Jakarta yang panas membuatku kegerahan
di atas angkot. Kantorku tidak lama lagi kelihatan di kelokan depan,
kurang lebih 100 meter lagi. Tetapi aku masih betah di atas mobil ini.
Angin menerobos dari jendela. Masih ada waktu bebas dua jam. Kerjaan
hari ini sudah kugarap semalam. Daripada suntuk diam di rumah, tadi
malam aku menyelesaikan kerjaan yang masih menumpuk. Kerjaan yang
menumpuk sama merangsangnya dengan seorang wanita dewasa yang keringatan
di lehernya, yang aroma tubuhnya tercium. Aroma asli seorang wanita.
Baunya memang agak lain, tetapi mampu membuat seorang bujang menerawang
hingga jauh ke alam yang belum pernah ia rasakan.
“Dik.., jangan dibuka lebar. Saya bisa masuk angin.” kata seorang wanita setengah baya di depanku pelan.
Aku tersentak. Masih melongo.
“Itu jendelanya dirapetin dikit..,” katanya lagi.
“Ini..?” kataku.
“Ya itu.”
Ya ampun, aku membayangkan suara itu
berbisik di telingaku di atas ranjang yang putih. Keringatnya meleleh
seperti yang kulihat sekarang. Napasnya tersengal. Seperti kulihat
ketika ia baru naik tadi, setelah mengejar angkot ini sekadar untuk
dapat secuil tempat duduk.
“Terima kasih,” ujarnya ringan.
Aku sebetulnya ingin ada sesuatu yang
bisa diomongkan lagi, sehingga tidak perlu curi-curi pandang melirik
lehernya, dadanya yang terbuka cukup lebar sehingga terlihat garis
bukitnya.
“Saya juga tidak suka angin kencang-kencang. Tapi saya gerah.” meloncat begitu saja kata-kata itu.
Aku belum pernah berani bicara begini,
di angkot dengan seorang wanita, separuh baya lagi. Kalau kini aku
berani pasti karena dadanya terbuka, pasti karena peluhnya yang
membasahi leher, pasti karena aku terlalu terbuai lamunan. Ia malah
melengos. Sial. Lalu asyik membuka tabloid. Sial. Aku tidak dapat lagi
memandanginya.
Kantorku sudah terlewat. Aku masih di
atas angkot. Perempuan paruh baya itu pun masih duduk di
depanku. Masih
menutupi diri dengan tabloid. Tidak lama wanita itu mengetuk
langit-langit mobil. Sopir menepikan kendaraan persis di depan sebuah
salon. Aku perhatikan ia sejak bangkit hingga turun. Mobil bergerak
pelan, aku masih melihat ke arahnya, untuk memastikan ke mana arah
wanita yang berkeringat di lehernya itu. Ia tersenyum. Menantang dengan
mata genit sambil mendekati pintu salon. Ia kerja di sana? Atau mau
gunting? Creambath? Atau apalah? Matanya dikerlingkan, bersamaan
masuknya mobil lain di belakang angkot. Sial. Dadaku tiba-tiba
berdegup-degup.
“Bang, Bang kiri Bang..!”
Semua penumpang menoleh ke arahku. Apakah suaraku mengganggu ketenangan mereka?
“Pelan-pelan suaranya kan bisa Dek,” sang supir menggerutu sambil memberikan kembalian.
Aku membalik arah lalu berjalan cepat,
penuh semangat. Satu dua, satu dua. Yes.., akhirnya. Namun, tiba-tiba
keberanianku hilang. Apa katanya nanti? Apa yang aku harus bilang, lho
tadi kedip-kedipin mata, maksudnya apa? Mendadak jari tanganku dingin
semua. Wajahku merah padam. Lho, salon kan tempat umum. Semua orang
bebas masuk asal punya uang. Bodoh amat. Come on lets go! Langkahku
semangat lagi. Pintu salon kubuka.
“Selamat siang Mas,” kata seorang penjaga salon, “Potong, creambath, facial atau massage (pijit)..?”
“Massage, boleh.” ujarku sekenanya.
