“Apa yang akan aku lakukan di sini?” pikirku ketika tiba di depan
pintu gerbang villa itu. Villa tersebut terletak di sebuah bukit
terpencil. Untuk sampai di sana kita harus melalui sebuah jalan kecil
yang merupakan jalan pribadi yang menghubungi villa tersebut dengan
jalan utama. Di ujung jalan tersebut kita akan menjumpai sebuah pintu
gerbang yang kokoh terbuat dari besi memagari sebuah bangunan artistik
dikelilingi oleh taman yang asri. Begitu kami mendekati gerbang
tersebut, tiba-tiba 2 orang laki-laki berpotongan rambut pendek dengan
tubuh kekar menghampiri kami. Suamiku segera menyodorkan sebuah kartu
nama yang entah dari mana dia peroleh. Kemudian dengan wajah ramah
mereka membukakan pintu dan mempersilakan kami masuk.
Di dalam pekarangan villa itu kulihat beberapa mobil telah terparkir
di sana dan salah satunya adalah mobil Priyono teman suamiku. Keluarga
kami dan keluarga Priyono memang bersahabat. Umur kami tidak jauh
berbeda sehingga kami mempunyai persamaan dalam pergaulan.
Suamiku seorang pengusaha muda sukses, demikian juga Priyono. Baik
suamiku maupun Priyono mereka sama-sama sibuknya. Mereka kelihatannya
selalu dikejar waktu untuk meraih sukses yang lebih besar lagi bagi
keuntungan bisnisnya. Sehingga boleh dikatakan hidup kami sangat
berlebih sekali akan tetapi di lain sisi waktu untuk keluarga menjadi
terbatas sekali. Hanya pada hari-hari weekend saja kami baru dapat
berkumpul bersama. Dan itu pun apabila suamiku tidak ada urusan
bisnisnya di luar kota.
Keadaan itu dialami juga oleh istri Priyono, Novie. Sehingga antara
aku dan istri Priyono merasa cocok dan akrab satu sama lainnya. Kami
juga selalu mengatur waktu senggang bersama untuk melakukan
pertemuan-pertemuan rutin atau rekreasi bersama. Kebetulan istri
Priyono, juga agak sebaya denganku. Bedanya dia baru berumur tiga puluh
tahun sedangkan aku telah berumur tiga puluh lima tahun. Apalagi
wajahnya masih tetap seperti anak-anak remaja dengan tahi lalat di atas
bibirnya membuat penampilan istri Priyono kelihatan lebih muda lagi.
Selain itu bentuk tubuhnya agak mungil dibandingkan denganku. Badannya
semampai namun berbentuk sangat atletis. Maklumlah selain dia secara
rutin mengikuti kegiatan latihan di salah satu fitness center, dia juga
memang seorang atlet renang. Sehingga warna kulitnya agak
kecoklatan-coklatan terkena sinar matahari.
Berbeda denganku yang berkulit agak putih dengan bentuk tubuh yang
agak lebih gemuk sedikit sehingga buah dada dan pinggulku lebih
kelihatan menonjol dibandingkan dengan istri Priyono. Menurut
pandanganku penampilan istri Priyono manis sekali. Ada suatu daya tarik
tersendiri yang dimilikinya setidak-tidaknya demikian juga menurut
suamiku. Aku tahu hal itu karena suamiku sering membicarakannya dan
malahan pernah bergurau kepadaku bagaimana rasanya sekiranya dia
melakukan hubungan seks dengan istri Priyono.
Pertemuan kami dengan keluarga Priyono pada mulanya diisi dengan
pergi makan malam bersama atau mengunjungi club rekreasi para eksekutif
di setiap akhir pekan. Sekali-sekali kami bermain kartu atau pergi
berdarmawisata. Akan tetapi ketika hal tersebut sudah mulai terasa
rutin, pada suatu saat suamiku dan Priyono mengajak kami untuk ikut
menjadi anggota CAPS.
“Apa artinya itu..?” kataku.
“Artinya adalah Club Arisan Para Suami atau disingkat CAPS, kalau
diucapkan dalam bahasa Inggris jadi kep’es, tuh gagah nggak namanya”,
jawab Priyono.
“Walah, baru tahu sekarang para suami juga kayak perempuan, pakai arisan segala”, kataku.
“Ini arisan bukan sembarang arisan..”, kata Priyono membela diri.
“Dahulu mau dinamakan The Golden Key Club, tapi gara-gara Eddy Tanzil
maka namanya diganti jadi CAPS, Club Arisan Para Suami”, katanya lagi.
“Ya sudah kalau begitu.., kalau arisan para suami kenapa istri perlu dibawa-bawa ikut jadi anggota?” debatku lagi.
“Rupanya belum tahu dia..!” kata Prioyono dalam logat Madura seraya
menunjukkan jempol ke arahku sambil melirik kepada suamiku. Suamiku juga
jadi ikut tertawa mendengar logat Prioyono itu.
“Hei, rupanya pake rahasia-rahasiaan segala ya..!” kataku sambil memukul pundaknya.
“Iya Mbak.., mereka berdua sekarang ini lagi selalu kasak-kusuk saja.
Jangan-jangan memang punya rahasia yang terpendam”, tiba-tiba kata istri
Priyono menimpaliku.
“Eh, jangan marah dulu.. club arisan ini merupakan suatu club yang
ekslusif. Tidak sembarangan orang boleh ikut! Hanya mereka yang
merupakan kawan dekat saja yang boleh ikut dan itu juga harus memenuhi
syarat!”
“Syarat apa..?!”
“Misalnya para anggota harus terdiri dari pasangan suami istri yang sah!
Betul-betul sah.. saah.. saah!” katanya meniru gaya Marisa Haque
diiklan TV.
“Kalau belum beristri atau bukan istri yang sah, dilarang keras untuk
ikut! Oleh karena itu untuk ikut arisan ini perlu dilakukan seleksi yang
ketat sekali dan tidak main-main! Jadi nggak ada yang namanya itu
rahasiaan-rahasiaan..!” kata Priyono lagi.
“Ah kayak mau jadi caleg saja.. pakai diseleksi segala! Nggak mau
sekalian juga pakai Litsus, terus penataran! Arisan ya arisan saja..!
Dimana-mana juga sama! Paling-paling Bapak-bapaknya ngumpul ngobrolin
cewek-cewek dan Ibu-ibunya ngerumpi sambil comot makanan disana-sini..,
akhirnya perutnya jadi gendut dan pulang-pulang jadi bertengkar di rumah
karena dengar gosip ini itu!” kataku.
“Nah, disini masalahnya. Arisan kita itu bukan arisan gosip, tapi arisan yang sip!” kata Priyono.
