Didi mengenal seks pada usia 18 tahun ketika masih sekolah. Waktu itu
karena Didi yang bandel dikampungnya maka ia dikirim ke sekolah yang ada
Pondok Pesantrennya di Jawa barat, Didi lalu dititipkan pada keluarga
teman baik ayahnya, seorang Kiayi Fuad begitu Didi memanggilnya ia
adalah seorang yang cukup berpengaruh, pak Kiayi mengelola pesantren itu
sendiri yang lumayan besar.
Anak-anak mereka, Halmi & Julia yang seusia Didi kini ada di
Mesir sejak mereka masih usia 12 tahun. Sedangkan yang sulung, Irfan
kuliah di Pakistan. Istri Kiayi Fuad sendiri adalah seorang pengajar di
sekolah dasar negeri di sebuah kecamatan. Didi memanggilnya Nyai Fifi,
wanita itu berwajah manis dan berumur 40 tahun dengan perawakan yang
bongsor dan seksi khas ibu-ibu istri pejabat. Sejak tinggal di rumah
Kiayi Fuad Didi seringkali ditugasi mengantar Nyai Fifi, meskipun hanya
untuk pergi ke balai desa atau pergi kota Kabupaten.
Meski keluarga Kiayi Fuad cukup kaya raya dan terpandang namun
tampaknya hubungan antara dia dan istrinya tak begitu harmonis. Didi
sering mendengar pertengkaran-pertengkaran diantara mereka di dalam
kamar tidur Kiayi Fuad, seringkali saat Didi menonton televisi terdengar
teriakan mereka dari ruang tengah. Sedikitpun Didi tak mau peduli atas
hal itu, toh ini bukan urusannya, lagi pula Didi kan bukan anggota
keluarga mereka. Biasanya mereka bertengkar malam hari saat penghuni
rumah yang lain telah terlelap tidur, dan belakangan bahkan terdengar
kabar kalau Kiayi Fuad ada mempunyai wanita lain sebagai isteri
simpanan.
“Ah untuk apa aku memikirkannya” bisik hati Didi.
“Biar saja Kiayi Fuad berpoligami yang penting aku dapat beronani
sambil membayangkan tubuh bahenol Nyai Fifi, dan sekali kali ingin juga
aku menyetubuhi isterinya pak Kiayi Fuad yang cantik itu”. “Busyet
pikiran kotorku mulai kambuh lagi, Aah masa bodoh emang aku pikirin he
heeeeee.”
Pada suatu hari di bulan Oktober, Bi Tinah, seorang pembantu dan Mang
Darta penjaga pesantren juga pulang kampung mengambil jatah liburan
mereka bersamaan saat Lebaran. Sementara Kiayi Fuad pergi berlibur ke
Mesir sambil menjenguk kedua anaknya di sana. Nyai Fifi masih sibuk
menangani tugas-tugas sekolahan yang mana para muridnya hendak
menghadapi ujian, Nyai Fifi lebih sering terlambat pulang, hingga di
rumah itu tinggal Didi sendiri. Perasaan Didi begitu merdeka, tak ada
yang mengawasi atau melarangnya untuk berbuat apa saja di rumah besar
disamping pesantren. Mereka meminta Didi menunda jadwal pulang kampung
yang sudah jauh hari direncanakan, dan Didi mengiyakan saja, toh mereka
semua baik dan ramah padanya.
Malam itu Didi duduk di depan televisi, namun tak satupun acara TV
itu menarik perhatiannya. Didi termenung sejenak memikirkan apa yang
akan diperbuatnya, sudah tiga hari tiga malam sejak keberangkatan Kiayi
Fuad ke Mesir, Nyai Fifi tak tampak pulang ke rumah hingga sore hari.
Maklumlah ia harus bolak balik ke kabupaten mengurus soal ujian sekolah
dikantor Dinas Pendidikan, jadi tak heran kalau mungkin saja hari ini ia
ada di kota kabupaten, saat sedang melamun Didi melirik ke arah lemari
besar di samping pesawat TV layar lebar itu. Matanya tertuju pada rak
piringan VCD yang ada di sana. Dan dalam hati Didi penuh dengan tanda
tanya. Dalam hati Didi berbisik
“Segera kubuka sajalah mana tahu ada film bagus untuk ditonton,”
sambil memilih film-film bagus yang ada disitu yang paling membuat aku
menelan ludah adalah sebuah film dengan cover depannya ada gambar wanita
telanjang.
Tak kulihat lama lagi pasti dari judulnya aku sudah tahu langsung kupasang dan..,
“Wow!” batinku kaget begitu melihat adegannya yang membangkitkan nafsu.
Seorang lelaki berwajah Arab sedang menggauli dua perempuan sekaligus dengan beragam gaya.
Sesaat kemudian aku sudah larut dalam film itu. Penisku sudah sejak
tadi mengeras seperti kayu, malah saking kerasnya terasa sakit, aku
sejenak melepas celana panjang dan celana dalam yang kukenakan dan
menggantinya dengan celana pendek yang longgar tanpa CD. Aku duduk di
sofa panjang depan TV dan kembali menikmati adegan demi adegan yang
semakin membuatku gila.
Malah tanganku sendiri meremas-remas batang
kemaluanku yang semakin tegang dan keras. Tampak penis besarku yang
panjang sampai menyembul ke atas melewati pinggang celana pendek yang
kupakai. Cairan kentalpun sudah terasa akan mengalir dari sana.
Tapi belum lagi lima belas menit, karena terlalu asyik aku akan
sampai tak menyangka Nyai Fifi isteri Kiayi Fuad sudah berada di luar
ruang depan sambil menekan bel. Ah, aku lupa menutup pintu gerbang depan
hingga Nyai Fifi bisa sampai di situ tanpa sepengetahuanku, untung
pintu depan terkunci. Aku masih punya kesempatan mematikan power off VCD
Player itu, dan tentunya sedikit mengatur nafas yang masih tegang ini
agar sedikit lega. Aku tidak menyangka Nyai Fifi yang seorang guru dan
isteri seorang Kiayi punya koleksi VCD porno atau VCD itu hasil rampasan
dari tangan para santri-santri yang bengal yang kedapatan
menyelundupkan VCD porno tsb ke dalam pondok pesantren. Karena rata-rata
para santri yang ada dipondok pesantren itu adalah para korban Narkoba.
Seketika timbul penyakit bengal ku, karena kenakalanku sewaktu
dikampung aku ketahuan mengintip isteri tetangga yang sedang mandi sebab
kenakalan itu aku dititipkan oleh ayahku pada keluarga Kiayi Fuad di
Tasikmalaya di kota kecil di daerah Jawa Barat, sementara asalku dari
pulau Sumatera.
Dan aku sering memangil isteri pak Kiayi itu dengan
sebutan tante Fifi dan terkadang juga kupanggil perempuan cantik itu
dengan panggilan Nyai Fifi karena dia adalah isteri seorang Kiayi
terpandang dan sangat kaya karena memiliki berhektar-hektar sawah dan
kebun buah-buahan.
“Kamu belum tidur, Di??”, sapanya begitu kubuka pintu depan.
“Belum, Nyai”, hidungku mencium bau khas parfum Tante Fifi yang elegan.
“Udah makan?”.
“Hmm.., belum sih, tante sudah makan?”, aku mencoba balik bertanya.
“Belum juga tuh, tapi tante barusan dari rumah teman, trus di jalan
baru mikirin makan, so tante pesan dua kotak nasi goreng, kamu mau?”.
“Mau dong tante, tapi mana paketnya, belum datang kan?”.
“Tuh kan, kamu pasti lagi asyik di kamar makanya nggak dengerin kalau
pengantar makanannya datang sedikit lebih awal dari tante”.
“Ooo”, jawabku bego.
Nyai Fifi berlalu masuk kamar, kuperhatikan ia dari belakang. Uhh,
bodinya betul-betul bikin deg-degan, atau mungkin karena aku baru saja
nonton BF yah.