Aku dibimbing ke sebuah ruangan. Ada
sekat-sekat, tidak tertutup sepenuhnya. Tetapi sejak tadi aku tidak
melihat wanita yang lehernya berkeringat yang tadi mengerlingkan mata ke
arahku. Ke mana ia? Atau jangan-jangan ia tidak masuk ke salon ini,
hanya pura-pura masuk. Ah. Shit! Aku tertipu. Tapi tidak apa-apa toh
tipuan ini membimbingku ke ‘alam’ lain.
Dulu aku paling anti masuk salon. Kalau
potong rambut ya masuk ke tukang pangkas di pasar. Ah.., wanita yang
lehernya berkeringat itu begitu besar mengubah keberanianku.
“Buka bajunya, celananya juga,” ujar wanita tadi manja menggoda, “Nih pake celana ini..!”
Aku disodorkan celana pantai tapi lebih
pendek lagi. Bahannya tipis, tapi baunya harum. Garis setrikaannya masih
terlihat. Aku menurut saja. Membuka celanaku dan bajuku lalu gantung di
kapstok. Ada dipan kecil panjangnya dua meter, lebarnya hanya muat
tubuhku dan lebih sedikit. Wanita muda itu sudah keluar sejak melempar
celana pijit. Aku tiduran sambil baca majalah yang tergeletak di rak
samping tempat tidur kecil itu. Sekenanya saja kubuka halaman majalah.
“Tunggu ya..!” ujar wanita tadi dari jauh, lalu pergi ke balik ruangan ke meja depan ketika ia menerima kedatanganku.
“Mbak Wien.., udah ada pasien tuh,” ujarnya dari ruang sebelah. Aku jelas mendengarnya dari sini.
Kembali ruangan sepi. Hanya suara
kebetan majalah yang kubuka cepat yang terdengar selebihnya musik lembut
yang mengalun dari speaker yang ditanam di langit-langit ruangan.
Langkah sepatu hak tinggi terdengar,
pletak-pletok-pletok. Makin lama makin jelas. Dadaku mulai berdegup
lagi. Wajahku mulai panas. Jari tangan mulai dingin. Aku makin
membenamkan wajah di atas tulisan majalah.
“Halo..!” suara itu mengagetkanku.
Hah..? Suara itu lagi. Suara yang kukenal, itu kan suara yang meminta
aku menutup kaca angkot. Dadaku berguncang. Haruskah kujawab sapaan itu?
Oh.., aku hanya dapat menunduk, melihat kakinya yang bergerak ke sana
ke mari di ruangan sempit itu. Betisnya mulus ditumbuhi bulu-bulu halus.
Aku masih ingat sepatunya tadi di angkot. Hitam. Aku tidak ingat
motifnya, hanya ingat warnanya.
“Mau dipijat atau mau baca,” ujarnya ramah mengambil majalah dari hadapanku, “Ayo tengkurep..!”
Tangannya mulai mengoleskan cream ke
atas punggungku. Aku tersetrum. Tangannya halus. Dingin. Aku kegelian
menikmati tangannya yang menari di atas kulit punggung. Lalu pijitan
turun ke bawah. Ia menurunkan sedikit tali kolor sehingga pinggulku
tersentuh. Ia menekan-nekan agak kuat. Aku meringis menahan sensasasi
yang waow..! Kini ia pindah ke paha, agak berani ia masuk sedikit ke
selangkangan. Aku meringis merasai sentuhan kulit jarinya. Tapi belum
begitu lama ia pindah ke betis.
“Balik badannya..!” pintanya.
Aku membalikkan badanku. Lalu ia
mengolesi dadaku dengan cream. Pijitan turun ke perut. Aku tidak berani
menatap wajahnya. Aku memandang ke arah lain mengindari adu tatap. Ia
tidak bercerita apa-apa. Aku pun segan memulai cerita. Dipijat seperti
ini lebih nikmat diam meresapi remasan, sentuhan kulitnya. Bagiku itu
sudah jauh lebih nikmat daripada bercerita. Dari perut turun ke paha.