“Jadi arisan apa pun itu, apa sip, apa sup, apa saham, emas, berlian,
Mercy atau BMW, ya akhirnya semua sama saja.., yang keluar duluan hanya
gosip?” kataku ketus.
“Bukan.., bukan seperti itu. Malahan sebaliknya.., arisan ini justru
bertujuan buat mengharmoniskan kehidupan perkawinan antara suami istri!”
jawab Priyono.
“Lho, untuk itu kenapa mesti arisan..?” kataku lagi.
“Boleh nggak diberi tahu Mas?” kata Priyono sambil melirik kepada suamiku. Suamiku tersenyum sambil mengangguk.
“Begini Mbak, terus terang saja, arisan kita itu bentuknya kegiatan tukar-menukar pasangan”, katanya.
“Pasangan?! Pasangan apa..?” jawabku dengan sangat heran.
“Ya itu, pasangan suami-istri”, tiba-tiba suamiku menyeletuk.
“Mengapa harus ditukar-tukar sih? Dan apanya yang ditukar?” tanyaku
karena aku jadi semakin tidak mengerti atas penjelasan suamiku itu.
“Walah, penjelasannya panjang.., ini kan jaman emansipasi”, kata suamiku.
“Memangnya apa hubungannya dengan jaman emansipasi!” aku menyela kata-kata suamiku.
“Begini.., kegiatan club ini sebenarnya bertujuan untuk mengharmoniskan kehidupan suami istri dalam rumah tangga”, kata suamiku.
“Jadi..”
“Jadi.., jadi ya kau ikut saja dulu deh! Nanti baru tahu manfaatnya!” kata Priyono menyeletuk.
“Nggak mau ah kalau hanya ikut-ikutan!”
“Begini Neng!” kata suamiku. “Singkatnya menurut pandangan para pakar
seksualogi dalam kehidupan perkawinan seseorang pada saat-saat tertentu
terdapat suatu periode rawan dimana dalam periode tersebut kehidupan
perkawinan seseorang itu mengalami krisis. Krisis ini apabila tidak
disadari akan menimbulkan bencana yang besar yaitu tidak adanya
kegairahan lagi dalam kehidupan perkawinan. Apabila tidak ada kegairahan
lagi antara suami-istri biasanya akan membawa akibat yang fatal”, kata
suamiku lagi.
“Misalnya bagaimana?”
“Ya dalam kehidupan perkawinan itu secara tidak disadari timbul
kejenuhan-kejenuhan. Kejenuhan yang paling utama dalam periode tersebut
biasanya dalam masalah hubungan badan antara suami istri, pada periode
tersebut hubungan seks antara suami-istri tidak lagi menyala-nyala
sebagaimana pada masa setelah pengantin baru.
Kedua belah pihak biasanya telah kehilangan kegairahan dalam hubungan
mereka di tempat tidur yang disebabkan oleh berbagai faktor. Hubungan
badan suami istri tersebut akhirnya terasa menjadi datar dan hanya
merupakan suatu hal yang rutin saja. Untuk mengatasi hal itu bagi para
pasangan suami istri perlu mendapatkan penggantian suasana, khususnya
suasana dalam hubungan di tempat tidur”, kata suamiku.
“Ah itu kan hanya alasan yang dicari-cari saja.., bilang saja kalau sudah bosan dengan istri atau mau cari yang lain!” kataku.
“Nah, disinilah memang letak masalahnya.., yaitu ‘kebosanan’.., dan
‘wanita lain’. Hal itu sangat betul sekali.., karena ‘kebosanan’
merupakan sifat manusia, sedangkan ‘keinginan kepada wanita lain’ secara
terus terang itu merupakan sifat naluri kaum laki-laki secara umum,
disadari atau tidak disadari, diakui atau tidak diakui, mereka mempunyai
naluri poligamis, yaitu berkeinginan untuk melakukan hubungan badan
tidak dengan satu wanita saja. Akan tetapi sifat-sifat ini justru
merupakan ’sumber konflik utama’ dari krisis kehidupan perkawinan
seseorang! Nah!, hal inilah yang akan dicegah dalam kegiatan club itu!”
“Jelasnya bagaimana?” kataku.
“Apabila seorang suami menuruti naluri kelaki-lakiannya itu, maka dia
cenderung akan melakukan penyelewengan dengan wanita lain secara
sembunyi-sembunyi. Mengapa..? Karena dia tahu hal itu akan merupakan
sumber konflik dalam rumah tangga yang sangat berbahaya.
Pertama-tama karena dia tahu istri tidak menyetujuinya, oleh karena
itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, yang kedua hal itu membuat suatu
keadaan yang tidak adil dalam kehidupan suami-istri. Kalau suaminya
bisa merasakan orang lain, untuk mendapatkan kenikmatan seksual yang
lain daripada istrinya, kenapa istrinya tidak..!”
“Apakah memang demikian problem dari sebuah perkawinan? Aku kira
bukan hanya soal seks saja yang menjadi konflik dalam hubungan suami
istri, namun juga tentunya ada unsur lainnya!” kataku berargumentasi.
“Tidak salah pendapatmu! Memang benar dalam suatu perkawinan banyak
unsur yang mempengaruhinya, akan tetapi dalam perkawinan hanya ada dua
unsur saja yang paling dominan, ibarat kopi dengan susunya!” kata
suamiku.
“Apa hubungan perkawian dengan kopi susu?” tanyaku agak heran.
“Begini..” kata suamiku selanjutnya. “Dalam suatu perkawinan sebenarnya
merupakan campuran antara dua unsur yang sangat berbeda, yaitu antara
unsur ‘cinta’ dan unsur ‘kenikmatan seks’.
Kedua unsur ini saling melengkapi dalam hubungan perkawinan
seseorang. Unsur cinta adalah merupakan faktor yang dominan yang
merupakan faktor utama terjalinnya suatu ikatan batin antara dua insan
yang berlainan jenis. Unsur cinta ditandai dengan adanya kerelaan
pengabdian dan pengorbanan dari masing-masing pihak dengan penuh
keihlasan dan tanpa mementingkan egoisme dalam diri pribadi.
Sedangkan unsur kenikmatan seks adalah merupakan unsur penunjang yang
dapat memperkokoh dan mewarnai unsur cinta tersebut. Unsur ini ditandai
dengan manifestasi adanya keinginan melakukan hubungan hubungan tubuh
dari dua insan yang berlainan jenis, adanya kobaran nafsu birahi serta
adanya keinginan dari masing-masing pihak untuk mendominasi pasangannya
secara egois.
