Cerita ini bermula pada waktu itu aku lagi kuliah di semester VI di
salah satu PTS di Bandung. Ceritanya saat itu aku lagi putus dengan
pacarku dan memang dia tidak tahu diri, sudah dicintai malah bertingkah,
akhirnya dari cerita cintaku cuma berumur 2 tahun saja. Waktu itu aku
tinggal berlima dengan teman satu kuliah juga, kita tinggal serumah atau
ngontrak satu rumah untuk berlima. Kebetulan di rumah itu hanya aku
yang laki-laki. Mulanya aku bilang sama kakak perempuanku, “Sudah, aku
pisah rumah saja atau kos di tempat”, tapi kakakku ini saking sayangnya
padaku, ya saya tidak diperbolehkan pisah rumah. Kita pun tinggal
serumah dengan tiga teman wanita kakakku.
Ada satu diantara mereka sudah jadi dosen tapi di Universitas lain, Ibu
Vivin namanya. Kita semua memanggilnya Ibu maklum sudah umur 40 tahun
tapi belum juga menikah. Ibu Vivin bertanya,
“Eh, kamu akhir-akhir ini
kok sering ngelamun sih, ngelamunin apa yok? Jangan-jangan ngelamunin
yang itu..”
“Itu apanya Bu?” tanyaku.
Memang dalam kesehari-harianku, ibu Vivin tahu karena aku sering juga curhat sama dia karena dia sudah kuanggap lebih tua dan tahu banyak hal. Aku mulai cerita,
“Tahu nggak masalah yang kuhadapi? Sekarang aku baru putus sama pacarku”, kataku.
“Oh.. gitu ceritanya, pantesan aja dari minggu kemarin murung aja dan sering ngalamun sendiri”, kata Ibu Vivin.
Begitu dekatnya aku sama Ibu Vivin sampai suatu waktu aku mengalami
kejadian ini. Entah kenapa aku tidak sengaja sudah mulai ada perhatian
sama Ibu Vivin. Waktu itu tepatnya siang-siang semuanya pada kuliah, aku
sedang sakit kepala jadinya aku bolos dari kuliah. Siang itu tepat jam
11:00 siang saat aku bangun, eh agak sedikit heran kok masih ada orang
di rumah, biasanya kalau siang-siang bolong begini sudah pada nggak ada
orang di rumah tapi kok hari ini kayaknya ada teman di rumah nih. Aku
pergi ke arah dapur.
“Eh Ibu Vivin, nggak ngajar Bu?” tanyaku.
“Kamu kok nggak kuliah?” tanya dia.
“Habis sakit Bu”, kataku.
“Sakit apa sakit?” goda Ibu Vivin.
“Ah.. Ibu Vivin bisa aja”, kataku.
“Sudah makan belum?” tanyanya.
“Belum Bu”, kataku.
“Sudah Ibu Masakin aja sekalian sama kamu ya”, katanya.
Dengan cekatan Ibu Vivin memasak, kita pun langsung makan berdua sambil
ngobrol ngalor ngidul sampai-sampai kita membahas cerita yang agak
berbau seks. Kukira Ibu Vivin nggak suka yang namanya cerita seks, eh
tau-taunya dia membalas dengan cerita yang lebih hot lagi. Kita pun
sudah semakin jauh ngomongnya. Tepat saat itu aku ngomongin tentang
perempuan yang sudah lama nggak merasakan hubungan dengan lain jenisnya.
“Apa masih ada gitu keinginannya untuk itu?” tanyaku.
“Enak aja, emangnya nafsu itu ngenal usia gitu”, katanya.
“Oh kalau gitu Ibu Vivin masih punya keinginan dong untuk ngerasain bagaimana hubungan dengan lain jenis”, kataku.
“So pasti dong”, katanya.
“Terus dengan siapa Ibu untuk itu, Ibu kan belum kawin”, dengan enaknya aku nyeletuk.
“Aku bersedia kok”, kataku lagi dengan sedikit agak cuek sambil kutatap
wajahnya. Ibu Vivin agak merah pudar entah apa yang membawa keberanianku
semakin membludak dan entah kapan mulainya aku mulai memegang
tangannya. Dengan sedikit agak gugup Ibu Vivin kebingungan sambil
menarik kembali tangannya, dengan sedikit usaha aku harus merayu terus
sampai dia benar-benar bersedia melakukannya.
“Okey, sorry ya Bu, aku sudah terlalu lancang terhadap Ibu Vivin”, kataku.
“Nggak, aku kok yang salah memulainya dengan meladenimu bicara soal itu”, katanya.
Dengan sedikit kegirangan, dalam hatiku dengan lembut kupegang lagi tangannya sambil kudekatkan bibirku ke dahinya. Dengan lembut kukecup keningnya. Ibu Vivin terbawa dengan situasi yang kubuat, dia menutup matanya dengan lembut. Juga kukecup sedikit di bawah kupingnya dengan lembut sambil kubisikkan, “Aku sayang kamu, Ibu Vivin”, tapi dia tidak menjawab sedikitpun.
Dengan sedikit agak ragu juga kudekatkan bibirku mendekati bibirnya.
Cup.. dengan begitu lembutnya aku merasa kelembutan bibir itu. Aduh
lembutnya, dengan cekatan aku sudah menarik tubuhnya ke rangkulanku,
dengan sedikit agak bernafsu kukecup lagi bibirnya. Dengan sedikit
terbuka bibirnya menyambut dengan lembut. Kukecup bibir bawahnya, eh..
tanpa kuduga dia balas kecupanku. Kesempatan itu tidak kusia-siakan.