Ah.., selangkanganku disentuh lagi, diremas, lalu ia menjamah betisku,
dan selesai.
Ia berlalu ke ruangan sebelah setelah
membereskan cream. Aku hanya ditinggali handuk kecil hangat. Kuusap sisa
cream. Dan kubuka celana pantai. Astaga. Ada cairan putih di celana
dalamku.
Di kantor, aku masih terbayang-bayang
wanita yang di lehernya ada keringat. Masih terasa tangannya di
punggung, dada, perut, paha. Aku tidak tahan. Esoknya, dari rumah
kuitung-itung waktu. Agar kejadian kemarin terulang. Jam berapa aku
berangkat. Jam berapa harus sampai di Ciledug, jam berapa harus naik
angkot yang penuh gelora itu. Ah sial. Aku terlambat setengah jam.
Padahal, wajah wanita setengah baya yang di lehernya ada keringat sudah
terbayang. Ini gara-gara ibuku menyuruh pergi ke rumah Tante Wanti.
Bayar arisan. Tidak apalah hari ini tidak ketemu. Toh masih ada hari
esok.
Aku bergegas naik angkot yang melintas.
Toh, si setengah baya itu pasti sudah lebih dulu tiba di salonnya. Aku
duduk di belakang, tempat favorit. Jendela kubuka. Mobil melaju. Angin
menerobos kencang hingga seseorang yang membaca tabloid menutupi
wajahnya terganggu.
“Mas Tut..” hah..? suara itu lagi, suara
wanita setengah baya yang kali ini karena mendung tidak lagi ada
keringat di lehernya. Ia tidak melanjutkan kalimatnya.
Aku tersenyum. Ia tidak membalas tapi lebih ramah. Tidak pasang wajah perangnya.
“Kayak kemarinlah..,” ujarnya sambil mengangkat tabloid menutupi wajahnya.
Begitu kebetulankah ini?
Keberuntungankah? Atau kesialan, karena ia masih mengangkat tabloid
menutupi wajah? Aku kira aku sudah terlambat untuk bisa satu angkot
dengannya. Atau jangan-jangan ia juga disuruh ibunya bayar arisan. Aku
menyesal mengutuk ibu ketika pergi. Paling tidak ada untungnya juga ibu
menyuruh bayar arisan.
“Mbak Wien..,” gumamku dalam hati.
Perlu tidak ya kutegur? Lalu ngomong
apa? Lha wong Mbak Wien menutupi wajahnya begitu. Itu artinya ia tidak
mau diganggu. Mbak Wien sudah turun. Aku masih termangu. Turun tidak,
turun tidak, aku hitung kancing. Dari atas: Turun. Ke bawah: Tidak. Ke
bawah lagi: Turun. Ke bawah lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke bawah
lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Hah habis kancingku habis. Mengapa kancing
baju cuma tujuh?
Hah, aku ada ide: toh masih ada kancing
di bagian lengan, kalau belum cukup kancing Bapak-bapak di sebelahku
juga bisa. Begini saja daripada repot-repot. Anggap saja tiap-tiap baju
sama dengan jumlah kancing bajuku: Tujuh. Sekarang hitung penumpang
angkot dan supir. Penumpang lima lalu supir, jadi enam kali tujuh, 42
hore aku turun. Tapi eh.., seorang penumpang pakai kaos oblong, mati
aku. Ah masa bodo. Pokoknya turun.
“Kiri Bang..!”
Aku lalu menuju salon. Alamak..,
jauhnya. Aku lupa kelamaan menghitung kancing. Ya tidak apa-apa,
hitung-hitung olahraga. Hap. Hap.
“Mau pijit lagi..?” ujar suara wanita muda yang kemarin menuntunku menuju ruang pijat.
“Ya.”
Lalu aku menuju ruang yang kemarin.
Sekarang sudah lebih lancar. Aku tahu di mana ruangannya. Tidak perlu
diantar. Wanita muda itu mengikuti di belakang. Kemudian menyerahkan
celana pantai.
“Mbak Wien, pasien menunggu,” katanya.