Adanya nafsu birahi ini dalam diri kita sebagai mahluk alam adalah
wajar dan bukan sesuatu yang memalukan. Nah.., kedua unsur tadi apabila
kita ibaratkan seperti minuman tidak bedanya sebagai ‘kopi’ dengan
’susunya’. Unsur cinta dapat diibaratkan sebagai kopi dan unsur
kenikmatan seks dapat diibaratkan sebagai susunya. Kedua unsur yang
saling berbeda ini dapat dinikmati dengan berbagai cara. Apakah ingin
dicampur sehingga menjadi sesuatu yang baru yang lain rasanya daripada
aslinya atau dinikmati secara sendiri-sendiri sesuai dengan rasa
aslinya!”
“Jadi apa hubungannya dengan arisanmu sekarang?”
“Nah, arisan ini bertujuan untuk membuat keadaan yang adil dan berimbang
di antara suami dan istri.
Kedua-duanya harus mempunyai hak yang sama
dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan
tuntutan dari wanita itu
sendiri untuk beremansipasi.
Dan hak itu tidak terkecuali walaupun dalam hubungan seks, para istri
juga harus diberi kesempatan yang sama seperti para suami. Para istri
juga harus dapat memilih kehendaknya, apakah sewaktu-waktu dia ingin
minum ‘kopinya’ saja, atau ’susunya’ saja, atau ‘kopi susunya’.
Masalahnya sekarang, bagaimana mewujudkan hal itu. Kalau dilakukan oleh
para suami atau para istri itu secara sendiri-sendiri, maka akan menjadi
kacau dan malahan tujuannya mungkin tidak akan tercapai. Oleh karena
itu perlu diusahakan secara terorganisir. Yang paling gampang ya, dalam
bentuk kegiatan arisan seperti ini”, kata suamiku.
“Iya Mbak, siapa tahu akhirnya para istri juga akan dapat
menikmatinya.., eh malahan jangan-jangan jadi lebih doyan!” kata Priyono
menimpali komentar suamiku.
“Ah, kau kayak bensin saja.., langsung nyamber!” kataku.
“Kalau begitu bukankah hal itu juga merupakan suatu penyelewengan dalam perkawinan?” tiba-tiba kata istri Priyono berkomentar.
“Tentu saja bukan..! Karena apa definisi menyeleweng itu? Seseorang itu
dikatakan menyeleweng apabila dia melakukan hal di luar pengetahuan
pasangannya.
Atau dengan kata lain dia melakukan itu secara sembunyi-sembunyi
sehingga pasangannya tidak tahu dan tidak pernah menyetujuinya.
Berlainan dengan kegiatan ini. Semuanya terbuka dan melalui persetujuan
bersama antara kedua pasangan suami-istri itu”, jawab suamiku.
Pada akhirnya setelah menjalani debat yang panjang dalam forum resmi
maupun tidak resmi, aku dan istri Priyono mengalah. Resolusi para suami
itu kami terima dengan catatan kami ikut dalam kegiatan club ini
semata-mata hanya untuk sekedar ingin tahu saja dan tidak ada tujuan
lain yang lebih dari itu. Selain daripada itu kami mengalah untuk
membuat hati para suami senang. Oleh karena itulah malam ini akhirnya
aku berada di tempat ini.
Aku mengenakan gaun dari bahan satin yang agak tipis yang agak ketat
melekat di tubuhku. Aku mengenakan gaun ini adalah juga atas anjuran
suamiku. Suamiku berkata bahwa aku sangat menarik apabila mengenakan
pakaian yang agak ketat dan terbuka. Aku kira pendapat suamiku benar,
karena dengan memakai gaun ini aku lihat bentuk tubuhku jadi semakin
nyata lekak-lekuknya. Apalagi dengan model potongan dada yang agak
rendah membuat pangkal buah dadaku yang putih bersih kelihatan agak
tersembul keluar membentuk dua buah bukit lembut yang indah.
Tidak berapa lama kami berdiri di depan pintu, seseorang membuka pintu dan langsung menyalami kami.
“Selamat datang dan selamat malam”, katanya langsung sambil menyalami kami.
“Perkenalkan saya Djodi, tuan rumah di sini, dan ini istriku.., panggil
saja Siska!” katanya langsung memperkenalkan seorang wanita yang
tiba-tiba muncul.
Dandanannya agak menor untuk menutupi kerut wajahnya yang sudah
dimakan usia. Tapi secara keseluruhan bentuk tubuhnya masih boleh
jugalah. Buah dadanya subur walaupun perutnya kelihatan agak gendut.
Kelihatannya dia itu seorang keturunan Cina. Selanjutnya kami
dipersilakan masuk ke dalam ruangan tamu.
Suasana dalam ruangan itu kudapati biasa-biasa saja. Di sudut-sudut
ruangan terdapat makanan kecil dan buah-buahan. Di sudut lainnya ada
sebuah bar yang kelihatan lengkap sekali jenis minumannya. Sementara itu
suara iringan musik terdengar samar-samar mengalun dengan lembut dari
ruang tamu yang besar. Yang membedakannya adalah para tamunya.
Kelihatannya tidak begitu banyak, kuhitung hanya ada belasan orang dan
wanitanya semua berdandan secantik mungkin dengan pakaian yang lebih
seksi daripada yang kukenakan. Demikian juga aku tidak melihat seorang
pelayan pun atau petugas catering yang biasanya mengurusi konsumsi dalam
pesta-pesta yang diadakan di rumah-rumah mewah seperti ini.
“Silakan.. help your self saja”, kata nyonya rumah kepada kami dalam
bahasa Inggris logat Cina Singapore. “Memang sengaja para pembantu
semuanya sudah disuruh ngungsi.., you know kan, agar privacy kita tidak
terganggu!” katanya lagi dengan suara yang genit.
Kami segera berbaur dengan pasangan-pasangan lainnya yang sudah ada
di sana. Priyono dan istrinya sedang mengobrol dikelilingi beberapa
pasangan lainnya. Aku lihat istri Priyono benar-benar sangat menarik
sekali malam itu dengan pakaiannya yang agak tembus pandang membuat mata
kita mau tidak mau akan segera terjebak untuk memperhatikannya dengan
seksama, apakah dia memakai pakaian dalam di balik itu. Sehingga dalam
pakaian itu dia tidak saja kelihatan sangat cantik akan tetapi juga
seksi.
Melihat penampilan istri Priyono, suamiku jadi sangat antusias
sekali. Dia terus memperhatikan istri Priyono tanpa mempedulikanku lagi.
Sikap suamiku yang demikian menimbulkan juga rasa cemburu di hatiku.
Jadi benar dugaanku, rupanya suamiku benar tertarik kepada istri
Priyono. Pantas saja dia sering memujinya bahkan sering mengatakan
kepadaku secara bergurau bagaimana rasanya kalau berhubungan kelamin
dengan istri Priyono.
