenuhi kepalanya. Jilatan-jilatan diselingi gigitan-gigitan kecil mendarat di sekitar putingnya, berkali-kali membuatnya berjingkat terkejut. Saya meneruskan cumbuan saya ke arah perutnya, hingga pada akhirnya berhasil membebaskan celana panjangnya ke karpet. Sekarang terpampang pemandangan yang tidak mungkin saya lupakan, seorang Tia yang baru saya kenal hari ini, rebah dengan hanya berbalutkan celana dalam. Untuk pertama kalinya saya memandang seorang wanita dalam kondisi seperti ini tidak dengan nafsu yang menguasai. Begitu terasa bagaimana saya memang menyayangi dan menginginkannya. Matanya yang memandang lembut ke arahku, menghadirkan begitu banyak kedamaian, sesuatu yang terus saya cari selama ini dari diri seorang wanita.

Kini saya mengulum pusarnya, seiring lenguhan-lenguhan kecil yang terdengar dari bibirnya. Perlahan saya mulai menurunkan kain terakhir yang menempel pada tubuh Tia. Terdengar sedikit nada terkejut Tia saat saya mulai menurunkan centi demi centi celana dalamnya menyusuri kedua kakinya hingga terlepas entah kemana. Seiring itupun, saya mulai menurunkan jilatan ke arah selangkangannya. “Ryo.. mau ngapain.. uugghh..” pertanyaan yang coba diajukan Tia tidak dapat diselesaikannya begitu dirasakannya sebuah jilatan mendarat di organ kewanitaannya. Permainan lidahku pada liang kewanitaannya memang saya usahakan selembut mungkin, hingga terkadang hanya sedikit saja ujung lidahku menyentuhnya. Namun hal ini malah justru memicu reaksi Tia semakin terbakar. “Ohh.. Ryoo..” lenguhnya panjang diiringi nafasnya yang semakin tidak beraturan.

Hisapan dan jilatan silih berganti saya lakukan dengan penuh kelembutan padanya, hingga pada akhirnya terdengar Tia seperti mendekati puncaknya. “Aaahh..” jeritnya panjang sambil menghentakkan tubuhnya ke atas saat puncak itu datang melandanya, menggulungnya dalam suatu sensasi keindahan yang sangat melenakan dan menghempaskannya ke dalam jurang kenikmatan yang begitu dalam.

Kini saya memandang wajahnya. Matanya yang terpejam sambil menggigiti bibirnya sendiri dan tangannya yang mencengkram seprai di tepian ranjang dengan kencang serta nafasnya yang tidak beraturan cukup untuk mengekspresikan betapa tingginya Tia terbuai dalam gelombang orgasme yang baru saja dilaluinya. Saya biarkan Tia meregang dirinya dalam detik demi detik puncak kenikmatan yang baru saja didapatnya untuk menyibukkan diri mencari sebuah benda yang “lubricated with nonoxynol 9, for greater protection” (If you were a great 17tahun2 fan, you should know this thing) yang selalu disisipkan di dompetku (my friend said that only bastards always bring this thing around. Yeah.. maybe I’m the one of them).

Tia baru membuka matanya ketika dirasakannya sebuah benda menempel lembut pada bibir organ kewanitaannya. Dibukanya matanya memandang lembut ke arah wajahku yang tepat berada di depan wajahnya. “Tia, may I..?” bisikku sambil mengecup keningnya. Tia hanya mengedipkan kedua matanya sekali sambil tetap memandangku. That’s enough for me to know the answer of this question. Perlahan-lahan saya tekan kejantananku menerobos liang kewanitaannya. So gentle and smooth. Terdengar nafas Tia tertahan di tenggorokannya, menikmati sensasi mili demi mili penetrasi yang dilakukanku terhadapnya, hingga akhirnya keseluruhannya terbenam utuh. Kami terdiam dan saling berpandangan sejenak, menikmati bersatunya raga (dan hati) kami berdua. Saya kecup bibirnya lembut sebelum mulai melenakannya dalam sebuah percintaan yang sangat indah. Saya masih ingat persis, bagaimana kedua tangan kami saling bergenggaman erat di sisi tepi ranjang saat kami terus bergumul menyatukan hasrat dan raga kami. Betapa lembut buah dadanya menekan dadaku, dan betapa hangat melingkupi kejantananku yang terus memompanya, membawa kami semakin tinggi terbuai kenikmatan duniawi.