Majalah lagi, ah tidak aku harus bicara
padanya. Bicara apa? Ah apa saja. Masak tidak ada yang bisa dibicarakan.
Suara pletak-pletok mendekat.
“Ayo tengkurap..!” kata wanita setengah baya itu.
Aku tengkurap. Ia memulai pijitan. Kali ini lebih bertenaga dan aku memang benar-benar pegal, sehingga terbuai pijitannya.
“Telentang..!” katanya.
Kuputuskan untuk berani menatap
wajahnya. Paling tidak aku dapat melihat leher yang basah keringat
karena kepayahan memijat. Ia cukup lama bermain-main di perut. Sesekali
tangannya nakal menelusup ke bagian tepi celana dalam. Tapi belum
tersentuh kepala juniorku. Sekali. Kedua kali ia memasukkan jari
tangannya. Ia menyenggol kepala juniorku. Ia masih dingin tanpa
ekspresi. Lalu pindah ke pangkal paha. Ah mengapa begitu cepat.
Jarinya mengelus tiap mili pahaku. Si
Junior sudah mengeras. Betul-betul keras. Aku masih penasaran, ia
seperti tanpa ekspresi. Tetapi eh.., diam-diam ia mencuri pandang ke
arah juniorku. Lama sekali ia memijati pangkal pahaku. Seakan sengaja
memainkan Si Junior. Ketika Si Junior melemah ia seperti tahu bagaimana
menghidupkannya, memijat tepat di bagian pangkal paha. Lalu ia memijat
lutut. Si Junior melemah. Lalu ia kembali memijat pangkal pahaku. Ah
sialan. Aku dipermainkan seperti anak bayi.
Selesai dipijat ia tidak meninggalkan
aku. Tapi mengelap dengan handuk hangat sisa-sisa cream pijit yang masih
menempel di tubuhku. Aku duduk di tepi dipan. Ia membersihkan
punggungku dengan handuk hangat. Ketika menjangkau pantatku ia agak
mendekat. Bau tubuhnya tercium. Bau tubuh wanita setengah baya yang yang
meleleh oleh keringat. Aku pertegas bahwa aku mengendus kuat-kuat aroma
itu. Ia tersenyum ramah. Eh bisa juga wanita setengah baya ini ramah
kepadaku.
Lalu ia membersihkan pahaku sebelah
kiri, ke pangkal paha. Junior berdenyut-denyut. Sengaja kuperlihatkan
agar ia dapat melihatnya. Di balik kain tipis, celana pantai ini ia
sebetulnya bisa melihat arah turun naik Si Junior. Kini pindah ke paha
sebelah kanan. Ia tepat berada di tengah-tengah. Aku tidak menjepit
tubuhnya. Tapi kakiku saja yang seperti memagari tubuhnya. Aku
membayangkan dapat menjepitnya di sini. Tetapi, bayangan itu terganggu.
Terganggu wanita muda yang di ruang sebelah yang kadang-kadang tanpa
tujuan jelas bolak-balik ke ruang pijat.
Dari jarak yang begitu dekat ini, aku
jelas melihat wajahnya. Tidak terlalu ayu. Hidungnya tidak mancung
tetapi juga tidak pesek. Bibirnya sedang tidak terlalu sensual. Nafasnya
tercium hidungku. Ah segar. Payudara itu dari jarak yang cukup dekat
jelas membayang. Cukuplah kalau tanganku menyergapnya. Ia terus mengelap
pahaku. Dari jarak yang dekat ini hawa panas tubuhnya terasa. Tapi ia
dingin sekali. Membuatku tidak berani. Ciut. Si Junior tiba-tiba juga
ikut-ikutan ciut. Tetapi, aku harus berani. Toh ia sudah seperti pasrah
berada di dekapan kakiku.
Aku harus, harus, harus..! Apakah perlu
menhitung kancing. Aku tidak berpakaian kini. Lagi pula percuma, tadi
saja di angkot aku kalah lawan kancing. Aku harus memulai. Lihatlah,
masak ia begitu berani tadi menyentuh kepala Junior saat memijat perut.