Kutelusuri rongga mulutnya dengan sedikit kukulum lidahnya. Kukecup,
“Aah.. cup.. cup.. cup..” dia juga mulai dengan nafsunya yang membara
membalas kecupanku, ada sekitar 10 menitan kami melakukannya, tapi kali
ini dia sudah dengan mata terbuka. Dengan sedikit ngos-ngosan kayak
habis kerja keras saja.
“Aah.. jangan panggil Ibu, panggil Vivin aja ya!
Kubisikkan Ibu Vivin, “Vivin kita ke kamarku aja yuk!”.
Dengan sedikit agak kaget juga tapi tanpa perlawanan yang berarti kutuntun dia ke kamarku. Kuajak dia duduk di tepi tempat tidurku. Aku sudah tidak tahan lagi, ini saatnya yang kutunggu-tunggu. Dengan perlahan kubuka kacing bajunya satu persatu, dengan lahapnya kupandangi tubuhnya. Ala mak.. indahnya tubuh ini, kok nggak ada sih laki-laki yang kepengin untuk mencicipinya. Dengan sedikit membungkuk kujilati dengan telaten. Pertama-tama belahan gunung kembarnya. “Ah.. ssh.. terus Ian”, Ibu Vivin tidak sabar lagi, BH-nya kubuka, terpampang sudah buah kembar yang montok ukuran 34 B. Kukecup ganti-gantian, “Aah.. ssh..” dengan sedikit agak ke bawah kutelusuri karena saat itu dia tepat menggunakan celana pendek yang kainnya agak tipis dan celananya juga tipis, kuelus dengan lembut,
“Aah.. aku juga sudah mulai terangsang.
Kusikapkan celana pendeknya sampai terlepas sekaligus dengan celana dalamnya, hu.. cantiknya gundukan yang mengembang.
Dengan lembut kuelus-elus gundukan itu, “Aah..
uh.. ssh.. Ian kamu kok pintar sih, aku juga sudah nggak tahan lagi”,
sebenarnya memang ini adalah pemula bagi aku, eh rupanya Vivin juga
sudah kepengin membuka celanaku dengan sekali tarik aja terlepas sudah
celana pendek sekaligus celana dalamku.
“Oh.. besar amat”, katanya.
Kira-kira 18 cm dengan diameter 2 cm, dengan lembut dia mengelus
zakarku,
“Uuh.. uh.. shh..” dengan cermat aku berubah posisi 69,
kupandangi sejenak gundukannya dengan pasti dan lembut. Aku mulai
menciumi dari pusarnya terus turun ke bawah, kulumat kewanitaannya
dengan lembut, aku berusaha memasukkan lidahku ke dalam lubang
kemaluannya,
“Aah.. uh.. ssh.. terus Ian”, Vivin mengerang.
“Aku juga
enak Vivin”, kataku. Dengan lembut di lumat habis kepala kemaluanku, di
jilati dengan lembut,
“Assh.. oh.. ah.. Vivin terus sayang”, dengan
lahap juga kusapu semua dinding lubang kemaluannya,
“Aahk.. uh.. ssh..”
sekitar 15 menit kami melakukan posisi 69, sudah kepengin mencoba yang
namanya bersetubuh. Kurubah posisi, kembali memanggut bibirnya.
Sudah terasa kepala kemaluanku mencari sangkarnya. Dengan dibantu
tangannya, diarahkan ke lubang kewanitaannya. Sedikit demi sedikit
kudorong pinggulku,
“Aakh.. sshh.. pelan-pelan ya Ian, aku masih
perawan”, katanya.
“Haa..” aku kaget, benar rupa-rupanya dia masih suci.
Dengan sekali dorong lagi sudah terasa licin. Blesst, “Aahk..” teriak
Vivin, kudiamkan sebentar untuk menghilangkan rasa sakitnya, setelah 2
menitan lamanya kumulai menarik lagi batang kemaluanku dari dalam, terus
kumaju mundurkan.
Mungkin karena baru pertama kali hanya dengan waktu 7
menit Vivin.. “Aakh.. ushh.. ussh.. ahhkk.. aku mau keluar Ian”,
katanya.
“Tunggu, aku juga sudah mau keluar akh..” kataku.
Tiba-tiba
menegang sudah lubang kemaluannya menjepit batang kemaluanku dan terasa
kepala batang kemaluanku disiram sama air surganya, membuatku tidak kuat
lagi memuntahkan..
“Crot.. crot.. cret..” banyak juga air maniku
muncrat di dalam lubang kemaluannya.
“Aakh..” aku lemas habis, aku
tergeletak di sampingnya. Dengan lembut dia cium bibirku,
“Kamu menyesal
Ian?” tanyanya.
“Ah nggak, kitakan sama-sama mau.
” Kami cepat-cepat
berberes-beres supaya tidak ada kecurigaan, dan sejak kejadian itu aku
sering bermain cinta dengan Ibu Vivien hal ini tentu saja kami lakukan
jika di rumah sedang sepi, atau di tempat penginapan apabila kami sudah
sedang kebelet dan di rumah sedang ramai. sejak kejadian itu pada diri
kami berdua mulai bersemi benih-benih cinta, dan kini Ibu Vivien menjadi
pacar gelapku.
0 komentar:
Posting Komentar