Tidak berapa lama kemudian tuan rumah beserta istrinya menghampiri
kami. “Mari kita ambil minum dahulu”, katanya sambil langsung menuju
bar. Salah seorang tamu kemudian bertindak sebagai bar tender. Dengan
cekatan dia membuatkan minuman yang dipilih masing-masing orang dan
kebanyakan mereka memilih minuman yang bercampur akohol. Kecuali aku dan
istri Priyono. Aku memang tidak begitu tahan terhadap minuman
beralkohol.
“Anda minum apa?” tanyanya kepadaku dan istri Priyono.
“Coca cola saja..!” kataku.
“Pakai rum, bourbon atau scotch?” “Terima kasih.., coca cola saja..!”
“Oo, di sini tidak boleh minum itu! Itu termasuk minuman kedua yang
dilarang di sini..!” katanya dalam nada yang jenaka. “Minuman pertama
yang dilarang adalah cola atau lainnya yang dicampur dengan Baygone!
Yang kedua minuman yang anda pilih tadi, jadi mau tidak mau harus
dicampur sedikit dengan rum atau lainnya. Saya kira ‘rum and cola’ cocok
untuk anda berdua!” katanya lagi sambil terus mencampur rum dan segelas
cola serta menaruh es batu ke dalamnya.
“Ini.., cobalah dahulu.., buatan bar tender terkenal!” katanya sambil menyodorkan gelas itu kepada kami.
Selesai membuat minuman dia segera bergabung dengan kami.
“Anda cantik sekali dengan busana ini”, katanya seraya memegang pundakku yang terbuka.
Aku agak menjauhinya seketika karena kukira dia mabuk. Tapi sesungguhnya hal itu disebabkan aku tidak terbiasa beramah-ramah dengan seorang pria asing yang belum kukenal benar.
Aku agak menjauhinya seketika karena kukira dia mabuk. Tapi sesungguhnya hal itu disebabkan aku tidak terbiasa beramah-ramah dengan seorang pria asing yang belum kukenal benar.
“Terima kasih”, kataku berusaha menjawabnya.
“Dada anda bagus sekali”, katanya sambil menatap dalam-dalam ke arah belahan dada gaunku.
Dia diam sejenak. Kemudian dia mulai memperhatikanku secara khusus.
Kelihatannya dia sedang menilaiku. Aku dapat membacanya dari senyumnya
yang tersembunyi. Apabila waktu yang lalu ada seorang laki-laki yang
memandang diriku secara demikian maka suamiku mungkin akan segera
mengirimkan bogem mentah kepadanya.
Aku pun kemudian mulai memperhatikan penampilannya. Aku berpikir
apakah dia laki-laki yang akan meniduriku nanti? Tidak begitu jelek
juga, pikirku. Tinggi badannya kira-kira 170 cm, dengan bahu yang bidang
dan wajah yang ramah menarik. Aku berpikir rupanya dalam club ini untuk
dapat tidur dengan seorang wanita tidak berbeda bagaikan akan membeli
seekor sapi saja. Namun secara tidak disadari aku menyukai juga
ucapannya itu terutama datangnya dari seorang pria yang tidak aku kenal
dan di hadapan suamiku. Kuharap dia dengar kata-kata itu. Kata-kata itu
ditujukan kepadaku, bukan kepada istri Priyono. Ya, pada saat itu aku
merasa agak melambung juga walaupun hanya sedikit.
Aku segera menghabiskan minumanku. Aku memang selalu berbuat itu,
akan tetapi rupanya dia mengartikannya lain bahwa aku ingin segera
memulai sesuatu.
“Jangan terburu-buru!” katanya.
“Kita belum lagi tahu cottage mana yang akan anda tempati”, katanya
sambil menambah minumanku.
“Akan tetapi saya senang sekali apabila nanti
kita dapat tempat yang sama dan segera ke sana.” bisiknya.
Aku menjadi agak terselak seketika. Hal ini disebabkan bukan hanya aku
kaget mendengar bisikannya itu, tetapi juga minumanku terasa sangat
keras sehingga kepalaku langsung terasa mulai berat.
“Saya benar-benar baru pertama kali mengikuti pertemuan ini”, tiba-tiba aku berkata secara spontan.
“Ohh”, katanya agak kaget. Kemudian dia menatapku dengan pandangan yang menyesal.
“Saya harap kata-kata saya tadi tidak menyinggung anda.” bisiknya dengan nada minta maaf.
“Sungguh.. sungguh tidak”, kataku sambil memberikan senyuman.
Tidak berapa lama kemudian tuan rumah mengumumkan akan melakukan
penarikan nomor arisan. Semula aku mengira tuan rumah akan menarik nama
pasangan yang akan mendapat arisan bulan ini sebagaimana arisan-arisan
biasa lainnya. Akan tetapi dugaanku meleset. Mula-mula tuan rumah
meminta kami untuk berkelompok secara terpisah antara suami istri. Para
suami membuat kelompok sendiri dan para istri juga membuat kelompok
sendiri. Selanjutnya kami masing-masing diminta mengambil amplop kecil
dalam dua buah bowl kristal yang berbeda yang diletakkan pada
masing-masing kelompok. Satunya untuk para suami dan satunya lagi untuk
para istrinya. Amplop kecil tersebut ternyata berisi sebuah kunci dengan
gantungannya yang bertuliskan sebuah nomor.
Aku bertanya kepada wanita di sebelahku yang kelihatan sudah biasa dalam kegiatan ini.
“Kunci ini adalah kunci cottage yang ada di sekitar villa ini..”
katanya. “Jadi nanti kita cocokkan nomor yang ada di kunci itu dengan
nomor bungalow atau kamar di sana.”
“Terus..” kataku selanjutnya.
“Terus..!?” katanya sambil memandang kepadaku dengan agak heran.
“Terus..? Oh ya.., kita tunggu saja siapa yang dapat kunci dengan nomor
yang sama!”
Tiba-tiba hatiku menjadi kecut. Aku tidak dapat membayangkan apa yang
akan dilakukan dalam cottage itu. Apalagi hanya berduaan dengan
laki-laki yang bukan suami kita.
“Jadi kita hanya dengan berdua dalam cottage itu?”
“Ya, karena kuncinya sudah pas sepasang-sepasang!”
“Jadi kita tidak tahu siapa yang dapat kunci dengan nomor yang sama dengan nomor kita?” kataku untuk menegaskan dugaanku.
“Ya, memang sekarang ini sistemnya berbeda. Dahulu pada waktu club ini
disebut The Golden Key Club memang kita bisa ketahui karena para
pesertanya mula-mula berada dalam sebuah kamar masing-masing.