Entah berapa lama keadaan ini berlangsung, ketika pada saatnya terdengar Tia mulai mendekati orgasme keduanya. Tangannya merangkul pundakku, mendekap tubuhku erat seakan ingin mengajakku ikut dalam gelombang orgasmenya. Nafasnya makin memburu, terdengar jelas di telinga kananku. Saya pun meningkatkan kecepatan penetrasi untuk membantunya mendapatkan puncak kedua kalinya. “Eeegghh.. Ryoo.. aahh..” jerit Tia tertahan mencoba menyebut namaku saat gelombang orgasme keduanya benar-benar datang menggulungnya, menelannya kembali ke dalam jurang kenikmatan yang sangat dalam.

Saya menghentikan pergumulan kami sejenak, memberinya kesempatan untuk kembali mengatur nafasnya seusai melewati puncaknya yang kedua. Saya hanya memberikan senyuman dan kecupan lembut di keningnya saat pada akhirnya Tia mulai membuka matanya.
 
“You’re so lovely tonight”, bisikku padanya.
 
“Ryoo.. eh..!” teriaknya sedikit terkejut saat tiba-tiba saya menarik kedua tangannya untuk kemudian mendudukkannya dalam pangkuanku.
 
Punggungku bersandar di kepala ranjang, dan wajah kami saling memandang. Kami kembali berciuman. Perlahan kuangkat tubuhnya, untuk kembali menekankan kejantananku pada liang kewanitaannya. Walaupun kami tengah berciuman, masih sempat kudengar erangan lirihnya saat Tia merasakan bagaimana kejantananku perlahan menikam tubuhnya.

Kali ini kubiarkan Tia memegang kendali. Kubiarkan bagaimana dengan bebasnya Tia memompa diriku. Pundakku dijadikan tumpuan olehnya untuk terus menaik-turunkan tubuhnya di atasku. Saya hanya membantunya dengan meremas buah pinggulnya dan sedikit menaikkan posisi selangkanganku, hingga batangku terasa makin dalam menghujamnya. Ahh.. sungguh suatu pemandangan yang tidak akan terlupakan bagaimana melihat dirinya terus menyatukan raga kami ke dalam suatu persetubuhan yang sangat intim. Matanya yang terpejam, rambut sebahunya yang sudah mulai dibasahi keringat terurai bebas, bibirnya yang digigitnya sendiri dan tubuhnya yang berguncang-guncang. Ughh.. It’s really a loveable thing to see.

Pemandangan yang sangat melenakan ditambah dengan kehangatan yang makin erat menghimpit kejantananku, menit demi menit mulai membuaiku ke dalam sensasi kenikmatan sebuah persetubuhan. Terasa sesuatu mendesak, menghimpitku untuk keluar dari dalam tubuhku. Oh My God, saya ras saya akan sampai puncaknya, pikir saya. “Ryoo.. I’m almost there..” bisik Tia lirih sambil mempercepat gerakan tubuhnya memompaku. “Yes.. babe, me too..” jawabku sambil mengecup erat bibirnya. Selanjutnya terasa bagaimana gelombang menuju puncaknya seakan berpacu dengan gelombang menuju puncakku. Goncangan tubuhnya makin terasa mendesak cairan kejantananku untuk keluar, sementara tikaman batangku semakin menghadirkan sensasi kenikmatan suatu orgasme yang hanya tinggal sejengkal dari raihannya. “Aaahh.. Ryoo..” jeritnya lirih memanggil namaku saat ternyata gelombang orgasme lebih dahulu menyapanya.

Saya masih sempat meneruskan tikaman kejantananku beberapa kali lagi hingga pada akhirnya..
 
“Tiaa.., aku keluaarr..!” teriakku sambil mendekap erat tubuhnya.
 