Ah, kini ia malah berlutut seperti menunggu satu kata saja dariku. Ia
berlutut mengelap paha bagian belakang. Kaki kusandarkan di tembok yang
membuat ia bebas berlama-lama membersihkan bagian belakang pahaku.
Mulutnya persis di depan Junior hanya beberapa jari. Inilah kesempatan
itu. Kesempatan tidak akan datang dua kali. Ayo. Tunggu apa lagi. Ayo
cepat ia hampir selesai membersihkan belakang paha. Ayo..!
Aku masih diam saja. Sampai ia selesai
mengelap bagian belakang pahaku dan berdiri. Ah bodoh. Benarkan
kesempatan itu lewat. Ia sudah membereskan peralatan pijat. Tapi sebelum
berlalu masih sempat melihatku sekilas. Betulkan, ia tidak akan datang
begitu saja. Badannya berbalik lalu melangkah. Pletak, pletok, sepatunya
berbunyi memecah sunyi. Makin lama suara sepatu itu seperti mengutukku
bukan berbunyi pletak pelok lagi, tapi bodoh, bodoh, bodoh sampai suara
itu hilang.
Aku hanya mendengus. Membuang napas.
Sudahlah. Masih ada esok. Tetapi tidak lama, suara pletak-pletok
terdengar semakin nyaring. Dari iramanya bukan sedang berjalan. Tetapi
berlari. Bodoh, bodoh, bodoh. Eh.., kesempatan, kesempatan, kesempatan.
Aku masih mematung. Duduk di tepi dipan. Kaki disandarkan di dinding. Ia
tersenyum melihatku.
“Maaf Mas, sapu tangan saya ketinggalan,” katanya.
Ia mencari-cari. Di mana? Aku masih mematung. Kulihat di bawahku ada kain, ya seperti saputangan.
“Itu kali Mbak,” kataku datar dan tanpa tekanan.
Ia berjongkok persis di depanku, seperti
ketika ia membersihkan paha bagian bawah. Ini kesempatan kedua. Tidak
akan hadir kesempatan ketiga. Lihatlah ia tadi begitu teliti membenahi
semua perlatannya. Apalagi yang dapat tertinggal? Mungkin sapu tangan
ini saja suatu kealpaan. Ya, seseorang toh dapat saja lupa pada sesuatu,
juga pada sapu tangan. Karena itulah, tidak akan hadir kesempatan
ketiga. Ayo..!
“Mbak.., pahaku masih sakit nih..!” kataku memelas, ya sebagai alasan juga mengapa aku masih bertahan duduk di tepi dipan.
Ia berjongkok mengambil sapu tangan. Lalu memegang pahaku, “Yang mana..?”
Yes..! Aku berhasil. “Ini..,” kutunjuk pangkal pahaku.
“Besok saja Sayang..!” ujarnya.
Ia hanya mengelus tanpa tenaga. Tapi ia masih berjongkok di bawahku.
“Yang ini atau yang itu..?” katanya menggoda, menunjuk Juniorku.
Darahku mendesir. Juniorku tegang seperti mainan anak-anak yang dituip melembung. Keras sekali.
“Jangan cuma ditunjuk dong, dipegang boleh.”
Ia berdiri. Lalu menyentuh Junior dengan
sisi luar jari tangannya. Yes. Aku bisa dapatkan ia, wanita setengah
baya yang meleleh keringatnya di angkot karena kepanasan. Ia
menyentuhnya. Kali ini dengan telapak tangan. Tapi masih terhalang kain
celana. Hangatnya, biar begitu, tetap terasa. Aku menggelepar.
“Sst..! Jangan di sini..!” katanya.
Kini ia tidak malu-malu lagi
menyelinapkan jemarinya ke dalam celana dalamku. Lalu dikocok-kocok
sebentar. Aku memegang teteknya. Bibirku melumat bibirnya.
“Jangan di sini Sayang..!” katanya manja lalu melepaskan sergapanku.
“Masih sepi ini..!” kataku makin berani.