Jadi kita tahu siapa di kamar nomor berapa. Kemudian baru para suami
keluar dan saling tukar menukar kunci kamar mereka dimana para istrinya
berada di dalamnya. Sekarang sistem itu telah dirubah. Karena dengan
sistem itu ada anggota yang suka curang. Dia memilih pasangan yang
diincarnya sehingga timbul komplain dari anggota yang lain. Sekarang
masing-masing pasangan mengambil kunci kamar secara diundi dan
disaksikan oleh semua anggota. Sehingga sekarang lebih fair karena
anggota tidak dapat memilih pasangannya yang diincar terlebih dahulu.
Kelemahannya dalam sistem ini ada kemungkinan pasangan suami-istri itu
juga akan mendapatkan nomor yang sama. Kalau sudah begitu ya nasibnya
lah.., kali ini dia tidak dapat apa-apa.”
Sekarang aku baru mengerti mengapa club ini dahulu dinamakan The
Golden Key Club. Selesai kami mengambil kunci semua berkumpul kembali di
ruang tamu. Tuan rumah meminta kami untuk mengambil gelas sampanye
masing-masing kemudian kami bersulang. Aku mereguk sampanye itu
sekaligus sehingga kepalaku kini terasa semakin berat.
“Dapat nomor berapa?” kata suamiku yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.
“Nomor delapan..!” jawabku.
“Untung..! ”
“Kenapa untung?”
“Ya untung tidak dapat nomor yang sama.., nomorku duabelas!” katanya.
“Itu bukan untung tapi cilaka.., cilaka duabelas namanya!”
“Ya tapinya untung juga..!” jawab suamiku.
“Kenapa..?”
“Untung bukan cilaka tigabelas!” jawabnya sambil tertawa.
“Sudah percuma berdebat di sini..!” kataku. “Eh kalau Novie dapat nomor berapa ya?” kataku lagi.
“Iya ya.., nomor berapa dia, tolong kau tanyakan dong!”
Rupanya aku tidak usah berpayah-payah mencari Novie karena tiba-tiba Priyono dan istrinya sudah berada di dekat kami.
“Eh, kamu dapat nomor berapa?” aku berbisik kepada Novie. “Nomor duabelas Mbak..” jawabnya.
Aku jadi terhenyak. Jadi maksud suamiku untuk meniduri istri Priyono
kini tercapai. Aku segera memberi isyarat kepada suamiku bahwa nomornya
sama dengan nomor dia. Suamiku kelihatan berseri-seri sekali ketika
menerima isyaratku. Aku jadi agak cemburu lagi melihat tingkahnya. Dia
bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti irama musik yang mengalun di ruangan
itu.
Tidak berapa lama kemudian lampu-lampu di seluruh ruangan itu mulai
meredup. Ruangan itu kini menjadi agak gelap dan alunan musik berirama
slow terdengar lebih keras lagi. Suasana dalam ruangan itu kini jadi
lebih romantis. Aku lihat beberapa pasangan yang mulai berdansa tapi
kebanyakan dari mereka menyelinap satu persatu, mungkin menuju
cottage-nya masing-masing, tapi ada juga yang masih duduk-duduk
mengobrol di sofa.
Tiba-tiba Priyono mengajakku untuk berdansa. Dan sudah barang tentu
suamiku segera juga mengajak istri Priyono berdansa. Ketika kami
berdansa Priyono mendekapku erat-erat. Begitu sangat eratnya sehingga
seolah-olah kami dapat mendengar degub jantung di dada masing-masing.
“Kamu dapat nomor berapa?” tiba-tiba Priyono berbisik di telingaku.
“Nomor delapan!” jawabku.
“Ah, sayang..”
“Mengapa?” kataku lagi.
“Aku nomor enam!” katanya lagi.
“Siapa itu..?” tanyaku.
“Aku dengar sih Nyonya Siska, istrinya tuan rumah!”
“Wah, enak dong.., orangnya sintal, mungkin tiga hari nggak habis dimakan!” kataku berseloroh.
“Jangan ngeledek ya..!” katanya.
“Memangnya kenapa..? Kan betul orangnya sintal!”
“Potongan seperti itu bukan typeku!” katanya.
“Typemu seperti apa sih?” kataku.
“Seperti kamu..!” katanya lagi sambil terus mendusal-dusal leherku.
Aku jadi agak bergelinjang juga leherku diciumi Priyono sedemikian
rupa. Selama kami bergaul belum pernah dia melakukan hal yang tidak
senonoh denganku. Dia sangat sopan terhadapku. Tapi malam ini tiba-tiba
saja dia berbuat itu. Apakah karena pengaruh alkohol yang dia minum tadi
atau memang selama ini dia juga mempunyai perasaan yang terpendam
terhadap diriku. Perasaanku kini jadi melambung kembali. Ditambah dengan
pengaruh alkohol yang aku minum tadi, aku merasakan adanya gairah
birahi yang timbul dalam diriku ketika berdekapan Priyono sehingga aku
pasrah saja leherku didusal-dusalnya.
“Eh, kau ngerayu, atau mabok..? Kenapa dari dulu-dulu nggak bilang!”
kataku sambil terus mendekapkan tubuhku lebih erat lagi sehingga buah
dadaku terasa menyatu dengan dadanya.
“Malu sama suamimu!”
“Kenapa malu.., dia sendiri juga sering cerita bahwa dia suka sama istri
kamu, eh sekarang dia dapat nomor kamar istrimu lagi!” kataku lagi.
“Oh ya..?” kata Priyono. “Kalau aku dulu bilang.., kau terus mau apa?”
“Tentunya kita nggak usah payah-payah ikut arisan di sini.. di rumah saja!”
“Ah, kau..!” katanya sambil terus menempelkan pipinya ke pipiku.
Selanjutnya begitu irama musik hampir selesai, tiba-tiba Priyono meraih
wajahku dan langsung mengecup bibirku dengan lembut.
Ketika kami kembali ke tempat semula kudapati suamiku dan istri
Priyono sudah tidak ada di sana. Aku pikir mereka sudah tidak sabar lagi
dan masuk ke cottagenya ketika kami sedang berdansa tadi. Baru saja
kami duduk tiba-tiba sepasang suami istri datang menghampiri kami dan
mengulurkan tangannya.
“Saya Alex.., dan ini istri saya Mira”, katanya memperkenalkan diri.
Priyono dan aku menyebutkan nama kami masing-masing. Selanjutnya kami berbasa-basi berbincang-bincang sejenak.
“Anda dapat nomor berapa?” dia bertanya kepada Priyono.
“Enam!” jawab Priyono singkat.
“Saya nomor delapan dan istri saya nomor enambelas” katanya.