Terasa bagaimana derasnya cairanku menyembur keluar. Untung saya menggunakan kondom, masih sempat diriku berpikir di sela-sela gulungan ombak ejakulasi yang menenggelamkanku dalam suatu sensasi kenikmatan yang sangat dahsyat. Dalam beberapa saat ke depan kami hanya mampu berpelukkan erat, untuk kemudian bersisian rebah di ranjang.
 
“Thanks honey, you’re so great..” bisikku sambil mengecup lembut bibirnya.
 
“Ahh.. Ryo..” lirih suaranya terdengar, seakan ingin mengatakan hal yang sama kepadaku.

Bandung, 12 Oktober 2000, 01.42 WIB

Terlihat bagaimana lengangnya perempatan jalan Tamblong yang memotong Jalan Asia Afrika di bawah sana. Hanya traffic light yang mengerjapkan cahaya kuningnya yang menandakan adanya kehidupan di sana. Sesekali melintas mobil angkutan kota yang beroperasi selama 24 jam menuju terminal Kebon Kelapa. Kami hanya duduk menatapnya tanpa banyak berkata-kata. Kugenggam erat Tia dalam pangkuanku, menatap kesunyian tanpa sehelai benangpun yang melekat di tubuh kami. Terkadang kudengus lembut telinga Tia, yang selalu saja diiringi desahan manjanya. Ah.. betapa romantisnya, memandang cahaya lampu lewat tengah malam tanpa selembar busana pun yang melekat.

Tak terasa sudah lebih dari setengah jam kami berdua tertegun memandang jalanan sejak gelombang orgasme tersebut menelan kami berdua dan menenggelamkan hingga ke dasarnya.
 
“Ryo, Tia pengen mandi rasanya,” tiba-tiba suara Tia mengejutkanku.
 
“Ya udah sana mandi,” jawabku.
 
“Eh pintunya jangan dikunci yah, siapa tau ntar saya mau nyusul,” godaku lagi.
 
“Huuh.. maunya,” sahut Tia manja sambil menjentikkan telunjuknya di hidungku dan kemudian berlalu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Selanjutnya saya hanya terdiam, melanjutkan lamunanku sendiri. Mengingat betapa beberapa menit yang lalu saya telah melalui sebuah permainan cinta yang sangat indah. Kali ini sungguh berbeda rasanya, lembut dan melenakan. Sungguh jauh lebih indah dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman terdahulu, dengan beberapa wanita yang sempat hadir dalam malam-malamku. Entah mengapa tiba-tiba timbul keinginanku untuk selalu berdekatan dengan Tia. Hanya beberapa menit ia tinggalkan (dan itupun hanya untuk mandi), rasa kehilangan itu sudah hadir dalam benakku.

Tanpa kusadar telah kulangkahkan kakiku ke arah kamar mandi untuk menyusul Tia. Krek.. terdengar pelan suara handle pintu kamar mandi yang kuputar. Hmm.. ternyata memang Tia tidak menguncinya, wah bandel juga nih anak, pikirku. Perlahan kubuka pintu untuk kemudian mendapatkan suatu pemandangan yang sangat memukau. Terlihat samar-samar dari belakang bagaimana Tia tengah menikmati pancuran air dari shower yang membilas lembut tubuhnya. Kaca penutup shower menghalangi pandanganku karena telah tertutup uap dari air hangat yang Tia gunakan. Entah mengapa pemandangan yang tersamar ini membangkitkan kembali gairahku. Terasa bagaimana kejantananku mulai menunjukkan reaksinya.

Perlahan kubuka pintu kaca shower untuk kemudian mendekap tubuh Tia dari belakang. “Hei..!” seru Tia terkejut sesaat menyadari ada orang lain yang berada dalam kotak showernya. “It’s me honey..” kataku menenangkan sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke arah leher belakangnya. “Ughh.. Ryo..” lenguh Tia pendek. Terus kudaratkan ciuman bertubi-tubi ke tubuhnya. Kadang di leher belakangnya, kadang di punggungnya, terkadang pula kulumat bibirnya. Kami berciuman di tengah derasnya pancuran shower yang membasahi tubuh kami. Ingin sekali rasanya kutikamkan kembali kejantananku dari belakang ke dalam liang kewanitaannya, menikmati sensasi bercinta di sebuah shower yang deras menghujani tubuh kami dengan butiran-butiran air.