“Ayo, kita makan..”, ajaknya kemudian, tiba-tiba ia muncul dari
kamarnya sudah berganti pakaian dengan sebuah daster bermotif
bunga-bunga yang longgar tanpa lengan dan berdada rendah.
Mungkin Nyai Fifi merasa kegerahan setelah memakai baju panjang dan
rambutnya selalu tertutup jilbab seharian. Penampilan khas perempuan
cantik itu sebagai isterinya pak Kiayi, bila ia berada diluar rumah
mesti memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya. Walaupun sekujur
tubuhnya tertutup baju panjang dan jilbab masih nampak seksi dan anggun,
malam itu benar-benar membuatku jadi terpana dan bergairah ingin
memeluk tubuhnya.
“Ya ampun Nyai Fifi”, batinku berteriak tak percaya, baru kali ini
aku memperhatikan wanita itu dalam keadaan tidak memakai jilbab dan baju
panjangnya.
Kulitnya putih bersih, dengan betis yang woow, berbulu menantang
pastilah perempuan cantik ini punya nafsu seksual yang liar, itu kata
temanku yang pengalaman seksnya tinggi. Buah dadanya tampak menyembul
dari balik gaun tidur itu, apalagi saat ia melangkah di sampingku,
samar-samar dari sudut mataku terlihat indah payudaranya yang putih
lembut.
“Uh.., apa ini gara-gara film itu?”, batinku lagi.
Khayalanku mulai kurang ajar, atau selama ini aku melihat Nyai Fifi
selalu memakai jubah panjang dan berjilbab jadi aku tidak tahu bentuk
tubuhnya yang sebenarnya, seketika aku memasukkan bayangan Nyai Fifi ke
dalam adegan film tadi.
“Hmm..”, tak sadar mulutku mengeluarkan suara itu.
“Ada apa, Di?”, isteri pak Kiayi itu memandangku dengan alis berkerut.
“Nngg.., nggak apa-apa Nyai..”, Aku jadi sedikit gugup. Oh wajahnya, kenapa baru sekarang aku melihatnya begitu cantik.
“Eh.., kamu ngelamun yah, ngelamunin siapa sih? Pacar?”, tanyanya.
“Nggak ah tante”, dadaku berdesir sesaat pandangan mataku tertuju pada belahan dadanya.
Wow serasa hendak jebol celana yang kupakai oleh desakan penisku yang memberontak tegang.
“Oh My god, gimana rasanya kalau tanganku sampai mendarat di
permukaan buah dadanya, mengelus, merasakan kelembutan payudara itu,
oohh” lamunan itu terus merayap melambung tinggi.
“Heh, ayo.., makanmu lho, Di”.
“Ba.., bbaik Nyai”, jelas sekali aku tampak gugup.
“Nggak biasanya kamu kayak gini, Di. Mau cerita nggak sama tante Fifi”.
“Oh my god, dia mau aku ceritakan apa yang aku lamunkan? Susumu itu
Nyai, susumu yang tergantung indah aku remas-remas ya” bisik hatiku, aku
mulai berfikir bagaimana bisa menyetubuhi isteri Kiayi Fuad yang montok
dan cantik ini.
Pelan-pelan sambil terus melamun sesekali berbicara padanya, akhirnya
makananku habis juga. Aku kembali ke kamar dan langsung menghempaskan
badanku ke tempat tidur. Masih belum lepas juga bayangan tubuh Nyai
Fifi.
“Gila! Gila! Kenapa perempuan paruh baya itu membuatku gila”, pikirku tak habis-habisnya.
Umurnya terpaut sangat jauh denganku, aku baru 18 tahun.., dua puluh
lima tahun dibawahnya. Ah, mengapa harus kupikirkan, persetan ah yang
penting bagaimana caranya aku dapat menikmati tubuh montoknya.
Aku melangkah ke kamarku dan berbaring ditempat tidur, mencoba melupakannya, tapi mendadak pintu kamarku diketuk dari luar.
“Di.., Didi.., ini Tante Fi”, terdengar suara tante Fifi yang seksi itu memanggil.
“Ah..”, aku beranjak bangun dari ranjang dan membukakan pintu,
“Ada apa, tante?”.
“Kamu bisa buatin tante kopi?”.
“Ooo.., bisa tante”.
“Tahu selera tante toh?”
“Iya tante, biasanya juga saya lihat Bi Tinah”, jawabku singkat dan langsung menuju ke dapur.
“Tante tunggu di ruang tengah ya, Di”.
“Baik, tante”.
“Didi..?”
“Ya.., tante”.
“Kamu kalau habis pasang film seperti ini lain kali masukin lagi ke tempatnya yah”.
“Mmm.., ma.., ma.., maaf tante..” aku tergagap, apalagi melihat Tante
Fifi isteri pak kiayi itu yang berbicara tanpa melihat ke arahku.
Benar-benar aku merasa seperti maling yang tertangkap basah.
“Di..?”, Tante Fifi memanggil dan kali ini ia memandangi, aku
menundukkan muka, tak kubayangkan lagi kemolekan tubuh istri Kiayi Fuad
itu.
Aku benar-benar takut bercampur dengan nafsu.
“Tante nggak bermaksud marah lho, Di..”,
Byarr hatiku lega lagi.?
“Sekarang kalau kamu mau nonton, ya sudah sama-sama aja di sini, toh
sudah waktunya kamu belajar tentang ini, biar nggak kuper”, ajaknya.
“Woow..”, kepalaku secepat kilat kembali membayangkan tubuhnya.
Aku duduk di sofa sebelah tempatnya. Mataku lebih sering melirik tubuh Tante Fifi daripada film itu.
“Kamu kan sudah 18 tahun, Di. Ya nggak ada salahnya kalau nonton
beginian. Lagipula tante kan nggak biasa lho nonton yang beginian
sendiri..”.
Tak kusangka ucapan isteri Kiayi Fuad begitu terang-terangan, padahal
Nyai Fifi adalah seorang pendidik alias guru apakah karena dunia ini
sudah semakin tua, atau isteri Kiayi itu yang nampaknya alim namun
sesungguhnya memiliki nafsu syahwat besar yang tak tersalurkan.
Apa kalimat itu berarti undangan? Atau kupingku yang salah dengar? Oh
my god Tante Fifi mengangkat sebelah tangannya dan menyandarkan
lengannya di sofa itu. Dari celah gaun di bawah ketiaknya terlihat jelas
bukit payudaranya yang masih seger dan bentuknya indah. Ukurannya
benar-benar membuatku menelan ludah. Wooow. Posisi duduknya berubah,
kakinya disilangkan hingga daster itu sedikit tersingkap. Yeah, betis
indah dengan bulu-bulu halus, Hmm? Wanita 40-an itu benar-benar
menantang, wajah dan tubuhnya mirip sekali dengan Marisa Haque, hanya
Tante Fifi kelihatan sedikit lebih muda, bibirnya lebih sensual dan
hidungnya lebih mancung. Aku tak mengerti kenapa perempuan paruh baya
ini begitu tampak mempesona di mataku. Tapi mungkinkah..? Tidak, dia
adalah istri seorang Kiayi yang terpandang, orang yang belakangan ini
sangat memperhatikanku.
Aku di sini untuk belajar.., atas biaya
mereka.., ah persetan!
Tante Fifi mendadak memindahkan acara TVRI ke sebuah TV swasta.
“Lho.. kok?”.
“Ah tante bosan ngeliatin acara di TV itu terus, ..”.
“Tapi kan..”.
?Sudah kalau mau kamu mau nonton yang lain nonton aja sendiri di kamar..” wajahnya masih biasa saja.
“Eh, ngomong-ngomong, kamu sudah hampir setahun di sini yah?”.
“Iya tante..”.
“Sudah punya pacar?”, ia beranjak meminum kopi yang kubuatkan untuknya.
“Belum”, mataku melirik ke arah belahan daster itu, tampaknya ada celah yang cukup untuk melihat payudara besarnya.
Tak sadar penisku mulai berdiri.