Aku jadi tersentak seketika, demikian juga Priyono.
“Itu adalah nomorku”, kataku. “Oh ya!” kata Alex agak kaget. “Saya kira
anda berdua sudah bernomor sama.., tapi anda kan bukan pasangan suami
istri?” katanya lagi.
“Ya..!” kataku hampir serempak.
Kemudian dia berpaling kepada Priyono dan mengamit lengannya menjauhi kami.
“Bolehkah kita bernegosiasi..” bisiknya kepada Priyono.
“Saya lihat anda senang sekali dengan nomor delapan.
Sebenarnya saya juga senang dengan penampilannya, akan tetapi saya
sudah mempunyai janji dengan nomor enam. Bagaimana kalau kita bertukar
nomor? Anda mengambil nomor delapan dan saya nomor enam. Sedangkan istri
saya memang sudah sesuai dengan nomor enambelas yang juga kebetulan
tuan rumah kita. Memang hal ini tidak diperbolehkan apabila ada anggota
lainnya yang tahu. Tapi saya harap hal ini hanya di antara kita saja.”
Bagaikan mendapatkan durian runtuh, Priyono segera saja mengiyakan. Kemudian kulihat mereka bertukar nomor kunci.
“Oh, dear!” kata Alex. “Kali ini saya tidak akan menginterupsi
kalian. Lain kali saya harap saya dapat nomor anda lagi!” Kemudian dia
melingkarkan tangannya ke tubuhku dan memberikan sebuah kecupan kecil di
bibirku. Selanjutnya tidak ayal lagi Priyono segera memegang tanganku
dan menuntunku menuju cottage nomor delapan.
Ketika kami memasuki pintu cottage itu aku berpikir di sinilah
kemungkinan awalnya perubahan hidupku. Seumur hidupku aku belum pernah
melakukan hubungan badan dengan laki-laki lain kecuali dengan suamiku
sendiri, akan tetapi hal itu akan berubah dalam waktu beberapa menit
ini. Aku akan menjadi seorang istri yang serong dan semuanya ini
disebabkan oleh ulah suamiku sendiri. Apakah ada orang yang akan percaya
mengenai hal itu? Secara jujur begitulah keadaanku dan itulah apa yang
kupikirkan waktu itu. Aku tahu dengan ini aku memberikan suamiku semacam
kepuasan seks lain sebagaimana yang dia inginkan.
Begitu memasuki cottage itu Priyono langsung merangkulku dan mulai
menghujani wajahku dengan kecupan-kecupan kecil. Dia kelihatan begitu
sangat bernafsu sekali terhadap diriku. Aku benar-benar tidak menyangka
Priyono dapat bersikap seperti itu. Selama ini kukenal dia wajar-wajar
saja apabila bertemu denganku. Apakah pada acara-acara rutin kami atau
kesempatan lainnya. Kupikir apakah hal itu akibat pengaruh alkohol yang
diminumnya tadi atau mungkin juga memang sejak dahulu dia sudah
mempunyai minat yang besar terhadap diriku namun dia terlalu sopan untuk
mengungkapkannya dalam kesempatan yang biasa.
Tidak berapa lama kemudian tangannya segera menyusup ke balik
busanaku yang memang berpotongan rendah dan menjalar menelusuri
punggungku. Tiba-tiba kusadari betapa nikmatnya itu semua. Aku merasakan
suatu hal yang luar biasa yang belum pernah kualami sebelumnya, aku
merasa bagaikan kembali pada saat-saat dimana aku mengalami ciuman yang
pertama dari seorang laki-laki. Hanya kini rasa sensasi yang muncul
dalam diriku aku rasakan tidak asing lagi. Aku ingin segera ditiduri.
Ketika bibirnya menempel di bibirku aku pun langsung melumatnya
dengan kuat. Selanjutnya dia merenggangkan mulutku dan mendorongkan
lidahnya di antara gigiku mencari-cari lidahku yang segera kujulurkan
untuk menyambutnya. Sungguh merupakan suatu ciuman yang panjang dan lama
sekali. Selanjutnya dengan segera tangannya mulai meraba daerah sekitar
buah dadaku. Aku mempunyai suatu kelemahan mengenai buah dadaku, aku
maksudkan buah dadaku sangat sensitif sekali. Begitu buah dadaku
tersentuh maka praktis akan membuatku terus bergelinjang. Oleh sebab itu
ketika tangannya menyentuh langsung puting susuku maka aku menjadi
bergelinjang dan meliuk-liuk dengan liarnya. Jari-jariku menghujam di
punggungnya menahan suatu perasaan yang sangat dahsyat.
Pada saat tubuh kami terlepas satu sama lainya, nafas kami pun
memburu dengan hebat. Dia mulai meneliti busanaku mencari kancing atau
pun reitsleting untuk segera melepaskan busana itu dari tubuhku. Akan
tetapi busanaku memang hanya mempergunakan karet elastis saja, maka
dengan mudah aku segera melepaskan busana itu melalui kepala. Aku tidak
mengenakan apa-apa lagi di balik busanaku itu kecuali dua carik pakaian
dalam model bikini yang tipis dengan warna yang senada dengan kulitku.
“Saya senang dengan puting susu yang besar”, katanya sambil menyentuh
puting susuku dengan lembut. “Karena cukup untuk menyusui anaknya dan
sekaligus bapaknya.” Aku tidak menjawab. Kupikir dalam kesempatan
seperti ini dia masih saja bisa berkelakar. Akan tetapi sebenarnya saat
itu aku juga ingin berkata kepadanya bahwa aku juga ingin segera
menyaksikan bagaimana bentuk tubuh aslinya di balik kemeja dan
pantalonnya itu. Namun aku merasa masih sangat malu untuk berkata secara
terus terang. Rupanya dia dapat membaca apa yang ada dalam pikiranku.
Sehingga selanjutnya kudapati dia mulai membuka kancing kemejanya dan
melepaskan kemeja itu dari tubuhnya.
Aku masih teringat bagaimana bentuk dadanya itu dan bagaimana ketika
dia memperlakukan diriku. Dadanya kecoklat-coklatan hampir berwarna sawo
matang penuh ditumbuhi dengan bulu dada keriting berwarna hitam di
tengahnya. Otot-ototnya pun semua kelihatannya sangat kokoh dan
seimbang. Ingin rasanya aku menyentuhkan wajah serta puting susuku ke
dadanya, dan tidak berapa lama kemudian secara tidak kusadari aku telah
melakukan hal itu. Aku mengecup dadanya kemudian puting susunya. Betapa
aku menggali kenikmatan dari itu semua.