Setelah kurasa percumbuan kami cukup untuk kembali membuatnya bergairah, perlahan kutuntun batangku ke dalam liang kemaluannya. Sejenak terasa lembut dan hangat tatkala kejantananku menempel pada bibir liang kewanitaannya, sebelum kuhentakkannya menerobos hingga ke pangkal batangku. “Arrgghh..” jerit Tia tertahan ketika ia mulai merasakan dirinya sesak dipenuhi oleh desakan kejantananku. Saya mulai memompanya perlahan, keluar dan masuk. Tia membuka kedua kakinya lebar sambil kedua tangannya bertumpu pada kedua keran panas-dingin pada shower. Kami kembali bercinta, bergumul dalam desakan arus birahi yang memenuhi kepala dan tubuh kami. Kami bersetubuh di bawah siraman kehangatan shower yang terus menghujani tubuh kami tiada henti. Terdengar sayup-sayup deru nafas Tia diantara derasnya suara air yang tumpah keluar dari shower. Kulingkarkan tangan kananku di leher Tia ketika kudaratkan tangan kiriku untuk mempermainkan puting kanannya, sambil tentunya terus memompanya dari belakang.

Terus kutikamkan batangku ke dalam liang kemaluannya tiada henti. Menit demi menit berlalu, mengiringi persetubuhan kami yang sangat indah. Terasa bagaimana semakin ketatnya lubang kewanitaan Tia kian menghimpit kejantananku. Tiba-tiba kedua tangan Tia menjangkau tangkai shower yang terpaku pada dinding bagian atas kepalanya, mendongakkan kepalanya seraya melenguhkan erangan yang begitu menggairahkan perasaan, “Ryoo.. ahh..” Ternyata Tia kembali meraih orgasmenya yang menariknya kembali ke dalam kenikmatan yang bergulung-gulung mendera batinnya. Kudekap erat tubuhnya, menjaganya dari kelimbungan yang mungkin dapat saja menghempaskannya ke lantai marmer yang kami injak. Beberapa saat tetap kudekap erat tubuhnya, sampai pada saat akhirnya Tia mulai dapat menggerakkan dirinya sendiri. Kami sejenak bertatapan, perlahan kucium lembut bibirnya. “You’re wonderful, Babe,” pujiku saat dia mulai membuka matanya dan memandang ke arahku.

Tia membalikkan tubuhnya dan memelukku erat. Kucium kembali bibir Tia sambil kuangkat tubuhnya meninggalkan kotak shower tempat kami memadu nafsu. Kurebahkan tubuhnya di lantai marmer kamar mandi dengan perlahan. Kembali kuletakkan kejantananku di bibir kewanitaannya seraya perlahan mendorongnya masuk ke dalam. Sejenak kulihat Tia mengigit bibirnya sendiri, seakan tengah menikmati sensasi penetrasi batangku ke dalam liang kemaluannya. Kembali kupompakan kejantananku ke dalam tubuh Tia, membiarkan tungkainya bersandar di pundakku untuk kemudian membuat kami terbang meraih kenikmatan duniawi dengan lembut dan perlahan. Terus kusetubuhi tubuh Tia yang tergolek di lantai, mencoba mengimbangi gerakan pinggulnya yang makin menjepit batangku. “Tia, Ryo mau keluar..” bisikku lirih saat mulai kurasakan sesuatu mendesak keluar dari batang kejantananku, setelah beberapa waktu berlalu. “Yes Ryo, semprotkan ke dadaku,” sahut Tia sambil mengecup perlahan bibirku sejenak.

Terus kupompakan batang kejantananku untuk mencapai puncak ejakulasiku yang kedua dalam hari ini. Saya mencoba untuk menahannya selama mungkin, namun usahaku tidaklah banyak membawa hasil karena tidak berapa lama kemudian kupastikan bahwa benteng pertahananku tidak akan bertahan lama lagi. Sempat kuhujamkan beberapa kali lagi kemaluanku dalam liang kewanitaannya sebelum berteriak keras seraya menarik keluar batangku dan memuntahkan isinya, membajiri seluruh permukaan dada Tia.
 