“Kamu nggak nyari gitu?”, ia mulai melirik sesekali ke arahku sambil tersenyum.
“Alamaak, senyumnya.., oh singkapan daster bagian bawah itu, uh Tante
Fifi.., pahamu”, teriak batinku saat tangannya tanpa sengaja menyingkap
belahan gaun di bagian bawah itu. Sengaja atau tidak sih?
“Eeh Di.kamu ngeliatin apaan sih?”.
Blarr.., mungkin ia tahu kalau aku sedang berkonsentrasi memandang satu persatu bagian tubuhnya.
“Nnggak kok tante nggak ngeliat apa-apa”.
“Lho mata kamu kayaknya mandangin tante terus. Apa ada yang salah sama tante, Di?”,
Yya ampun dia tahu kalau aku sedang asyik memandanginya.
“Eh.., mm.., anu tante.., aa.., aanu.., tante.., tante”, kerongkonganku seperti tercekat.
“Anu apa.., ah kamu ini ada-ada saja, kenapa..?”, matanya semakin terarah pada selangkanganku, sial aku lupa pakai celana dalam.
Pantas Tante Fifi tahu kalau penisku tegang.
“Ta.., ta.., tante cantik sekali..”, aku tak dapat lagi mengontrol kata-kataku.
Dan astaga, bukannya marah, Tante Fifi malah mendekati aku.
“Apa.., tante nggak salah dengar?”, katanya setengah berbisik.
“Bener kok tante..”.
“Tante yang seumur ini kamu bilang cantik, ah bisa aja. Atau kamu mau
sesuatu dari tante?” ia memegang pundakku, terasa begitu hangat dan duh
gusti buah dada yang sejak tadi kuperhatihan itu kini hanya beberapa
sentimeter saja dari wajahku.
Apa aku akan dapat menyentuhnya, come on man! Dia istri pemilik pondok pesantren ini batinku berkata?Aah persetan.
Tangannya masih berada di pundakku sebelah kiri, aku masih tak
bergeming. Tertunduk malu tanpa bisa mengendalikan pikiranku yang
berkecamuk. Harum semerbak parfumnya semakin menggoda nafsuku untuk
segera berbuat sesuatu. Kuberanikan mataku melirik lebih jelas ke arah
belahan kain daster berbunga itu. Wow.., sepintas kulihat bukit di
selangkangannya yang ahh, kembali aku menelan ludah.
“Kamu belum jawab pertanyaan tante lho, Di. Atau kamu mau tante jawab sendiri pertanyaan ini?”.
“Nggak kok Nyai, ss.., ss.., saya jujur kalau tante memang cantik, eh.., mm.., dan menarik”.
“Terus apa lagi ayo bilang..”
“Aaaku mau pegang susu Nyai.” kuberanikan diriku sambil menatap kedua bola matanya yang indah
itu.
“Kamu belum pernah kenal cewek yah”.
“Belum, tante”.
“Kalau tante kasih pelajaran gimana?”.
Ini dia yang aku tunggu, ah persetan walau dia ini isteri Kiayi Fuad
sahabat ayahku aku tak perduli. Anggap saja ini pelajaranku dari Tante
Fifi. Dan juga.., oh aku ingin segera merasakan tubuh wanita cantik ini.
“Maksud tante.., apa?”, lanjutku bertanya, pandangan kami bertemu sejenak namun aku segera mengalihkan.
“Kamu kan belum pernah pacaran nih, gimana kalau kamu tante ajarin caranya menikmati wanita..”.
“Ta.., tapi tante”, aku masih ragu.
“Kamu takut sama pak Kiayi suamiku? Tenang.., yang ada di rumah ini cuman kita, lho”.
“Wow hebat”, teriakku dalam hati.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Batinku terus berteriak tapi badanku
seperti tak dapat kugerakkan.
Beberapa saat kami berdua terdiam.
“Coba sini tangan kamu”, aku memberikan tanganku padanya, my goodness
tangan lembut itu menyentuh telapak tanganku yang kasarnya minta ampun.
“Rupanya kamu memang belum pernah nyentuh perempuan, Di. Tante tahu
kamu baru beranjak remaja dan tante ngerti tentang itu”, ia berkata
begitu sambil mengelus punggung tanganku, aku merinding dibuatnya.
Sementara di bawah penisku yang sejak tadi sudah tegang itu mulai
mengeluarkan cairan hingga menampakkan titik basah tepat di permukaan
celana pendek itu.
“Tante ngerti kamu terangsang melihat tetek ini, dan tante perhatiin
belakangan ini kamu sering diam-diam memandangi tubuh tante, benar
kan?”, ia seperti menyergapku dalam sebuah perangkap, tangannya terus
mengelus punggung telapak tanganku.
Aku benar-benar merasa seperti maling yang tertangkap basah, tak sepatah kata lagi yang bisa kuucapkan.
“Kamu kepingin pegang dada tante kan?”.
Daarr! Dadaku seperti pecah.., mukaku mulai memerah. Aku sampai lupa
di bawah sana adik kecilku mulai melembek turun. Dengan segala sisa
tenaga aku beranikan diri membalas pandangannya, memaksa diriku
mengikuti senyum Nyai Fifi isteri pak Kiayi itu, Dan.., astaga..,
perempuan cantik ini menuntun telapak tanganku ke arah payudaranya yang
menggelembung besar itu. Oooh lembutnya.
“Ta.., ta.., tante.., oohh”, suara itu keluar begitu saja dari bibirku, dan Tante Fifi hanya melihat tingkahku sambil tersenyum.
Adikku bangun lagi dan langsung seperti ingin meloncat keluar dari
celana dalamku. Istri pak Kiayi itu melotot ke arah selangkanganku.
“Waawww.., besar sekali punya kamu Di”, serunya lalu secepat kilat tangannya menggenggam kemaluanku kemudian mengelus-elusnya.
Secara reflek tanganku yang tadinya malu-malu dan terlebih dulu
berada di permukaan buah dadanya bergerak meremas dengan sangat kuat
sampai menimbulkan desah dari mulutnya.
“Aaagghhh… enaaaak, isep Di… Ooooooooh… aahh.., mm remas sayang oohh… teruuuuuuuus Di.”
Masih tak percaya akan semua itu, aku membalikkan badan ke arahnya
dan mulai menggerakkan tangan kiriku. Aku semakin berani, kupandangi
wajah istri pak Kiayi itu dengan seksama.
“Teruskan, Di.., buka baju tante”, perempuan itu mengangguk pelan.
Matanya berbinar saat melihat kemaluanku tersembul dari celah celana
pendek itu. Kancing dasternya kulepas satu persatu, bagian dadanya
terbuka lebar. Masih dengan tangan gemetar aku meraih kedua buah dadanya
yang putih itu. Perlahan-lahan aku mulai meremasnya dengan lembut,
kedua telapak tanganku kususupkan melewati dasternya.
“Mmm.., tante..”, aku menggumam merasakan kelembutan buah dada besar
Tante Fifi yang selama sebulan terakhir ini hanya jadi impianku saja.
Jari jemariku terasa begitu nyaman, membelai lembut daging kenyal itu, aku memilin puting susunya yang begitu lembutnya.
Aku pun semakin berani, dasternya kutarik ke atas dan woowww.., kedua buah dada itu membuat mataku benar-benar jelalatan.
“Mm.., kamu sudah mulai pintar, Di. Tante mau kamu..”, belum lagi
kalimat Tante Fifi habis aku sudah mengarahkan mulutku ke puncak bukit
kembarnya dan
“Crupp..”, sedotanku langsung terdengar begitu bibirku mendarat di permukaan puting susunya.
“Aahh.., Didi, oohh.., sedoot teruus aahh”, tangannya semakin
mengeraskan genggamannya pada batang penisku, celana pendekku sejak tadi
dipelorotnya ke bawah.