Ketika aku merapatkan tubuhku ke tubuhnya, aku dapat merasakan
gumpalan alat kejantanannya di balik pantalonnya yang sudah menjadi
besar dan keras sekali. Dia menggesek-gesekkan alat kejantanannya
tersebut ke tubuhku yang hanya mengenakan BH serta celana dalam nylon
yang tipis. Sementara itu tangannya telah menyusup ke balik celana
dalamku menelusuri daerah sekitar pantatku dan meremas-remasnya dengan
kuat daging pantatku yang lembut dan berisi. Selanjutnya dengan serta
merta dia melucuti celana dalamku ke bawah kakiku, sementara aku pun
merasa semakin bergelinjang dengan hebatnya. Segera saja kulemparkan
celana dalam itu dengan kakiku jauh-jauh dari tubuhku. Dia pun kini
melepaskan BH-ku sehingga kini tubuhku benar-benar berada dalam keadaan
bertelanjang bulat berdiri di hadapannya.
Kemudian Priyono agak menjauh beberapa saat untuk menurunkan
reitsleting calananya. Begitu reitsleting diturunkan dalam sekejap
pantalonnya pun juga ikut tergusur ke bawah. Dan sudah barang tentu
pemandangan selanjutnya yang kusaksikan adalah sebuah alat kejantanan
yang sangat besar dan gempal sedang berdiri dengan tegaknya menentang
diriku.
Aku tidak melihat banyak perbedaan dengan bentuk alat kejantanan
suamiku, akan tetapi yang mengesankan adalah alat kejantanan yang
kulihat sekarang adalah milik seorang laki-laki lain walaupun dia
sahabat suamiku. Seumur hidupku aku belum pernah menyaksikan alat
kejantanan seorang laki-laki dewasa yang begitu dekat jaraknya dengan
tubuhku kecuali alat kejantanan suamiku sendiri, apalagi aku sendiri
dalam keadaan bertelanjang bulat, dan tidak berapa lama lagi dia akan
menyetubuhi diriku dengan alat tersebut. Sehingga secara tidak sadar
kurasakan timbul suatu keinginan dalam diriku untuk segera memegang
bahkan menghisap alat kejantanan itu, akan tetapi sekali lagi aku masih
tidak mempunyai keberanian melakukan hal itu.
Selanjutnya Priyono meraih dan membopong tubuhku yang telah
bertelanjang bulat itu ke atas tempat tidur. Aku segera telentang di
sana dengan segala kepolosan tubuhku menanti kelanjutan dari dari
kesemuanya itu dengan pasrah. Akan tetapi rupanya Priyono belum mau
memasukkan alat kejantanannya ke liang kewanitaanku. Dia masih tetap
saja berdiri menikmati pemandangan keindahan tubuhku dengan pandangan
yang penuh dengan kekaguman.
Tatapan mata Priyono ke seluruh tubuhku yang bugil di lain keadaan
juga menumbuhkan semacam perasaan erotis dalam diriku. Aku merasakan
adanya suatu kenikmatan tersendiri bertelanjang bulat di hadapan seorang
laki-laki asing yang bukan suamiku sendiri dan memperlihatkan seluruh
keindahan lekuk tubuhku yang selama ini hanya disaksikan oleh suamiku
saja. Sehingga secara tidak sadar kubiarkan tubuhku dinikmati mata
Priyono dengan sepuas-puasnya. Malahan ketika tatapan mata Priyono
menyapu bagian bawah tubuhku secara reflek aku renggangkan keduabelah
pahanya agak lebar seakan-akan ingin memberikan kesempatan yang lebih
luas lagi kepada mata Priyono untuk dapat menyaksikan bagian dari
tubuhku yang paling sangat rahasia bagi seorang wanita.
Puas menikmati keindahan tubuhku kini tangan Priyono mulai sibuk di
seluruh tubuhku. Tangannya mulai meraba dan meremas seluruh bagian
tubuhku yang sensitive. Mulai dari buah dadaku yang subur berisi sampai
pada liang senggamaku yang ditumbuhi oleh bulu-bulu halus yang sangat
lebat. Aku menjadi tambah bergelinjang dan tubuhku terasa bergetar
dengan hebat. Secara tidak sadar aku mulai menggoyang-goyangkan
pinggulku dengan hebat. Liang senggamaku tambah berdenyut dengan hebat
dan terasa licin dengan cairan yang keluar dari dalamnya. Aku heran
bagaimana seorang laki-laki yang bukan suamiku dapat membuat diriku
menjadi sedemikian rupa. Tidak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa aku
dapat merasakan gelinjang birahi yang sedemikian hebat dari laki-laki
lain yang bukan suamiku.
Tidak berapa lama kemudian dia berlutut di depanku dan merenggangkan
kedua belah pahaku lebih lebar lagi. Selanjutnya dia merangkak di antara
kedua belah pahaku dan menatap langsung ke arah alat kewanitaanku. Lalu
dia membungkukkan tubuhnya agak rendah dan mulai menciumi pahaku yang
lama kelamaan semakin dekat ke arah liang kenikmatanku. Kembali aku
merasakan suatu sensasi yang hebat melanda diriku. Aku benar-benar
merasa semakin bertambah liar.
Aku berteriak liar dengan suara yang sukar dipercaya bahwa itu keluar
dari mulutku. Bagaikan serigala yang ganas Priyono segera melumat
habis-habisan alat kewanitaanku. Mula-mula dia menjulurkan lidahnya dan
mulai menyapu klitorisku dengan sangat halus sekali namun cukup untuk
membuatku menjadi lupa daratan. Pinggulku secara otomatis mulai bergerak
turun naik bagaikan dikendalikan oleh sebuah mesin dalam tubuhku.
Priyono kemudian menurunkan lidahnya lebih ke bawah lagi dan membuat
putaran kecil di sekitar liang senggamaku dan akhirnya dia sorongkan
lidahnya dengan mahir ke dalamnya. Aku merasakan darahku menggelegak.
Lidahnya terus keluar masuk berputar-putar menari-nari. Betapa tingginya
seni permainan lidahnya itu tidak dapat kulukiskan dengan kata-kata.
Lebih jauh dari itu aku tidak tahan lagi dan aku langsung mencapai
puncak orgasme yang hebat.
“Sudah.. sudahlah”, akhirnya aku berkata. Priyono tetap meneruskan
melahap liang senggamaku. Sementara itu aku terus-menerus mengalami
orgasme bertubi-tubi namun pada akhirnya dia berhenti juga. Dan pada
saat dia mengambil posisi untuk menyetubuhi diriku, aku segera bangkit
dan kini tanpa merasa risih lagi aku segera meraih alat kejantanannya
yang hangat berwarna kemerah-merahan lalu memasukkannya ke dalam mulutku
dan mulai bekerja dengan lidahku di sepanjang alat kejantanannya yang
begitu terasa keras dan tegang. Aku merasakan suatu kenikmatan yang lain
yang belum pernah aku rasakan. Aku merasakan alat kejantanan Priyono
mempunyai aroma yang berlainan dengan alat kejantanan suamiku.