Kemudian aku merangkulnya lagi, menyiuminya lagi. Ia menikmati, tangannya mengocok Junior.
“Besar ya..?” ujarnya.
Aku makin bersemangat, makin membara,
makin terbakar. Wanita setengah baya itu merenggangkan bibirnya, ia
terengah-engah, ia menikmati dengan mata terpejam.
“Mbak Wien telepon..,” suara wanita muda dari ruang sebelah menyalak, seperti bel dalam pertarungan tinju.
Mbak Wien merapihkan pakaiannya lalu pergi menjawab telepon.
“Ngapaian sih di situ..?” katanya lagi seperti iri pada Wien.
Aku mengambil pakaianku. Baru saja aku memasang ikat pinggang, Wien menghampiriku sambil berkata, “Telepon aku ya..!”
Ia menyerahkan nomor telepon di atas
kertas putih yang disobek sekenanya. Pasti terburu-buru. Aku langsung
memasukkan ke saku baju tanpa mencermati nomor-nomornya. Nampak ada
perubahan besar pada Wien. Ia tidak lagi dingin dan ketus. Kalau saja,
tidak keburu wanita yang menjaga telepon datang, ia sudah melumat Si
Junior. Lihat saja ia sudah separuh berlutut mengarah pada Junior.
Untung ada tissue yang tercecer, sehingga ada alasan buat Wien.
Ia mengambil tissue itu, sambil
mendengar kabar gembira dari wanita yang menunggu telepon. Ia hanya
menampakkan diri separuh badan.
“Mbak Wien.., aku mau makan dulu. Jagain sebentar ya..!”
Ya itulah kabar gembira, karena Wien lalu mengangguk.
Setelah mengunci salon, Wien kembali ke
tempatku. Hari itu memang masih pagi, baru pukul 11.00 siang, belum ada
yang datang, baru aku saja. Aku menanti dengan debaran jantung yang
membuncah-buncah. Wien datang. Kami seperti tidak ingin membuang waktu,
melepas pakaian masing-masing lalu memulai pergumulan.
Wien menjilatiku dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Aku menikmati kelincahan lidah wanita setengah baya
yang tahu di mana titik-titik yang harus dituju. Aku terpejam menahan
air mani yang sudah di ujung. Bergantian Wien kini telentang.
“Pijit saya Mas..!” katanya melenguh.
Kujilati payudaranya, ia melenguh. Lalu vaginanya, basah sekali. Ia membuncah ketika aku melumat klitorisnya. Lalu mengangkang.
“Aku sudah tak tahan, ayo dong..!” ujarnya merajuk.
Saat kusorongkan Junior menuju vaginanya, ia melenguh lagi.
“Ah.. Sudah tiga tahun, benda ini tak
kurasakan Sayang. Aku hanya main dengan tangan. Kadang-kadang ketimun.
Jangan dimasukkan dulu Sayang, aku belum siap. Ya sekarang..!” pintanya
penuh manja.
Tetapi mendadak bunyi telepon di ruang depan berdering. Kring..! Aku mengurungkan niatku. Kring..!
“Mbak Wien, telepon.” kataku.
Ia berjalan menuju ruang telepon di sebelah. Aku mengikutinya. Sambil menjawab telepon di kursi ia menunggingkan pantatnya.
“Ya sekarang Sayang..!” katanya.
“Halo..?” katanya sedikit terengah.
“Oh ya. Ya nggak apa-apa,” katanya menjawab telepon.
“Siapa Mbak..?” kataku sambil menancapkan Junior amblas seluruhnya.
“Si Nina, yang tadi. Dia mau pulang dulu ngeliat orang tuanya sakit katanya sih begitu,” kata Wien.
Setelah beberapa lama menyodoknya, “Terus dong Yang. Auhh aku mau keluar ah.., Yang tolloong..!” dia mendesah keras.
Lalu ia bangkit dan pergi secepatnya.
“Yang.., cepat-cepat berkemas. Sebantar lagi Mbak Mona yang punya salon ini datang, biasanya jam segini dia datang.”