Sesekali kulirik ke atas sambil terus menikmati puting buah dadanya
satu persatu, Tante Fifi tampak tenang sambil tersenyum melihat
tingkahku yang seperti monyet kecil menetek pada induknya. Jelas isteri
pak Kiayi itu sudah berpengalaman sekali. Batang penisku tak lagi hanya
diremasnya, ia mulai mengocok-ngocoknya. Sebelah lagi tangannya
menekan-nekan kepalaku ke arah dadanya.
“Buka pakaian dulu, Di” ia menarik baju kaos yang kukenakan, aku
melepas gigitanku pada puting buah dadanya, lalu celanaku di
lepaskannya.
Ia sejenak berdiri dan melepas gaun dasternya, kini aku dapat melihat
tubuh Nyai Fifi yang bahenol itu dengan jelas. Buah dada besar itu
bergelantungan sangat menantang. Dan bukit di antara kedua pangkal
pahanya masih tertutup celana dalam putih, bulu-bulu halus tampak
merambat keluar dari arah selangkangan itu. Dengan agresif tanganku
menjamah CD-nya, langsung kutarik sampai lepas.
“Eeeiit.., ponakan tante sudah mulai nakal yah”, katanya genit semakin membangkitkan nafsuku.
“Saya nggak tahan ngeliat tubuh tante”, dengusanku masih terdengar semakin keras.
“Kita lakukan di kamar yuk..”, ajaknya sambil menarik tanganku yang tadinya sudah mendarat di permukaan selangkangannya.
“Shitt!” makiku dalam hati, baru saja aku mau merasakan lembutnya bukit di selangkangannya yang mulai basah itu.
Isteri pak Kiayi itu langsung merebahkan badan di tempat tidur. Tapi
mataku sejenak tertuju pada foto pak Kiayi yang pakai sorban dengan baju
kokonya.
“Ta.., tapi tante”
“Tapi apa, ah kamu, Di” Tante Fifi melotot.
“Tante kan istri pak Kiayi”.
“Yang bilang tante istri kamu siapa?”, aku sedikit kendor mendengarnya.
“Saya takut tante, malu sama pak Kiayi”.
“Emangnya di sini ada kamera yang bisa dilihat dari Mesir sana? Didi,
Didi.., Kamu nggak usah sebut nama pak Kiayi itu lagi deh!” intonasi
suaranya meninggi, mungkin Nyai yang cantik ini sudah sangat benci
kepada suaminya yang mempunyai isteri lagi, perempuan cantik ini memang
dimadu oleh pak Kiayi sampai rasa benci terhadap suaminya ia lampiaskan
dengan jalan menggiring gairah nafsuku untuk menyetubuhinya.
“Trus gimana dong tante?”, aku tambah tak mengerti.
“Sudahlah Di, kamu lakukan saja, kamu sudah lama kan menginginkan
memegang payudara tante?” aku tak bisa menjawab, sementara mataku
kembali memandang selangkangan Tante Fifi yang kini terbuka lebar.
Hmm, persetan dari mana dia tahu aku sudah menantikan ini, itu urusan belakang.
Aku langsung menindihnya, dadaku menempel pada kedua buah payudara
itu, kelembutan buah dada yang dulunya hanya ada dalam khayalanku saat
beronani sekarang menempel ketat di dadaku. Bibir kamipun kini bertemu,
Nyai Fifi menyedot lidahku dengan lembut. Uhh, nikmatnya, tanganku
menyusup di antara dada kami, meraba-raba dan meremas kedua belahan
susunya yang besar itu.
“Aggggh, Di kamu anak yang pintar teruuuus Di.”
“Mmm.., oohh.., Nyai.., aahh”, kegelian bercampur nikmat saat Tante
Fifi memadukan kecupannya di leherku sambil menggesekkan selangkangannya
yang basah itu pada penisku.
“Kamu mau sedot susu tante lagi?”, tangannya meremas sendiri buah
dada itu, aku tak menjawabnya, bibirku merayap ke arah dadanya, bertumpu
pada tangan yang kutekuk sambil berusaha meraih susunya dengan bibirku.
Lidahku mulai bekerja dengan liar menjelajahi bukit kenyal itu senti demi senti.
“Hmm.., pintar kamu Di, oohh..” desahan isteri pak Kiayi mulai
terdengar, meski serak-serak tertahan nikmatnya jilatanku pada putingnya
yang lancip.
“Sekarang kamu ke bawah lagi sayang..”.
Aku yang sudah terbawa nafsu berat itu menurut saja, lidahku merambat
cepat ke arah pahanya, Tante Fifi membukanya lebar dan semerbak aroma
selangkangannya semakin mengundang birahiku, aku jadi semakin gila.
Kusibak bulu-bulu halus dan lebat yang menutupi daerah vaginanya. Uhh,
liang vagina itu tampak sudah becek dan sepertinya berdenyut, aku ingat
apa yang harus kulakukan, tak percuma aku sering diam-diam nonton VCD
porno sewaktu di Sumatera. Lidahku menjulur lalu menjilati vagina isteri
pak Kiayi itu.
“Aggggggh ampuuuuuun, Ooouuhh.., kamu cepat sekali belajar, Di. Hmm,
enaknya jilatan lidah kamu.., oohh ini sayang”, ia menunjuk sebuah
daging yang mirip biji kacang di bagian atas kemaluannya, aku
menyedotnya keras, lidah dan bibirku mengaduk-aduk isi liang vaginanya.
“Ooohh, yaahh.., enaak, Di, pintar kamu Di.., oohh”, Tante Fifi mulai
menjerit kecil merasakan sedotanku pada biji kacangnya yang belakangan
kutahu bernama clitoris.
Ada sekitar tujuh menit lebih aku bermain di daerah itu sampai
kurasakan tiba-tiba ia menjepit kepalaku dengan keras di antara pangkal
pahanya, aku hampir-hampir tak dapat bernafas.
“Aahh.., tante nggak kuaat aahh, Didii”, teriaknya panjang seiring
tubuhnya yang menegang, tangannya meremas sendiri kedua buah dadanya
yang sejak tadi bergoyang-goyang, dari liang vaginanya mengucur cairan
kental yang langsung bercampur air liur dalam mulutku.
“Uff.., Di, kamu pintar bener. Sering ngentot yah?” ia memandangku dengan genit.
“Makasih Di, selama ini tante nggak pernah mengalaminya.., makasih
sayang. Sekarang beri tante kesempatan istirahat sebentar saja”, ia lalu
mengecupku dan beranjak ke arah kamar mandi.
Aku tak tahu harus melakukan apa, senjataku masih tegang dan keras,
hanya sempat mendapat sentuhan tangan Tante Fifi. Batinku makin tak
sabar ingin cepat menumpahkan air maniku ke dalam vaginanya. Masih jelas
bayangan tubuh telanjang isteri pak Kiayi itu beberapa menit yang
lalu.., ahh aku meloncat bangun dan menuju ke kamar mandi. Kulihat
perempuan paruh baya yang cantik itu sedang mengguyur tubuhnya dengan
air.
“Tante… mau saya entot sekarang?”
“Hmm, kamu sudah nggak sabar ya?” ia mengambil handuk dan mendekatiku.
Tangannya langsung meraih batang penisku yang masih tegang.
“Woowww.., tante baru sadar kalau kamu punya segede ini, Di.., oohhmm”, ia berjongkok di hadapanku.
Aku menyandarkan tubuh di dinding kamar mandi itu dan secepat kilat Nyai Fifi memasukkan penisku ke mulutnya.
“Ohh.., nikmat Tante Fifi oohh.., oohh.., ahh”, geli bercampur nikmat membuatku seperti melayang.
Baru kali ini punyaku masuk ke dalam mulut perempuan, ternyata..,
ahh.., lezatnya setengah mati. Penisku tampak semakin tegang, mulut
mungil Tante Fifi hampir tak dapat lagi menampungnya.
Sementara tanganku
ikut bergerak meremas-remas payudaranya.
“Uuuhh.. punya kamu ini lho, Di.., tante jadi nafsu lagi nih, yuk
kita lanjutin lagi”, tangannya menarikku kembali ke tempat tidur, Tante
Fifi seperti melihat sesuatu yang begitu menakjubkan.
Perempuan setengah baya itu langsung merebahkan diri dan membuka
kedua pahanya ke arah berlawanan, mataku lagi-lagi melotot ke arah
belahan vaginanya. Mm.., kusempatkan menjilatinya semenit lalu dengan
tergesa-gesa aku tindih tubuhnya.
“Heh.., sabar dong, Di. Kalau kamu gelagapan gini bisa cepat keluar nantinya”.
“Keluar apa, Tante?”.
“Nanti kamu tahu sendiri, deh” tangannya meraih penisku di antara pahanya, kakinya ditekuk hingga
badanku terjepit diantaranya.
Pelan sekali ibu jari dan telunjuknya menempelkan kepala penisku di bibir kemaluannya.
“Sekarang kamu tekan pelan-pelan sayang.., Ahhooww, yang pelan sayang
oh punya kamu segede kuda tahu!”, liriknya genit saat merasakan penisku
yang baru setengah masuk itu.
“Begini tante?”, dengan hati-hati kugerakkan lagi, pelan sekali, rasanya seperti memasuki lubang yang sangat sempit.
“Tarik dulu sedikit, Di.., yah tekan lagi. Pelan-pelan.., yaahh masuk
sayang oohh besarnya punya kamu.., oohh… Oooh enaaak Di, Aaaagggh
panjangnya punya kamu sampai mentok ke dasar Di.
“Tante suka?”.
“Nyai aku entot ya… Gimana Nyai rasanya?”.
“Suka sayang oohh, sekarang kamu goyangin.., mm.., yak gitu terus
tarik, aahh.., pelan sayang vagina tante rasanya.., oouuhh mau robek,
mmhh.., yaahh tekan lagi sayang.., oohh.., hhmm.., enaakk.., oohh”.
“Kalau sakit bilang saya yah tante?”, kusempatkan mengatur gerakan,
tampaknya Tante Fifi sudah bisa menikmatinya, matanya terpejam seraya
menggigit bibirnya disertai desahan manjanya.
“Oooh Di setubuhi tante, Agggggh enaaaak Di punyamu besaaaar. Hmm.., oohh..”, Tante Fifi kini mengikuti gerakanku.
Pinggulnya seperti berdansa ke kiri kanan. Liang vaginanya bertambah
licin saja. Penisku kian lama kian lancar, kupercepat goyanganku hingga
terdengar bunyi selangkangannya yang becek bertemu pangkal pahaku.
Plak.., plak.., plak.., plak.., aduh nikmatnya perempuan setengah baya ini.
Mataku merem melek memandangi wajah keibuan Tante Fifi yang masih
saja mengeluarkan senyuman. Nafsuku semakin jalang, gerakanku yang
tadinya santai kini tak lagi berirama. Buah dadanya tampak bergoyang ke
sana ke mari, mengundang bibirku beraksi.
“Ooohh sayang kamu buas sekali. hmm.., tante suka yang begini, oohh.., genjot terus mm”.
“Uuhh tante nikmat tante.., mm tante cantik sekali oohh… Oooh enaknya ngentotin isteri pak Kiayi.”
Aku mulai meracau nikmat.
“Kamu senang susu tante yah?” Ooohh sedoot teruus susu tantee aahh..,
panjang sekali peler kamu oohh, Didii.., aahh”. Jeritannya semakin
keras dan panjang, denyutan vaginanya semakin terasa menjepit batang
penisku yang semakin terasa keras dan tegang.
“Di..?”, dengusannya turun naik.
“Yah uuhh ada apa tante..?”.
“Kamu bener-bener hebat sayang.., oowww.., uuhh.., tan.., tante..,
mau keluar hampiirr.., aahh..”, gerakan pinggulnya yang liar itu semakin
tak karuan, tak terasa sudah lima belas menit kami berkutat.
“Ooohh memang enaak Nyai, oohh.., Tante Fifi. Tante Fifi, oohh..,
tante, oohh.., nikmat sekali tante memekmu, oohh..” aku bahkan tak
mengerti apa maksud kata ‘keluar’ itu.
Aku hanya peduli pada diriku, kenikmatan yang baru pertama kali
kurasakan seumur hidup. Tak kuhiraukan tubuh isteri pak Kiayi yang
menegang keras berkejat-kejat, kuku-kuku tangannya mencengkeram
punggungku, pahanya menjepit keras pinggangku yang sedang asyik turun
naik itu,
“Aaahh.., Di.., dii.., tante ke..luaarr laagii.., aahh”, vagina Tante
Fifi terasa berdenyut keras sekali, seperti memijit batangan penisku
dan uuhh ia menggigit pundakku sampai kemerahan.
Kepala penisku seperti tersiram cairan hangat di dalam liang rahimnya.
“Agggh Oooh ampuuuun enak Di penis besarmu”.
Sesaat kemudian ia lemas lagi. Tak kusangka isteri seorang Kiayi,
wanita yang kuanggap alim dan terpelajar saat kusetubuhi bisa menjadi
liar bagai penari erotis, tubuhnya meliuk liuk saat mencapai orgasme.
“Tante capek’
“Maaf tante kalau saya keterlaluan..”.
“Mmm.., nggak begitu Di, yang ini namanya tante orgasme, bukan kamu
yang salah kok, justru kamu hebat sekali.., ah, ntar kamu tahu sendiri
deh.., kamu tunggu semenit aja yah, uuhh hebat”.
Aku tak tahu harus bilang apa, penisku masih menancap di liang kemaluannya.
“Kamu peluk tante dong, mm”.
“Ahh tante, saya boleh lanjutin nggak sih?”.
“Boleh, asal kamu jangan goyang dulu, tunggu sampai tante bangkit lagi, sebentaar aja. Mainin susu tante saja ya”.
“Baik tante..”.
“Kau tak sabar ingin cepat-cepat merasakan nikmatnya ‘keluar’ seperti Tante ya.”
Ia masih diam saja sambil memandangiku yang sibuk sendiri dengan
puting susu itu. Beberapa saat kemudian kurasakan liang vaginanya
kembali bereaksi, pinggulnya ia gerakkan.
“Di..?”.
“Ya tante?”.
“Sekarang tante mau puasin kamu, kasih tante yang di atas ya, sayang.., mmhh, pintar”.
Posisi kami berbalik. Kini isteri pak Kiayi menunggangi tubuhku.
Perlahan tangannya kembali menuntun batang penisku yang masih tegang itu
memasuki liang kenikmatannya, dan uuhh terasa lebih masuk.
Tante Fifi mulai bergoyang perlahan, payudaranya tampak lebih besar
dan semakin menantang dalam posisi ini. Tante Fifi berjongkok di atas
pinggangku menaik-turunkan pantatnya, terlihat jelas bagaimana penisku
keluar masuk liang vaginanya yang terlihat penuh sesak, sampai bibir
kemaluan itu terlihat sangat kencang.
“Ooohh enaak tante.., ooh Tante Fifi.., ooh Nyai.., oo.., hmm, enaak
sekali.., oohh..memek enak”
Kedua buah payudara itu seperti berayun
keras mengikuti irama turun naiknya tubuh isteri pak Kiayi itu.
“Remees susu tante sayang, oohh.., yaahh.., pintar kamu.., oohh..,
tante nggak percaya kamu bisa seperti ini, oohh.., pintar kamu Didi
oohh.., ganjal kepalamu dengan bantal ini sayang”, Tante Fifi meraih
bantal yang ada di samping kirinya dan memberikannya padaku.
“Maksud tante supaya aku bisa.., crup.., crup..”, mulutku menerkam puting payudaranya.
“Yaahh sedot susu tante lagi sayang.., mm.., yak begitu teruus yang kiri sayang oohh”.
Tante Fifi menundukkan badan agar kedua buah dadanya terjangkau
mulutku. Decak becek pertemuan pangkal paha kami semakin terdengar
seperti tetesan air, liang vaginanya semakin licin saja. Entah sudah
berapa puluh cc cairan kelamin isteri pak Kiayi yang meluber membasahi
dinding vaginanya. Tiba-tiba aku teringat adegan filn porno yang dulu
pernah kulihat,
“Yap.., doggie style!” batinku berteriak kegirangan, mendadak aku menahan goyangan Tante Fifi yang tengah asyik.
“Huuhh.., oohh ada apa sayang?”, nafasnya tersenggal.
“Saya mau pakai gaya yang ada di film, tante”.
“Gaya yang mana, yah..,?”.
“Yang dari belakang tante harus nungging”.
“Hmm.., tante ngerti.., boleh”, katanya singkat lalu melepaskan gigitan vaginanya pada penisku.
“Yang ini maksud kamu?”, isteri pak Kiayi itu menungging tepat di depanku yang masih terduduk.
“Iya Nyai ini namanya anjing kawin..”
Hmm lezatnya, pantat Tante Fifi yang besar itu kuremas-remas dan
belahan bibir vaginanya yang memerah membuat nafsuku memuncak, aku
langsung mengambil posisi dan tanpa permisi lagi menyusupkan penisku
dari belakang. Kupegangi pinggangnya, sebelah lagi tanganku meraih buah
dada besarnya.
“Ooohh.., ngg.., Agggh yang ini hebaat Di.., oohh, genjot yang keras sayang, oohh.., tambah keras lagi..,”
“Uuuhh… Enak ya Nyai?. Aku suka ngentot sama Nyai ayo tante jalang goyangin dong pantatnya.”
“Oooooh Di setubuhi aku sesuka hatimu, tante suka Di.”
Kata-kata kotor Didi membuat isteri pak Kiayi itu kian terangsang
hebat ia goyangkan pantatnya mengikuti irama tusukan penis yang
menerobos liang vaginanya.
Kepalanya menggeleng keras ke sana ke mari, aku rasa Tante Fifi
sedang berusaha menikmati gaya ini dengan semaksimal mungkin.
Teriakannyapun makin ngawur.
“Ooohh.., jangan lama-lama lagi sayang tante mau keluar lagi ooh..” aku menghentikan gerakan dan mencabut penisku.
“Baik tante sekarang.., mm, coba tante berbaring menghadap ke samping, kita selesaikan dengan gaya ini”.
“Kamu sudah mulai pintar sayang mmhh”, Tante Fifi mengecup bibirku.
Perintahku pun diturutinya, ia seperti tahu apa yang aku inginkan. Ia
menghempaskan badannya kembali dan berbaring menghadap ke samping,
sebelah kakinya terangkat dan mengangkang, aku segera menempatkan
pinggangku di antaranya. Buah penisku bersiap lagi.
“Aaahh tante.., uuhh.., nikmat sekali, oohh.., Nyai sekarang, oohh.., saya nggak tahan Nyai.., enaak.., oohh”.
“Tante juga Didi.., Didi.., Didi sayaangg, oohh.., keluaar samaan
sayaang ooh” kami berdua berteriak panjang, badanku terasa bergetar, ada
sebentuk energi yang maha dahsyat berjalan cepat melalui tubuhku
mengarah ke bawah perut dan,
“Craat.., cratt.., craatt.., cratt”, entah berapa kali penisku
menyemburkan cairan kental ke dalam rahim isteri pak Kiayi yang tampak
juga mengalami hal yang sama, selangkangan kami saling menggenjot keras.
Tangan Tante Fifi meremas sprei dan menariknya keras, bibirnya ia
gigit sendiri. Matanya terpejam seperti merasakan sesuatu yang sangat
hebat, tubuhnya berkejat kejat isteri pak Kiayi itu mengerang seperti
anak kucing.
Beberapa menit setelah itu kami berdua terkapar lemas, Tante Fifi
memelukku erat, sesekali ia mencium mesra. Tanganku tampaknya masih
senang membelai lembut buah dada Tante Fifi. Kupintir-pintir putingnya
yang kini mulai lembek. Mataku memandangi wajah manis perempuan paruh
baya itu, meski umurnya sudah berkepala empat namun aku masih sangat
bernafsu melihatnya. Wajahnya masih menampakkan kecantikan dan
keanggunannya. Meski mulai tampak kerutan kecil di leher wanita itu
tapi.., aah, persetan dengan itu semua, Tante Fifi adalah wanita pertama
yang memperkenalkan aku pada kenikmatan seksual. Bahkan dibanding Devi,
Rani, Shinta dan teman sekelasku yang lain, perempuan paruh baya ini
jauh lebih menarik.
“Tante nggak nyangka kamu bisa sekuat ini, Di..”.
“Hmm..”.
“Betul ini baru yang pertama kali kamu lakukan?”.
“Iya tante..”.
“Nggak pernah sama pacar kamu?”.
“Nggak punya tante..”.
“Yang bener aja ah”.
“Iya bener, nggak bohong kok, tante.., tante nggak kapok kan ngajarin saya yang beginian?”.
“Ya ampuun..” Ia mencubit genit, “Masa sih tante mau ngelepasin kamu
yang hebat gini, tahu nggak
Di, suami tante nggak ada apa-apanya
dibanding kamu..”.
“Maksud tante?”.
“Pak Fuad itu kalau main paling lama tiga menit.., lha kamu? Tante
sudah keluar beberapa kali kamu
belum juga, apa nggak hebat namanya”.
“Ngaak tahu deh tante, mungkin karena baru pertama ini sih..”.
“Tapi menurut tante kamu emang punya bakat alam, lho? Buktinya baru
pertama begini saja kamu sudah sekuat itu, apalagi kalau sudah
pengalaman nanti.., pasti tante kamu bikin KO.., lebih dari yang tadi”.
“Terima kasih tante..”.
“Untuk?”.
“Untuk yang tadi… Karena saya bisa ngentotin Nyai, saya sudah lama
mengkhayali Nyai sambil beronani dan malam ini saya puas sekali bisa
menyetubuhi isteri pak Kiayi yang cantik ini he heee.”
“Tante yang terima kasih sama kamu.., kamu yang pertama membuat tante merasa seperti ini”.
“Saya nggak ngerti..”.
“Di.., dua puluh tahun lebih sudah usia perkawinan tante dengan Pak
Fuad. tak pernah sedetikpun tante menikmati hubungan badan yang sehebat
ini. Suami tante adalah tipe lelaki egois yang menyenangkan dirinya
saja. Tante benar-benar telah dilecehkannya. Belakangan tante berusaha
memberontak, rupanya dia sudah mulai bosan dengan tubuh tante dan
seperti rekannya yang lain sesama Kiayi, ia menyimpan beberapa wanita
sebagai isteri kedua untuk melampiaskan nafsu seksnya. Tante tahu semua
itu dan tante nggak perlu cerita lebih panjang lebar karena pasti kamu
sudah sering mendengar pertengkaran tante”, Suaranya mendadak serius,
tanganku memeluk tubuhnya yang masih telanjang.
Ada sebersit rasa simpati mendengar ceritanya yang polos itu, betapa
bodohnya lelaki bernama Kiayi Fuad itu punya perempuan secantik dan
senikmat ini di biarkan merana.
Tante Fifi terpejam begitu tanganku menyentuh permukaan buah dadanya,
merayap perlahan menyusuri kelembutan bukit indah itu menuju puncak
dan,
Mmm a.. aku memintir putingnya yang coklat kemerahan itu.
“Agggh?” telapak tanganku mulai lagi, meremasnya satu persatu,
“Hmm”, dengan sebelah tangannya ia meraih penisku yang mulai tegang,
jari telunjuk Tante Fifi mengurut tepat di leher bawah kepala penisku,
semakin tegang saja, shitt.., aku nggak bisa bersuara.
Aku tak tahan dan
beranjak turun dari tempat tidur itu dan langsung berjongkok tepat di
depan pahanya di pinggiran tempat tidur, menguak sepasang paha montok
dan putih itu ke arah berlawanan.
“Mmmhh.., aahh.., oh nggak,.., uuhh” lidahku langsung mendarat di permukaan segitiga terlarang itu.
“Ssshh yaa.., enakk..?,
Lidahku kian mengganas, kelentit sebesar biji kacang itu sengaja kusentuh.
“Mmm fuuhh.., Tante akan layani kamu sampai kita berdua nggak kuat
lagi. Kamu boleh lakukan apa saja. Puaskan diri kamu sayang aahh”, aku
tak mempedulikan kata-katanya, lidahku sibuk di daerah selangkangannya.
Malam itu benar-benar surga bagi kami, permainan demi permainan
dengan segala macam gaya kami lakukan. Di karpet, sampai sekitar pukul
tiga dini hari. Kami sama-sama bernafsu, aku tak ingat lagi berapa kali
kami melakukannya. Seingatku disetiap akhir permainan, kami selalu
berteriak panjang. Benar-benar malam yang penuh kenikmatan.
Aku terbangun sekitar jam 11 siang, badanku masih terasa sedikit pegal. Tante Fifi sudah tidak ada di sampingku.
“Tante..?” panggilku setengah berteriak, tak ada jawaban dari istri pak Kiayi yang semalam suntuk kutiduri itu.
Aku beranjak dari tempat tidur dan memasang celana pendek, sprei dan
bantal-bantal di atas tempat tidur itu berantakan, di banyak tempat ada
bercak-bercak bekas cairan kelamin kami berdua. Aku keluar kamar dan
menemukan secarik kertas berisi tulisan tangan Tante Fifi, ternyata ia
harus ke tempat ke sekolah tempat ia mengajar karena ada yang harus
dikerjakan.
“Hmm.., padahal kalau main baru bangun tidur pastilah nikmat sekali”, pikiranku ngeres lagi.
Aku kembali ke kamar Tante Fifi yang berantakan oleh kami semalam,
lalu dengan cekatan aku melepas semua sprei dan selimut penuh bercak
itu. Kumasukkan ke mesin cuci. Tiga puluh menit kemudian kamar dan ruang
kerja pak Kiayi kubuat rapi kembali. Siap untuk kami pakai main lagi.
“Shit….! Aku lupa sekolah.., ampuun gimana nih”,
Sejenak aku berpikir dan segera kutelepon Tante Fifi.
“Selamat pagi?”, suara operator.
“Ya Pagi.., Bu Fifi ada?”.
“Dari siap, pak?”.
“Bilang dari Sonny, anaknya..”.
“Oh Mas sonny”.
“Huh dasar sok akrab”, umpatku dalam hati.
“Saya, Tante. Didi bukan ..”.
“Eh kamu sayang.., gimana? mau lagi? Sabar ya, tungguin tante..”.
“Bukan begitu tante.., tapi saya jadi telat bangun.., nggak bisa masuk sekolah”.
“Oooh gampang.., ntar tante yang telepon Pak Yogi, kepala sekolah kamu itu.., tante bilang kamu sakit yah?”.
“Nggak ah tante, ntar jadi sakit beneran..”.
“Tapi emang benar kan kamu sakit.., sakit.., sakit anu! Nah lo!”.
“Aaah, tante.., tapi bener nih tante tolong sekolah saya di telepon yah?”.
“Iya.., iya.., eh Di.., kamu kepingin lagi nggak..”.
“Tante genit”.
“Nggak mau? Awas lho Tante cari orang lain..”.
“Ah Tante, ya mau dong.., semalam nikmat yah, tante..”
“Kamu hebat!”.
“Tante juga.., nanti pulang jam berapa?”.
“Tunggu aja.., sudah makan kamu?”.
“Belum, tante sudah?”.
“Sudah.., mm, kalau gitu kamu tunggu aja di rumah, tante pesan catering untuk kamu.., biar nanti kamu kuat lagi”.
“Tante bisa aja.., makasih tante..”.
“Sama-sama, sayang.., sampai nanti ya, daahh”.
“Daah, tante”.
Tak sampai sepuluh menit seorang delivery service datang membawa makanan.
“Ini dari, Bu Fifi, Mas talong ditandatangan. Payment-nya sudah sama Bu Fifi”.
“Makasih, mang..”.
“Sama-sama, permisi..”.
Aku langsung membawanya ke dalam dan menyantapnya di depan pesawat
TV, sambil melanjutkan nonton film porno, untuk menambah pengalaman.
Makanan kiriman Tante Fifi memang semua berprotein tinggi. Aku tahu
benar maksudnya. Belum lagi minuman energi yang juga dipesannya untukku.
Rupanya istri pak Kiayi itu benar-benar menikmati permainan seks kami
semalam, eh aku juga lho.., kan baru pertama. Sambil terus makan dan
menyaksikan film itu aku membayangkan tubuh dan wajah Tante Fifi bermain
bersamaku. Penisku terasa pegal-pegal dibuatnya. Huh.., aku mematikan
TV dan menuju kamarku.
“Lebih baik tidur dan menyiapkan tenaga..”, aku bergumam sendiri dalam kamar.
Sambil membaca buku pelajaran favorit, aku mencoba melupakan
pikiran-pikiran tadi. Lama-kelamaan akupun tertidur. Jam menunjukkan
pukul 12.45.
Sore harinya aku terbangun oleh kecupan bibir Tante Fifi yang ternyata sudah ada di sampingku.
“Huuaah.., jam berapa sekarang tante?”.
“Hmm.., jam lima, tante dari tadi juga sudah tidur di sini, sayang
kamu tidur terlalu lelap. Tante sempat tidur kurang lebih dua jam sejak
tante pulang tadi, gimana, kamu sudah pulih..”.
“Sudah dong tante, empat jam lebih tidur masa sih nggak seger..”, kami saling berciuman mesra,
“Crup.., crup”, lidah kami bermain di mulutnya.
“Eh.., tante mau jajan dulu ah.., sambil minum teh, yuuk di taman.
Tadi tante pesan di Dunkin.., ada
donat kesukaan kamu”, ia bangun dan
ngeloyor keluar kamar.
“Uh.., Tante Fifi..”, gumamku pelan melihat bahenolnya tubuh kini terbungkus terusan sutra transparan tanpa lengan.
Bayangan CD dan BH-nya tampak jelas. Aku masih senang
bermalas-malasan di tempat tidur itu, pikiranku rasanya tak pernah bisa
lepas dari bayangan tubuhnya. Beberapa saat saja penisku sudah tampak
tegang dan berdiri, dasar pemula! Sejak sering tegang melihat tubuh
Tante Fifi sebulan belakangan ini, aku memang jarang memakai celana
dalam ketika di rumah agar penisku bisa lebih leluasa kalau berdiri
seperti ini.
“Hmm, tante Fifi.., aahh Nyai yang cantik” desahku sambil menggenggam
sendiri penisku, aneh..,
aku membayangkan orang yang sudah jelas bisa
kutiduri saat itu juga, tak tahulah.., rasanya aku gila!
Tanganku mengocok-ngocok sendiri hingga kini penis besar dan panjang
itu benar-benar tegak dan tampak perkasa sekali. Aku terus membayangkan
bagaimana semalam kepala penis ini menembus dan melesak keluar masuk
vagina Tante Fifi. Kutengok ke sana ke mari.
“Tante..”, panggilku.
“Di dapur, sayang”, sahutnya setengah berteriak, aku bergegas ke situ, kulihat ia sedang menghangatkan donat di microwave.
Dan.., uuhh, tubuh yang semalam kunikmati itu, dari arah belakang..,
bayangan BH dan celana dalam putih di balik gaun sutranya yang tipis
membuatku berkali-kali menelan ludah.
“Uuuhh tante.., sayang”, tak sanggup lagi rasanya aku menahan
birahiku, kupeluk ia dari belakang, sendok yang ada di tangannya
terjatuh, penisku yang sudah tegang kutempelkan erat di belahan
pantatnya.
“Aduuhh.., Didi nakal kamu ah..” ia melirikku dengan pandangan menggoda.
Aku semakin berani, tangan kananku meraih buah dada Tante Fifi dari
celah gaun di bawah ketiaknya. Lalu tangan kiriku merayap dari arah
bawah, paha yang halus putih mulus itu terus ke arah gundukan
kemaluannya yang masih berlapis celana dalam. Telunjuk dan jari tengahku
langsung menekan, mengusap-usap dan mencubit kecil bibir kemaluannya.
“Ehhmm.., nngg.., aahh.., nakaal, Didi”.
“Tante.., tante, saya nggak tahan ngeliat tante.., saya bayangin tubuh tante terus dari tadi pagi”
Tangan kiriku menarik ujung celana dalam itu turun, ia mengangkat
kakinya satu persatu dan terlepaslah celana dalamnya yang putih. Kutarik
cup BH-nya ke atas hingga tangan kananku kini bebas mengelus dan
meremas buah dadanya. Dengan gerak cepat kulorotkan pula celana dalam
yang kupakai lalu bergegas tangan kiriku menyingkap gaun sutranya ke
atas. Kudorong tubuh isteri pak Kiayi itu sampai ia menunduk dan
terlihatlah dengan jelas celah vaginanya yang masih tampak tertutup
rapat. Aku berjongkok tepat di belakangnya.
“Idiihh, Didi. Tante mau diapain nih..”, katanya genit.
Lidahku menjulur ke arah vaginanya. Aroma daerah kemaluan itu merebak ke hidungku, semakin membuatku tak sabar dan..,
“Huuhh.., srup.., srup.., srup”, sekali terkam bibir vagina sebelah bawah itu sudah tersedot habis dalam mulutku.
“Aaahh.., Didi.., enaakk..”, jerit perempuan setengah baya itu, tangannya berpegang di pinggiran meja dapur.
“Aaawww.., gelii”, kugigit pantatnya.
Uuh, bongkahan pantat inilah yang paling mengundang birahiku saat
melihatnya untuk pertama kali. Mulus dan putih, besar menggelembung dan
montok.
Lima menit kemudian aku berdiri lagi setelah puas membasahi bibir
vaginanya dengan lidahku. Kedua tanganku menahan gerakan pinggulnya dari
belakang, gaun itu masih tersingkap ke atas, tertahan jari-jari
tanganku yang mencengkeram pinggulnya. Dan hmm, kuhunjamkan penis besar
dan tegang itu tepat dari arah belakang,
“Sreep.., Bleess”, langsung menggenjot keluar masuk vagina Tante Fifi.
“Aaahh.., Didi.., enaak.., huuhh tante senang yang ini oohh..”
“Enak kan tante.., hmm.., oohh.., agak tegak tante biar susunya.., yaakk ooh enaakk”.
“Yaahh.., tusuk yang keras.., hmm.., tante nggak pernah gini
sebelumnya.., oohh enaakk pintarnya kamu sayaang.., oohh enaak..,
terus.., terus yah tarik dorong keeraass.., aahh.., kamu yang pertama
giniin tante, Di.., oohh.., sshh..”, hanya sekitar tiga menit ia
bertahan dan,
“Hoohh.., tante.., mauu.., keluar.., sekarang.., ooh hh.., sekarang Di, aahh..”
Vaginanya menjepit keras, badannya tegang dengan kepala yang bergoyang keras ke kiri dan ke kanan.
Aku tak mempedulikannya, memang sejenak kuberi ia waktu menarik nafas
panjang. Aku membiarkan penisku yang masih tegang itu menancap di
dalam. Ia masih menungging kelelahan.
“Balik Nyai..”, pintaku sambil melepaskan gigitan di kemaluannya.
“Apalagi, sayang.., ya ampun tante nggak kuat.., aahh”.
Aku meraih sebuah kursi. Ia mengira aku akan menyuruhnya duduk,
“Eiih bukan tante, sekarang tante nyender di dinding, kaki kiri tante naik di kursi ini..”.
“Ampuun, Didi.., tante mau diapain sayang..”, ia menurut saja.
Woow! Kudapatkan posisi itu, selangkangan itu siap dimasuki dari depan sambil berdiri, posisi ini yang membuatku bernafsu.
“Sekarang Nyai sayang.., yaahh..”, aku menusukkan penisku dari arah depannya, penisku masuk dengan lancar.
Tanganku meremas kedua susunya sedangkan mulut kami saling mengecup.
“Mmmhh.., hhmm..”, ia berusaha menahan kenikmatan itu namun mulutnya tertutup erat oleh bibirku.
Hmm, di samping kanan kami ada cermin seukuran tubuh. Tampak pantatku
menghantam keras ke arah selangkangannya. Penisku terlihat jelas keluar
masuk vaginanya. Payudaranya yang tergencet dada dan tanganku semakin
membuatku bernafsu.
“Cek.., cek.., cek”, gemercik suara kemaluan kami yang bermain di bawah sana.
Kulepaskan kecupanku setelah tampak tanda-tanda ia menikmatinya.
“Uuuhh hebaat.., kamu sayang.., aduuh mati tante.., aahh enaak mati
aku Di, oohh.., ayo keluarin sayang.., aahh entotin tante yang kuat
Aggggh.., sudah mau sampai lagi niih aahh..” wajahnya tampak tegang
lagi, pipinya seperti biasa, merah, sebagai tanda ia segera akan orgasme
lagi.
“Ayooo nikmati Nyai kontol besarku. Goyangin dong Nyai pantatnya, duh enaknya ngentot sama Nyai.
Kupaksakan diriku meraih klimaks itu bersamaan dengannya. Aku agaknya
berhasil, perlahan tapi pasti kami kemudian saling mendekap erat sambil
saling berteriak keras.
“Aaahh.., tante keluaar..”.
“Saya juga Nyai huuhh.., nikmat.., nikmat.., oohh.., Nyai Fifi.., aahh”, dan penisku,
“Crat.., crat.., crat.., seer”, menyemprotkan cairannya sekitar lima
enam kali di dalam liang vagina isteri pak Kiayi yang juga tampak
menikmati orgasmenya untuk kedua kali.
“Huuhh.., capeekk.., sayang” ia melepaskan pelukannya dan penisku yang masih menancap itu.
Hmm, kulihat ada cairan yang mengalir di pahanya bagian dalam, ada yang menetes di lantai.
“Mau di lap Nyai?”, aku menawarkan tissue.
“Nggak sayang.., tante senang, kok. Tante bahagia.., yang mengalir
itu sperma kamu dan cairan kelamin tante sendiri. Tante ingin menikmati
terus rasa penismu..”, ia berkata begitu sambil memberiku sebuah ciuman.
“Hmm.., Tante Fifi..”, Kuperbaiki letak BH dan rambutnya yang
acak-acakan, kemudian ia kembali menyiapkan jajanan yang sempat terhenti
oleh ulah nakalku.
Aku kembali ke kamar dan keluar lagi setelah mengenakan baju kaos.
Tante Fifi telah menunggu di taman belakang rumahnya yang sangat luas,
kira-kira sekitar 25 acre. Kami duduk santai berdua sambil bercanda
menikmati suasana di pinggiran sebuah danau buatan. Sesekali kami
berciuman mesra seperti pengantin baru yang lagi haus kemesraan. Jadilah
dua minggu kepergian pak Kiayi Fuad itu surga dunia bagiku dan Nyai
Fifi. Kami melakukannya setiap hari, rata-rata empat sampai lima kali
sehari!
Menjelang sore, isteri pak Kiayi yang cantik itu mengajakku mandi
bersama. Bisa ditebak, kami melakukannya lagi di kamar mandi. Saling
menyabuni dan.., hmm, bayangin sendiri deh. Itulah pengalaman pribadiku
saat pertama mengenal seks bersama guru seks-ku yang sangat cantik.
Tante Fifi alias Nyai Fifi yang anggun bila berbusana baju panjang dan
berjilbab itu, kini menjadi kepuasan yang sempurna bagiku adalah dapat
menyetubuhinya selama aku tinggal dirumahnya tanpa diketahui oleh pak
Kiayi Fuad suaminya.