“Ahh.. Aku keluaarr..” teriakku parau.
 
“Yes.. ehhmm..” erang Tia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, karena dirasakannya cairan kejantananku ternyata juga mendarat di wajah dan rambutnya.
 
Cukup lama kuregang diriku dalam orgasme yang sangat dahsyat, dimana Tia ikut membantunya dengan mengurut-urut batang kemaluanku, menghabisi cairan yang mungkin masih tersisa di dalamnya. Kucium bibirnya dalam sambil mengucapkan terima kasih atas klimaks yang baru saja saya dapatkan, sebelum akhirnya merebahkan diriku di sampingnya.

Bandung, 12 Oktober 2000, 04.48 WIB

Saya tersadar dari tidur dengan mendadak. Di sampingku tergolek tubuh Tia yang tidur memunggungiku sambil kupeluk dari belakang. Sejenak kucoba mengingat-ingat apa yang baru saja saya alami. Samar-samar saya mulai mengingat bagaimana sekitar satu setengah jam yang lalu kulalui sebuah klimaks yang dahsyat dalam dekapan Tia di lantai kamar mandi. Yah kuingat bagaimana kemudian kami saling membersihkan diri, mengeringkannya untuk kemudian menikmati tidur dalam posisi saling berpelukan.

Terasa dinginnya udara AC kamar menjalari tubuhku yang tidak ditutupi selembar kain pun saat kusingkapkan selimut untuk kemudian mencari pakaianku yang berserakan di lantai kamar yang ditutupi karpet bernuansa maroon. Kukecup lembut kening Tia saat telah lengkap saya berpakaian. Terdengar lirih suara Tia saat dia mulai tersadar sedikit demi sedikit dari tidurnya. Kukecup bibirnya saat dia benar-benar telah membuka matanya, memandangku dengan suatu tatapan yang sangat sulit ditebak artinya. Tatapan sayangkah itu?

Jam mobilku menunjukkan pukul 05.21 WIB ketika dengan santai kukendarai mini jeep-ku membelah jalan Asia Afrika yang masih lengang sambil mendengarkan musik yang mulai dimainkan radio-radio swasta yang mulai mengudara. Saya memang harus segera pergi dari sisi Tia, setidaknya untuk hari ini, karena dia akan kembali ke Jakarta dengan rombongannya setelah breakfast nanti. Pasti suatu pemandangan yang tidak lucu jika teman-teman yang menyusul ke kamarnya, menemukan kami sedang tidur berpelukkan tanpa busana sama sekali.

But no business talks allowed, masih terngiang di telingaku perkataan Tia saat kuajak dirinya melewatkan malamnya menikmati suasana Bandung semalam. Yah.. semoga memang begitu keadaan selanjutnya. Terus terang saya paling tidak mau mencampurkan urusan pekerjaan dengan pribadi. Jika saya ditolak untuk pekerjaan, biarkanlah itu karena memang saya tidak cukup qualified untuk diterima, bukan karena saya telah berani kurang ajar kepada salah seorang pengujinya (itu pun kalau dia anggap bahwa saya kurang ajar, hehehehe..). Di lain pihak jika saya diterima bekerja, biarlah itu karena memang skill dan capability saya memang dibutuhkan oleh perusahaan, bukan karena saya berhasil menjalin suatu hubungan khusus dengan seorang Tia. Meminjam istilah Mbak Sari, mendaki corporate lewat ranjang, hahahaha.

Dalam hati saya masih sedikit terbersit harapan untuk tetap melanjutkan hubungan ini. Masih terasa bagaimana Tia mengecup lembut bibirku saat dia melepasku di pintu kamarnya. As I said before, everything seems so right when we’re together. Is she the Miss. Right for me after I’ve been looking for all over places? Why do I feel that she’s the one, eventhough I have known her only by day. Biarlah waktu yang menjawabnya, karena orang bijak berkata hanya waktulah yang dapat secara pasti menentukan apa yang akan kami jalani di masa depan, sepasti sinar matahari yang selalu menyapa penduduk bumi setiap pagi.

Seperti saat ini, dimana sinar matahari yang pertama jatuh menemani perjalananku menembus lengangnya jalanan kota ini.

Tamat