Kini aku baru sadar alat kejantanan dari setiap laki-laki juga
mempunyai perbedaan rasa yang khas yang tidak sama antara satu lelaki
dengan lelaki lainnya. Bukan saja dari bentuk dan ukurannya akan tetapi
juga dari aroma yang dipancarkan oleh masing-masing alat kejantanan itu.
Selain itu aku merasakan alat kejantanan laki-laki lain ternyata terasa
lebih nikmat daripada alat kejantanan suamiku sendiri. Mungkin hal itu
karena aku mendapatkan sesuatu yang lain dari apa yang selama ini
kurasakan. Jadi walaupun serupa tetapi tidak sama rasanya.
“Sekarang giliranku untuk meminta berhenti”, katanya dengan tenang.
Sebenarnya aku enggan melepaskan alat kejantanan yang menggiurkan itu
dari mulutku. Aku ingin merasakan betapa alat kejantanannya itu
memancarkan sperma dalam mulutku, akan tetapi kupikir tidak akan
senikmat sebagaimana bila alat kejantanannya itu meledak dalam rahimku
dalam suatu persetubuhan yang sempurna, sehingga kuturuti permintaannya
dan membaringkan tubuhku dengan kedua belah kakiku ke atas. Selanjutnya
aku menyaksikan sebuah dada yang bidang menutupi tubuhku dan tidak lama
kemudian kurasakan alat kejantanannya itu mulai terbenam ke dalam liang
senggamaku yang hangat dan basah. Aku jadi agak mengerang kecil ketika
alat kejantanan yang besar dan gempal itu memasuki tubuhku.
“Oh, sayang.., sayang”, kata Priyono bergumam.
“Teruskan.., teruskan! Rasanya dahsyat sekali..!” kataku secara spontan
sambil mengencangkan otot liang senggamaku sehinga alat kejantanan
Priyono itu terjepit dengan kuat. Kemudian dengan suatu kekuatan
bagaikan sebuah pompa hydroulis, liang kewanitaanku menghisap
dalam-dalam alat kejantanan itu sehingga terasa menyentuh leher rahimku.
Secara perlahan-lahan dia mulai menggerakkan tubuhnya di atas
tubuhku. Untuk beberapa saat aku telentang tanpa bergerak sama sekali
menikmati diriku disetubuhi oleh seorang laki-laki yang bukan suamiku.
Sungguh sulit dipercaya, aku merasa hal ini sebagai suatu mimpi. Seorang
laki-laki lain yang bukan suamiku kini sedang memasukkan alat
kejantanannya ke dalam tubuhku dan aku pun sedang menggali semua
kenikmatan darinya.
Selanjutnya aku mulai menggoyang-goyangkan pinggulku dalam suatu
putaran yang teratur mengikuti gerakan turun naik tubuhnya. Dengan
garang Priyono terus-menerus menikamkan alat kejantanannya
sedalam-dalamnya ke liang senggamaku secara bertubi-tubi. Alat
kejantanannya dengan teratur keluar masuk dan naik turun di liang
senggamaku yang membuka serta meremas dengan erat alat kejantanan itu.
Aku merasakan persetubuhan yang sedang kami lakukan ini betul-betul
sangat hebat. Dan kesemuanya ini disebabkan oleh alat kejantanan seorang
laki-laki lain yang bukan suamiku.
Selanjutnya Priyono mulai menghujamkan tubuhnya ke tubuhku semakin
kuat dan semakin kencang. Kami jadi bergumulan dengan hebat di atas
tempat tidur saling cabik mencabik tubuh masing-masing. Tubuh kami
bersatu dan merenggang dengan hebat. Setiap hunjamannya membawaku ke
suatu alam fantasi yang jauh entah dimana yang tidak pernah kuketahui
dan belum pernah kualami sebelumnya. Yang aku tahu pada saat itu
hanyalah suara desahan kenikmatan yang keluar dari mulut kami
masing-masing.
Tiba-tiba puncak dari itu semua, kurasakan alat kejantanannya yang
berada dalam liang senggamaku menjadi sedemikian membesar dan tegang
dengan keras. Liang senggamaku pun terasa berdenyut lebih keras lagi dan
akhirnya aku merasakan suatu cairan yang hangat dan kental terpancar
dari alat kejantanannya membanjiri liang senggamaku. Nafas Priyono
dengan kuat menyapu wajahku. Saat yang mendebarkan itu berlangsung lama
sekali. Sangat sukar aku lukiskan betapa kenikmatan yang kualami dari
kesemuanya itu. Akhirnya kami terbaring dengan segala kelelahan namun
dalam suatu alam kenikmatan lain yang belum pernah aku alami bersama
suamiku. Yang terang ketika Priyono menarik alat kejantanannya dari
liang senggamaku, aku merasakan ada sesuatu yang hilang dari dalam
tubuhku.
Sisa malam itu tidak kami sia-siakan begitu saja. Kami menghabiskan
sisa malam itu dengan melakukan hubungan intim beberapa kali lagi
bagaikan sepasang suami-istri yang sedang berbulan madu dalam suatu
hubungan persetubuhan yang sangat dahsyat dan belum pernah kualami
bersama suamiku selama ini. Kami terus berasyik-masyuk sampai saat-saat
terakhir kami kembali ke rumah masing-masing ketika hari sudah menjelang
subuh.
Keesokan harinya ketika aku terbangun, aku merasa bagaikan seorang
wanita yang baru dilahirkan kembali. Demikian pula suamiku. Aku
merasakan adanya suatu kesegaran dan kecerahan lain dari yang lain dan
penuh dengan semangat kegairahan hidup. Hal ini membawa pengaruh kepada
hari-hariku selanjutnya. Aku merasa mendapatkan suatu horizon baru dalam
kehidupan. Demikian juga suamiku, kurasakan cinta kasih kami semakin
bertambah dari waktu-waktu sebelumnya.
Kehidupan rumah tangga kami serasa lebih harmonis penuh dengan
keceriaan dan kegembiraan daripada waktu-waktu yang lalu. Dengan
demikian tidak mengherankan kiranya apabila aku dan suamiku terus
menghadiri arisan itu beberapa kali dan selama itu pula aku telah dapat
merasakan berbagai macam type alat kejantanan laki-laki dalam berbagai
macam bentuk dan ukuran serta berbagai macam tehnik permainan hubungan
kelamin dengan para suami orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar